BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Substitusi Bahan Baku Impor Mendesak Dilakukan


Harus Ada Industri Prioritas
Substitusi Bahan Baku Impor Mendesak Dilakukan

JAKARTA, KOMPAS — Perbankan nasional siap membiayai industri substitusi produk impor untuk menyehatkan struktur transaksi berjalan Indonesia. Pemerintah harus membuat prioritas jenis industri substitusi supaya pembiayaan bank lebih fokus dan profil risiko tidak menjadi persoalan baru.

Ketua Umum Perhimpunan Bank-bank Nasional (Perbanas) Sigit Pramono mengatakan, secara alamiah, perbankan akan membiayai sektor yang prospektif dan potensi risikonya rendah.

”Dalam beberapa tahun awal, bisa saja industri yang dibiayai perbankan belum menguntungkan. Regulator dan otoritas akan melihat hal itu sebagai profil risiko. Namun, jika pemerintah memberi kejelasan bahwa industri itu memang didorong, tidak akan menjadi persoalan antara bank dan regulator serta otoritas,” kata Sigit, di Jakarta, Rabu (27/8).

Untuk mencari titik temu kebijakan industri substitusi produk impor antara pemerintah, dunia usaha, dan perbankan, Perbanas menyelenggarakan Indonesia Banking Expo 2014 di Jakarta Convention Center, 28-30 Agustus 2014.

Menurut Sigit, pemerintah memang sudah membuat peta jalan industri nasional. Akan tetapi, belum ada kejelasan mengenai jenis industri nasional yang diprioritaskan.

”Demikian juga untuk industri substitusi impor, jenis dan model industrinya harus lebih jelas supaya perbankan bisa berkontribusi,” ujarnya.

Dukungan perbankan nasional terhadap industri substitusi impor merupakan bagian dari upaya mengurangi defisit transaksi berjalan. Perbankan tidak bisa berperan secara langsung dalam menekan defisit transaksi berjalan.

”Namun, kami bisa berperan mendukung pembiayaan terhadap industri substitusi impor supaya defisit transaksi berjalan bisa ditekan,” lanjut Sigit.

Selain memperjelas jenis industri prioritas, pemerintah juga perlu memikirkan skema insentif bagi industri dan perbankan. Insentif diperlukan karena bank dihadapkan pada persoalan suku bunga dan premi risiko.

Industri substitusi impor harus mendapatkan pinjaman dengan bunga terjangkau. Untuk itu, bank harus mengurangi premi risiko.

”Jika pemerintah memberi insentif bagi industri substitusi impor, perbankan bisa mengurangi premi risiko sehingga bunga pinjaman bisa lebih rendah,” ujar Sigit.
Membangkitkan industri

Secara terpisah, Wakil Menteri Perindustrian Alex Retraubun mengatakan, dukungan pembiayaan dari perbankan terhadap industri substitusi impor diyakini akan membangkitkan industri di Tanah Air.

”Industri substitusi impor harus didorong agar tingginya pertumbuhan ekonomi dan industri tidak dibarengi naiknya impor, terutama bahan baku dan penolong,” kata Alex.

Pasalnya, pertumbuhan sektor industri masih ditopang impor, terutama bahan baku dan penolong serta barang modal.

Alex menuturkan, industri substitusi impor yang masih perlu ditumbuhkan di Indonesia antara lain industri berbasis petrokimia. Saat ini, beberapa jenis bahan baku atau penolong di sektor industri, seperti industri makanan dan minuman, tekstil dan produk tekstil, serta otomotif, masih harus diimpor. Indonesia juga mengimpor telepon seluler dan beberapa produk elektronik lainnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik yang diolah Kemenperin, sepanjang Januari-Mei 2014, ekspor produk industri nonmigas 48,688 miliar dollar AS. Jumlah itu naik dibandingkan dengan periode yang sama tahun 2013 sebesar 47,292 miliar dollar AS.

Nilai impor hasil industri nonmigas pada Januari-Mei 2014 mencapai 51,184 miliar dollar AS atau turun daripada periode yang sama tahun 2013, yakni sebesar 56,238 miliar dollar AS.

Mengacu pada data tersebut, defisit perdagangan hasil industri nonmigas pada periode Januari-Mei 2014 sebesar 2,496 miliar dollar AS. Defisit ini turun 72,1 persen dibandingkan dengan periode yang sama 2013, yang mencapai 8,946 miliar dollar AS.

Berdasarkan data per sektor, nilai impor tertinggi untuk industri nonmigas periode Januari-Mei 2014 dibukukan industri baja, mesin-mesin, dan otomotif. Jumlahnya mencapai 20,045 miliar dollar AS. (AHA/CAS)




Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008553752

Related-Area: