BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Kemendagri Soroti Inefisiensi Produk Peraturan Daerah

Penghematan
Kemendagri Soroti Inefisiensi Produk Peraturan Daerah

JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Dalam Negeri merencanakan untuk menata kembali prosedur dan mekanisme pembahasan rancangan peraturan-peraturan daerah yang selama ini dikeluarkan pemerintah daerah bersama DPRD. Tujuannya agar anggaran untuk proses penerbitan raperda tidak menghabiskan anggaran APBD yang besar.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Djohermansyah Djohan, Minggu (23/11), di Jakarta, mengatakan, jika tidak diatur kembali prosedur dan mekanismenya, setiap raperda yang diproduksi tentu akan memboroskan anggaran cukup besar.

Saat disebutkan contoh DPRD Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, yang bisa menghabiskan dana Rp 400 juta untuk satu produk hukum raperda, Djohermansyah membenarkan. ”Itulah contohnya. Bagaimana jika mereka membuat 10 saja raperda, bisa dibayangkan habisnya sekitar Rp 4 miliar,” ujarnya saat dikonfirmasi Kompas.

Menurut Djohermansyah, dana besar dihabiskan DPRD dan pemerintah daerah karena di antaranya untuk penyusunan raperda dengan studi banding dan kunjungan ke daerah lain, bahkan ke luar negeri. ”Padahal, studi banding seperti cukup dengan duduk di depan komputer dan mencari data di dunia maya lewat internet. Jadi, tak harus pergi jauh dan memboroskan anggaran,” katanya.

Djohermansyah mengakui, apa yang dilakukan DPRD dan pemerintah daerah sebenarnya mengikuti contoh yang ada di DPR. ”Ada ketentuannya untuk studi banding sehingga DPRD dan pemerintah daerah meniru DPR. Kalau prosedur dan mekanisme itu mau diubah, ya, ubah dulu ketentuan di DPR,” katanya lagi.
Konsultasi ke Jakarta

DPRD Kabupaten Kutai Timur disebutkan butuh anggaran Rp 400 juta untuk menyelesaikan satu produk hukum raperda menjadi perda. Sekretaris DPRD Arief Yulianto, di Sangatta, Kutai Timur, mengatakan, untuk membuat satu perda memang dibutuhkan dana besar karena harus berkonsultasi dengan beberapa kementerian di Jakarta.

Sejauh ini, anggota DPRD Kutai Timur yang tergabung di dalam Badan Legislasi berjumlah 10 orang. Sekali konsultasi ke Jakarta, biayanya Rp 200 juta. Jika dua kali kunjungan, berarti Rp 400 juta.

Rinciannya, biaya perjalanan dinas anggota DPRD ke Jakarta untuk sekali konsultasi Rp 20 juta. Jika dua kali konsultasi Rp 40 juta. Dengan demikian, dengan jumlah 10 anggota Badan Legislasi yang dua kali konsultasi, biayanya Rp 400 juta.

”Itu baru biaya konsultasi, belum ketika sosialisasi perda di Kutai Timur,” kata Arief Yulianto, yang mantan Kepala Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kutai Timur.

Namun, menurut Arief, Badan Legislasi juga bisa menghemat anggaran dan mampu menyelesaikan hingga tiga perda hanya dengan Rp 400 juta. Misalnya, jika sekali konsultasi ke Jakarta, dilakukan sekaligus untuk dua atau tiga raperda. Contohnya, raperda terkait pemerintahan, hukum, dan kesehatan, anggota Badan Legislasi berkonsultasi ke Kemendagri, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Kesehatan.

”Biaya itu belum termasuk biaya sosialisasi di masyarakat, yang tentunya dibiayai dana APBD dengan pos sekretariat DPRD,” ujar Arief.

Oleh sebab itu, untuk menekan anggaran raperda, Ketua DPRD diminta membuat perda tidak dibahas satu per satu, tetapi bersama-sama. (HAR/ANTARA)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010282728

Related-Area: