REDD+
Tenggat 2017 Diragukan Terpenuhi
4 Agustus 2015
JAKARTA, KOMPAS — Proses menerapkan program penurunan emisi melalui pengurangan deforestasi dan degradasi hutan atau REDD+ belum selesai. Sejak Badan Pengelola REDD+ dilebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, upaya pengendalian perubahan iklim seakan terhenti.
Berbagai syarat pelaksanaan REDD+, seperti pembentukan lembaga keuangan dan lembaga pengukuran, pelaporan, serta verifikasi, hingga kini belum terwujud. Sejak REDD+ ditangani Satgas REDD+ hingga BP REDD+ mulai muncul mekanisme pendanaan melalui Financing Instruments for REDD+ in Indonesia (FREDDI) dan Forest Reference Emission Level (FREL).
Kondisi di atas mengemuka dalam Review Status Implementasi REDD+ yang diadakan Program Pembangunan PBB dan Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK, Senin (3/8). Kegiatan itu menghadirkan Emma Rachmawaty (Direktur Mitigasi Perubahan Iklim KLHK), Wahjudi Wardojo (penasihat senior The Nature Conservancy), Novia Widyaningtyas (Kepala Subdit REDD+ KLHK), Roy Mahendra (Project Manager REDD+ UNDP di Indonesia), dan dimoderatori Muhammad Farid.
Tahapan penerapan REDD+ tertuang dalam kerja sama Indonesia-Norwegia melalui surat niat (LoI) yang ditandatangani Mei 2010. Pada surat niat itu, REDD+ di Indonesia akan mulai berlaku penuh pada 2017.
"Target-target waktu pada asumsi 2010, dengan persiapan 2-3 tahun tidak banyak kendala. Realitanya, pelaksanaannya tak semudah dibayangkan. Memang terlambat dari LoI dan secara bilateral Indonesia-Norwegia sudah diakui," kata Roy.
Novia Widyaningtyas, ketika ditanya kemungkinan melesetnya target 2017, memilih tak banyak berbicara. Ia mengatakan, payung pelaksanaan REDD+ secara internasional telah diakui tahun 2013 di Polandia.
Di Indonesia, kata dia, telah banyak proyek model pembelajaran pelaksanaan REDD+. Pelajaran dari sisi sosial, pengukuran karbon, dan manfaat telah banyak memberi masukan.
"Yang perlu diingat, persetujuan pada pertemuan di Paris tahun ini, kan, berlaku lima tahun kemudian. Karena itu, kami hati- hati menanggapinya," kata Novia. Beberapa kesepakatan yang diharapkan muncul adalah program penurunan emisi sesuai komitmen masing-masing negara yang disebut Keinginan Kontribusi Nasional yang Diniatkan (INDC). Di Indonesia, salah satunya REDD+.
Beberapa kebijakan nasional lain yang akan memengaruhi program REDD+ adalah revisi hitungan dasar (baseline) emisi karbon. Pemerintah Indonesia akan merevisi baseline 2,9 giga ton CO2 dari hasil pertemuan tahun 2009. Angka itu menjadi 1,8 giga ton CO2 (Kompas, 11/7).
"Kami akan tetap turunkan emisi, tetapi tidak untuk menghambat pembangunan," kata Emma. Berbagai target ambisius pembangunan, seperti pembangunan 35.000 megawatt listrik yang sebagian mengandalkan batubara, akan terkait langsung pelepasan emisi nasional. (ICH)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/04/Tenggat-2017-Diragukan-Terpenuhi
-
- Log in to post comments
- 117 reads