Arsip Kompas, 20 Agustus 1965
Bank Dunia dan IMF
Sri Hartati Samhadi
20 Agustus 2015
Tanggal 17 Agustus, 50 tahun lalu, persis saat memperingati dua dasawarsa kemerdekaan, Indonesia menyatakan keluar dari keanggotaan di Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF). Harian Kompas melaporkan peristiwa bersejarah itu pada halaman muka edisi 20 Agustus 1965.
Pernyataan keluar dari Bank Dunia dan IMF disampaikan oleh Pemerintah Indonesia di markas dua lembaga Bretton Woods itu di Washington DC, Amerika serikat (AS). Indonesia tercatat sebagai anggota kedua lembaga keuangan internasional itu sejak 15 April 1954. Sejak menjadi anggota hingga keluar, Indonesia tidak pernah menarik pinjaman apa pun dari lembaga itu.
Keluarnya Indonesia dari Bank Dunia dan IMF adalah konsekuensi dari keluarnya Indonesia dari keanggotaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 7 Januari 1965 menyusul konfrontasi dengan Malaysia dan terpilihnya Malaysia sebagai anggota Dewan Keamanan PBB. Langkah berani Indonesia itu, dengan risiko terkucilkan di pergaulan internasional, waktu itu diapresiasi sebagai sikap tegas pemerintah saat itu melawan lembaga yang dianggap sebagai ”alat-alat imperialis” itu.
Pasang surut hubungan
Selama hampir 60 tahun menjadi anggota Bank Dunia dan IMF, hubungan Indonesia dengan lembaga itu mengalami pasang surut sejalan dengan pasang surut hubungan Indonesia dengan dunia internasional, khususnya negara Barat (AS), dan juga perkembangan politik dalam negeri. Sepanjang pemerintahan Soekarno, bisa disebut hubungan Indonesia dengan Bank Dunia kurang harmonis. Kebijakan politik pemerintahan Soekarno yang cenderung mendekat ke Blok Uni Soviet menghalangi Bank Dunia berperan lebih besar dalam pembangunan di Indonesia.
Hubungan harmonis dengan Bank Dunia terjalin pada pemerintahan Soeharto meski bukan tanpa friksi. Beberapa kali Bank Dunia menangguhkan pinjaman karena perbedaan pendapat dengan Indonesia, di antaranya terkait kasus skandal Bank Bali dan insiden kekerasan di Timor Timur tahun 1999.
Indonesia kembali bergabung dengan Bank Dunia dan IMF pada Februari 1967. Sebagai treatment Barat terhadap Soeharto yang pro Amerika, Bank Dunia royal mengucurkan pinjaman dalam bentuk utang konsesional berbunga rendah dengan masa pembayaran dan masa tenggang (grace period) yang panjang serta moratorium dan penjadwalan kembali utang lama warisan pemerintah kolonial dan pemerintah sebelumnya.
Sejarawan dan ilmuwan politik Perancis, Eric Toussaint, mengungkapkan, ketika Robert McNamara ditunjuk menjadi Presiden Bank Dunia pada April 1968, negara pertama yang dikunjungi adalah Indonesia, pada Juni 1968. Alasannya, Bank Dunia belum banyak melirik dan memiliki relasi cukup dekat dengan negara berpenduduk besar selain Tiongkok ini.
Ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jakarta, ia langsung merasa betah seperti di rumah sendiri. Ia bertemu Soeharto, yang dikelilingi tim teknokrat terdiri atas ekonom didikan AS. Mereka belajar di AS dengan beasiswa dari Ford Foundation.
McNamara juga menjalin relasi personal dengan Soeharto. Keduanya digambarkan saling mengagumi. Setiap hari mereka terlibat diskusi soal kebijakan, dan suasana interaksi keduanya digambarkan seperti sepasang kroni lama (a couple of old cronies). ”Indonesia was the presidentially designated jewel in the Bank’s operational crown”, demikian digambarkan Devesh Kapur, John P Lewis, dan Richard Webb dalam The World Bank: Its First Half Century. Selama era Soeharto, kita juga kenyang dicekoki dengan puja-puji yang mencitrakan Indonesia sebagai good boy Bank Dunia dan kreditor internasional lain karena Indonesia patuh dan tak pernah mengemplang dalam membayar utangnya.
Hubungan harmonis itu terbukti saling menguntungkan kedua pihak, dalam tanda kutip. Setelah 70 tahun Indonesia merdeka dan 60 tahun hubungan Indonesia-Bank Dunia, bangsa ini juga masih terus berjuang untuk memerangi kemiskinan dan keluar dari perangkap pendapatan per kapita menengah bawah masyarakatnya.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/20/Bank-Dunia-dan-IMF
-
- Log in to post comments
- 1133 reads