Membangun Poros Maritim Dunia
PADA Konferensi Tingkat Tinggi Ke-25 ASEAN di Myanmar, Presiden Joko Widodo menyampaikan visi besar Indonesia sebagai poros maritim dunia. Sebelumnya, dalam pertemuan Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC) di Beijing, Tiongkok, Presiden menyampaikan hal yang sama. Tampaknya poros maritim dunia akan menjadi salah satu pilar kebijakan pemerintah baru, yang melingkupi banyak aspek, baik pada level domestik maupun internasional.
Salah satu aspek paling krusial adalah ekonomi. Pertama, poros maritim akan membangkitkan banyak sekali sektor industri turunan, selain industri transportasi laut itu sendiri. Kedua, akan meningkatkan intensitas perdagangan antarpulau yang berpotensi meningkatkan pembangunan regional. Ketiga, meningkatkan daya saing produk ekspor kita seiring dengan membaiknya sistem logistik nasional, terutama yang berbasis maritim.
Poros maritim bisa menjadi jalan keluar dari kebuntuan daya saing nasional yang sudah mulai menimbulkan komplikasi jangka pendek. Investor mulai melihat ketidakmampuan bersaing produk kita menjadi beban akut bagi transaksi berjalan sehingga tingkat kepercayaan mereka pada masa depan perekonomian Indonesia juga mulai merosot. Akibatnya, rupiah cenderung melemah pada kisaran Rp 12.000 per dollar AS dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) merosot pada level 5.000-an.
Pada triwulan III-2014, defisit transaksi berjalan masih 6,8 miliar dollar AS atau setara 3,07 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Kendati membaik dibandingkan dengan triwulan III-2013, itu masih belum sejalan dengan ekspektasi. Apalagi, tahun depan kita akan memasuki Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).
Ada kekhawatiran sangat besar, skema MEA justru akan menjerumuskan kita pada tekanan defisit neraca perdagangan yang semakin besar. Apakah poros maritim bisa membantu?
Laporan Logistic Performance Index 2014 terbitan Bank Dunia menempatkan Indonesia di posisi ke-53. Negara-negara tetangga, seperti Singapura, berada di posisi ke-5, Malaysia ke-25, Thailand ke-35, dan Vietnam ke-48. Tiongkok, sebagai rekan utama dagang kita, berada di posisi ke-28. Fakta menarik lainnya, Thailand dan Malaysia termasuk dalam 10 besar negara kelompok menengah dengan kinerja terbaik. Mereka melakukan perubahan sistem logistik secara progresif. Dari sisi logistik, jelas kita tertinggal jauh dari rekan utama dagang kita di tingkat regional.
Khusus mengenai pengapalan internasional, Indonesia berada di peringkat ke-74, jauh di bawah Vietnam yang ada di peringkat ke-42, Thailand ke-39, dan Malaysia ke-10. Sistem logistik pengapalan barang ke luar negeri menjadi salah satu isu pokok. Waktu yang diperlukan untuk mengurus administrasi ekspor di Indonesia memakan waktu rata-rata tiga hari. Padahal, rata-rata negara ASEAN sudah berhasil mereduksi menjadi 1-2 hari.
Perbaikan progresif harus segera dilakukan mengingat kita sudah terlalu jauh ketinggalan. Pertama, jumlah waktu yang diperlukan untuk bongkar muat barang yang sebelumnya rata-rata 7 hari sekarang sudah bisa diturunkan menjadi lebih cepat 5,7 hari. Target empat hari harus bisa segera direalisasikan.
Kedua, ada upaya mengatasi ketinggalan pembangunan pelabuhan kelas dunia. PT Pelabuhan Indonesia (Pelindo) II sedang membangun New Tanjung Priok yang terdiri atas dua tahap. Tahap pertama yang akan selesai pada 2018 menelan biaya sekitar Rp 25 triliun. Dengan selesainya proyek tahap I, kapasitas pelabuhan akan bertambah sebesar 6 juta arus peti kemas per tahun.
Selain pelabuhan, industri galangan kapal juga diharapkan tumbuh sehingga mampu memasok kebutuhan kapal yang akan menjadi tulang punggung transportasi lintas pulau. Intensitas perdagangan antarpulau dengan sendirinya akan menurunkan tingkat kesenjangan antarkawasan. Selanjutnya, perbedaan harga komoditas pokok di Jawa dan Papua tidak akan setajam sekarang.
Di lain pihak, intensitas perdagangan antarpulau hanya akan terjadi jika diiringi dengan pembangunan kawasan regional. Jika tidak, kapal yang mengangkut bahan kebutuhan pokok (beras, semen, bensin, dan solar) dari Jawa ke Papua harus kembali ke Jawa dengan kosong karena tidak ada komoditas yang bisa dibawa dari tanah Papua.
Inilah esensi dari keterikatan mata rantai pasokan secara domestik. Sebentar lagi, dengan skema MEA 2015, sejumlah kawasan di Indonesia bisa dengan leluasa melakukan interaksi ekonomi dengan kawasan lain antarnegara ASEAN. Jika mata rantai perekonomian domestik tidak tercipta, interaksi dengan kawasan negara lain akan menciptakan disintegrasi. Dengan demikian, konsep poros maritim sekaligus juga sebagai jawaban atas tantangan regional.
Salah satu cara untuk meningkatkan mata rantai nilai antarkawasan bisa melalui pembangunan berbasis kelautan, seperti sentra penangkapan ikan di Papua yang diproses serta dikirim sebagian ke Jawa dan daerah lain. Karena itu, bisa dibayangkan industri ikutan yang akan muncul dengan implementasi poros maritim ini.
Poros maritim akan meningkatkan produktivitas perekonomian domestik dengan merekatnya rantai pasokan domestik (antarpulau). Fase berikutnya, daya saing produk ekspor kita di kawasan ASEAN. Selain itu, program jangka panjang ini semestinya akan memberi implikasi pada indikator perekonomian jangka pendek, seperti membaiknya neraca perdagangan dan transaksi berjalan. Dengan begitu, gejolak sektor keuangan, baik nilai tukar maupun indeks harga saham gabungan, bisa dijinakkan.
Ditambah lagi, fokus realisasi poros maritim tak perlu banyak berhubungan dengan parlemen sehingga tetap bisa dijalankan meskipun ketegangan di parlemen masih akan berlanjut. Justru, Kabinet Kerja harus membuktikan kemampuan mereka mengeksekusi program hingga tuntas dan berimbas secara nyata para perekonomian.
A Prasetyantoko Dosen di Unika Indonesia Atma Jaya, Jakart
Sumber : http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010140739
- Log in to post comments
- 378 reads