KEPENDUDUKAN
Pembangunan Keluarga Terpinggirkan
Ikon konten premium Cetak | 4 Juli 2015
JAKARTA, KOMPAS — Meski Indonesia memiliki lebih dari 65 juta keluarga, pembangunan keluarga belum jadi fokus pemerintah. Padahal, hanya dari keluarga kuat, generasi masa depan bangsa bermutu dihasilkan dan bonus demografi bisa diraih.
Mantan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Fasli Jalal, Jumat (3/7), di Jakarta, mengingatkan, persoalan stunting atau anak pendek akibat kurang gizi, kenakalan remaja, perceraian, hingga radikalisme dan korupsi bisa dicegah jika keluarga kuat.
"Bangsa Indonesia tak terbiasa menghitung beban biaya dan kerugian akibat berbagai hal, termasuk akibat keluarga tak kukuh yang bisa memengaruhi produktivitas bangsa," ucapnya. Akibatnya, berbagai persoalan keluarga yang berdampak panjang bagi bangsa justru kurang teperhatikan.
Keluarga yang rapuh berdampak luas bagi pembangunan manusia. Manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif, berkarakter, dan berkepribadian demi menghadapi tantangan global akan sulit dibentuk.
Ketua Program Studi Magister Ilmu Keluarga dan Perkembangan Anak Institut Pertanian Bogor Herien Puspitawati mengingatkan, keluarga ialah pilar penyangga eksistensi bangsa. Keluarga juga merupakan pusat berbagai aktivitas penting manusia dalam berbagai aspek, termasuk bidang ekonomi. Keluarga juga merupakan pendidik pertama dan utama bagi manusia.
Namun, akibat tekanan ekonomi, lingkungan, dan sosial, berbagai fungsi keluarga tak berjalan. Hal itu menyebabkan penurunan nilai-nilai universal keluarga yang mengancam ketahanan keluarga dan bangsa. "Revolusi mental seharusnya dimulai dari keluarga," katanya.
Kondisi di Indonesia itu berkebalikan dengan negara-negara maju yang memperhatikan pembangunan keluarga. Berbagai kebijakan untuk memperkokoh keluarga dibuat, seperti cuti ibu melahirkan hingga pemberian air susu ibu eksklusif selama 6 bulan selesai diberikan, penyediaan tempat penitipan anak di dekat lokasi ibu bekerja, dan cuti bagi ayah agar ikut mendidik anak.
Sejumlah negara di Eropa juga menjadikan hari Minggu sebagai hari libur penuh bagi semua jenis pekerjaan, termasuk mal dan pusat perbelanjaan, agar keluarga bisa memanfaatkannya untuk berlibur di ruang-ruang publik. Pembangunan kota dengan sistem transportasi publik yang baik juga akan mendukung efektivitas waktu bagi keluarga.
Menurut Fasli, untuk membangun keluarga Indonesia yang kukuh, wawasan pembangunan keluarga sudah harus diberikan sejak SLTA. Pengetahuan itu tak perlu masuk mata pelajaran khusus, tetapi bisa lewat pembelajaran mandiri melalui video dan modul yang bisa dipelajari serta melalui program bimbingan konseling.
Selain itu, gerakan massal penguatan keluarga juga harus dibangun. Kepedulian komunitas pada masalah keluarga di sekitar bisa mengatasi keterbatasan jangkauan lembaga konseling pernikahan dan lembaga pemerintah lain dalam membina keluarga.
Sistem jaminan sosial pun harus mampu mendukung terwujudnya keluarga kuat. Jaminan itu tak hanya dengan membagikan beras miskin untuk keluarga tak mampu, tetapi negara harus mengambil alih pemberian gizi anak dari keluarga tak mampu.
"Hanya dengan cara itu, semua anak Indonesia, termasuk yang orangtuanya miskin, berpendidikan rendah, atau tinggal di tempat kumuh punya kesempatan menggapai cita-cita," kata Fasli.
Kebijakan memperkuat keluarga itu sebenarnya mudah diwujudkan karena budaya Indonesia menganggap keluarga sebagai hal sakral. Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga juga mengamanatkan pembangunan keluarga bermutu. (MZW)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/07/04/Pembangunan-Keluarga-Terpinggirkan
-
- Log in to post comments
- 312 reads