Maritim
Paradigma Pembangunan Kontinental Dinilai Usang
MANADO, KOMPAS — Paradigma pembangunan Indonesia berdasarkan wilayah kontinental sudah seharusnya berubah dengan mengedepankan konsep pembangunan maritim. Meskipun sejak dahulu memiliki kekuatan sektor kelautan, Pemerintah Indonesia tidak pernah menjadikannya sebagai prioritas pembangunan ekonomi.
Paradigma pembangunan kontinental justru dipaksakan melalui pembangunan proyek Jembatan Surabaya Madura (Suramadu) dan rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang mahal dan mengerdilkan pembangunan kelautan.
Hal itu terungkap dalam Forum Diskusi antara Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara dan Akademisi dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat), dengan pembicara kunci Gubernur SH Sarundajang dan Rektor Unsrat Dr Ellen Joan Kumaat, Sabtu (9/8) di Manado. Diskusi tersebut digelar dalam rangka HUT Ke-50 Provinsi Sulawesi Utara.
Sarundajang dan Kumaat berpendapat, konsep pembangunan kontinental adalah masa lalu sehingga Indonesia harus berpaling membangun kelautan. ”Indonesia memiliki potensi besar dengan memiliki tiga selat besar yang menjadi lalu lintas perdagangan dunia dari utara ke selatan dan barat ke timur,” ujarnya.
Sejak dulu, tambah Sarundajang, negeri Nusantara dikenal sebagai negara bahari dengan pelaut-pelaut ulung yang berlayar untuk mencapai kemajuan. ”Pembangunan kelautan merupakan filosofi dasar dari konsep negara kesatuan Indonesia yang memiliki hampir 18.000 pulau serta wilayah laut luas dengan garis pantai nomor empat terpanjang di dunia setelah Amerika Serikat, Rusia, dan Kanada,” ujar Sarundajang.
Laut Indonesia memiliki kekayaan ikan luar biasa dan potensi besar untuk industri maritim. ”Sayang sekali kalau tak membangun kelautan. Saya menyelenggarakan konferensi kelautan dunia dan konferensi terumbu karang internasional di Manado dalam upaya memperkenalkan Indonesia sebagai negara maritim,” katanya.
Menurut Sarundajang, tiga selat, yakni Selat Malaka, Selat Makassar, dan Selat Banda, adalah anugerah kepada bangsa Indonesia, tetapi tidak pernah diberdayakan. Indonesia dinilai malah terjebak dengan pembangunan kontinental. ”Bayangkan seluruh perdagangan dunia harus melalui laut Indonesia. Dari Tiongkok ke Afrika melewati selat Makassar dan Malaka, begitu juga dari Amerika ke Eropa lalu Tiongkok” kata Sarundajang.
Belajar dari Tiongkok
Seorang panelis, Agus Tony Poputra, dosen Fakultas Ekonomi Unsrat, berpendapat, kebijakan pemerintah membangun Jembatan Suramadu tidak efektif. Sebab, hal tersebut memunculkan ribuan pengangguran baru di sektor kelautan. Dari survei tercatat, ribuan pekerja, nelayan, serta pemilik kapal penyeberangan dan jasa di wilayah tersebut mati. Pemerintah juga berencana membangun jembatan Selat Sunda yang menghubungkan Jawa dan Sumatera senilai Rp 140 triliun.
Menurut Agus, pembangunan jembatan Selat Sunda terlalu mahal. Ia mempertanyakan komitmen pemerintah di sektor kelautan, yang dengan anggaran itu pemerintah sebenarnya dapat membeli ratusan kapal penyeberangan dan membangun infrastruktur pelabuhan modern.
”Belajar dari kemajuan Tiongkok selama 20 tahun membangun pelabuhan dan bandar udara modern serta ribuan kilometer jalan di wilayah potensial, kini Tiongkok jadi kekuatan ekonomi dunia,” katanya. (zal)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008254843
-
- Log in to post comments
- 291 reads