BUDAYA
Nusantara Mengalun di Tangan Remaja...
Frans sartono
Ikon konten premium Cetak | 13 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 264 dibaca Ikon komentar 0 komentar
KOMPAS/FRANS SARTONOFestival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015 di Museum Kesejarahan Jakarta pada 6-8 Agustus lalu
Muda, penuh energi, dan memainkan musik tradisi. Itulah penampilan peserta festival musik tradisi untuk remaja yang digelar di pelataran Museum Kesejarahan Jakarta (dulu Museum Fatahilah) pada 6-8 Agustus lalu.
Lihatlah penampilan peserta dari Jawa Timur yang diwakili remaja anggota Padepokan Sekartaji, Kabupaten Banyuwangi. Mereka tampil penuh gaya dengan hem berdasi. Dengan kostum itu, remaja kelas I dan II SMA itu memainkan alat musik saron, kendang, angklung paglak, dan menembang dengan cengkok vokal ala gandrung khas Banyuwangi. "Sengaja kami pakai dasi. Mereka anak muda generasi hari ini, tetapi setia ngugemi (menekuni) seni tradisi," kata Sutaji, penata musik yang menjadi pelatih dan ketua Padepokan Sekartaji.
Mereka meramu elemen musik yang hidup di tanah Osing, Banyuwangi, plus musik yang tumbuh di wilayah kultural di Jatim dalam komposisi "Jenggirat Lare Osing", ("Bangkit Bergairah Orang Osing"). Terdengarlah nuansa pengaruh musik Bali, Madura, Ponorogo, Osing, hadrah kuntulan, dan gandrung. Sangat eklektik, dinamik, energetik, menyengat, dan memikat.
Jatim menjadi salah satu peserta Festival Nasional Musik Tradisi Remaja 2015 yang digelar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan yang membuka festival itu memberi catatan bahwa jumlah 34 provinsi itu adalah wilayah administrasi.
"Kebinekaan Indonesia melampaui jumlah administrasi pemerintahan. Pada setiap unit dari kebinekaan itu ada ekspresi musik. Hari ini kita dengarkan ekspresi itu," katanya.
Segar, tetap lokal
Dan, benar. Di antara hiruk-pikuk bunyi di Jakarta, terdengar alunan alat musik dari berbagai sudut Nusantara. Tersebutlah hasapi, calung, rindik, polopalo, dawu, tengak, ketubung, kangkanong, papas usik, dan belasan instrumen musik dari berbagai daerah. "Belum pernah lihat. Enggak tahu namanya dan belum pernah denger suaranya," kata Riska Fiani (22), seorang dari ratusan penonton festival.
Remaja dari berbagai ranah kultural membawakan komposisi menggunakan instrumen dari daerah masing-masing. Ada yang memasukkan instrumen elektrik, seperti gitar dan bas. Seperti peserta dari Jawa Barat yang menggabungkan bas dan gitar elektrik dengan perangkat alat musik Sunda. Lain lagi dengan peserta dari Yogyakarta yang menampilkan elemen hip hop di antara alunan gamelan. Muncul sinden muda yang nge-rap bergaya Jawa. Begitulah kaum muda hari ini merespons realitas perubahan di sekitarnya dengan tetap berusaha berpijak di akar kulturalnya.
Komposer/musisi Suhendi Afryanto yang menjadi anggota tim pengamat mencatat ada peserta yang sudah membuka diri terhadap berbagai impuls melalui pendekatan kolaboratif dengan wilayah kultural yang berbeda locus-nya. Mereka memasukkan unsur alat musik nonkonvensional atau alat musik modern, seperti gitar dan bas elektrik. Hasilnya adalah dinamika kompositorik yang cukup menggairahkan.
Suhendi mewanti-wanti hendaknya alat musik modern itu disajikan untuk pengayaan yang bersifat ornamentik. "Bukan mendominasi keseluruhan tampilan agar 'kelokalannya' tetap terjaga," kata Suhendi.
Di sisi lain, ada kelompok yang kukuh terhadap tradisi lokal tanpa menyentuh inovasi dalam struktur garapnya. "Ada kegamangan untuk mengembangkan ke arah yang lebih inovatif disebabkan oleh 'petatah-petitih' yang cenderung membelenggu kreativitas," kata Suhendi.
Peserta dari Jatim termasuk yang berani mengembara ke luar "pakem" tradisi. Gaya permainan saron serta alur vokal dibuat dengan gaya sedikit menyempal, tanpa kehilangan karakter gandrung. "Orang menyebutnya di-jazz-kan. Saya sendiri tak paham jazz," kata Sutaji.
Meski termasuk di luar kelaziman, tetua budaya di Banyuwangi, menurut Sutaji, bisa menerima karena akar Banyuwanginya masih kental. Pemerintah Kabupaten Banyuwangi juga mendukung penuh upaya inovasi yang mendekatkan kaum muda kepada musik tradisi.
Dalam kelokalannya, Nusa Tenggara Barat juga berani berinovasi. Mereka mengusung gong, bambu, terompah atau alas kaki dari kayu, nyiru atau tampah dengan muatan biji-bijan, reong, gendang baleq, jimbe, dan instrumen perkusif lainnya. "NTB berhasil menampilkan kesegaran remaja dalam sebuah garapan musik bebas yang menggunakan idiom tradisi dan keseharian sebagai unsur utamanya," kata Embie C Noer, penata musik film yang juga menjadi salah satu pengamat festival.
Setiap daerah mengembuskan warna dan jiwa alamnya sebagai warna dasar budaya masing-masing. Embie memberi misal, Sumatera Utara warnanya dominan lebih 'daratan tenang', adapun Kalimantan Tengah dominan keramaian rimba hutan. "Sumatera Barat sangat apik mengolah berbagai khazanah pola bunyi tradisinya. Dengan kreativitasnya, mereka berhasil menyuguhkan permainan musik yang segar dan tetap lokal," kata Embi.
Festival musik tradisi itu menyerupai ajang selebrasi keberagaman musik di Nusantara. Ada dinamika kreativitas sebagai modal pembentukan karakter bagi kaum muda agar lebih dekat dengan mengenal warisan tradisinya. "Keberagaman di antara mereka boleh jadi menjadi perekat untuk menjalin kebersamaan dan mengembangkan sikap toleransi dari keberbagaian tersebut," tutur Suhendi.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/13/Nusantara-Mengalun-di-Tangan-Remaja
-
- Log in to post comments
- 94 reads