BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Spesies dan Kesejahteraan

HARI KONSERVASI INTERNASIONAL
Spesies dan Kesejahteraan
BRIGITTA ISWORO LAKSMI/ICHWAN SUSANTO
10 Agustus 2015

Dalam waktu dekat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menerima pemulangan seekor badak sumatera dari Amerika Serikat, 15 orangutan dari Thailand dan Kuwait, serta 50 jalak bali dari Jepang. Pemulangan ini untuk memperkuat upaya pembiakan, penelitian, serta perbanyakan jumlah spesies ini di habitat aslinya.

Hewan-hewan ini tak bisa langsung diterjunkan kembali ke habitat aslinya. Mereka terbiasa hidup bergantung kepada manusia: rutin diberi makan dan dijaga kesehatannya. "Jadi, tidak bisa langsung dilepasliarkan. Harus dicek perilaku dan kesehatannya apakah bisa survive di hutan," kata Hadi Alikodra, pakar ekologi satwa liar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, yang pekan lalu dihubungi di Bogor.

Sebagai contoh, badak sumatera bernama Harapan yang akan dipulangkan dari Kebun Binatang Cincinnati di AS. Badak berusia sembilan tahun ini bersama Andalas dan Suci lahir di Cincinnati. Suci telah mati di sana. Badak Andalas telah dipulangkan ke Indonesia beberapa tahun lalu dan ditempatkan di Suaka Rhino Sumatera Taman Nasional Way Kambas di Lampung. Andalas kemudian mengawini Ratu. Dari perkawinan itu, Ratu melahirkan Andatu.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengambil kembali Harapan yang tidak punya pasangan dan kini sakit-sakitan-diduga akibat pakan mengandung zat besi terlalu tinggi.

Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem Kementerian LHK Tachrir Fathoni mengharapkan, Harapan bisa kembali sehat jika tinggal di SRS Way Kambas. "Di SRS yang bersifat habitat semialami, Harapan diberikan pakan seperti di habitat asli. Semoga bisa sehat dan menjadi pejantan tangguh," kata Tachrir.

Saat ini banyak pihak dan negara memberi perhatian kepada badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) yang jumlahnya terus menurun. Data Kementerian LHK menunjukkan, jumlah badak sumatera sekitar 200 individu di belantara Sumatera, tetapi trennya menurun tajam. Sementara badak jawa (Rhinoceros sondaicus sondaicus) di Taman Nasional Ujung Kulon, ada tren peningkatan jumlah.

Selain badak sumatera, belasan orangutan dewasa dan orangutan anakan yang lahir di Thailand juga dipulangkan. Mereka merupakan sitaan dari warga setempat. Status sitaan berakhir 5 Februari 2015. Orangutan itu dibutuhkan di Thailand untuk proses hukum.

Direktur Konservasi Keanekaragaman Hayati Bambang Dahono Adji mengatakan, orangutan ini diupayakan untuk dilepasliarkan. Jika sudah terlalu jinak, mereka akan ditempatkan di lembaga konservasi atau kebun binatang. "Ini akan menjadi darah segar untuk upaya breeding orangutan di luar habitatnya," katanya.

Pelepasliaran orangutan masih terkendala lokasi. Pemerintah daerah umumnya tak menyetujui itu dilakukan di hutan lindung dan areal penggunaan lain. Mereka khawatir muncul konflik dengan manusia.

Akibatnya, sekitar 1.100 orangutan masih tertahan di pusat rehabilitasi. Padahal, target pemerintah, tahun ini semua orangutan di pusat rehabilitasi sudah dilepasliarkan.

Sementara 50 jalak bali (Leucopsar rothschildi) juga akan pulang dari Jepang untuk dilepasliarkan di Taman Nasional Bali Barat. Di habitat aslinya, tersisa 45 ekor. Curik telah dikembangbiakkan para penangkar di Indonesia ataupun luar negeri, termasuk Jepang.

"Jalak bali termasuk dalam 25 spesies yang harus ditingkatkan populasinya sebesar 10 persen (pada 2019 sesuai Target Aiichi). Kalau bisa mencapai 90-100 ekor, baru bisa dikatakan populasi alam terpenuhi dengan baik," kata Bambang Dahono. Di Bali, burung ini pernah dilepaskan di Nusa Lembongan-kini sudah menjadi pemandangan umum di desa setempat.

Pulangnya fauna-fauna endemis ini membawa konsekuensi. Ada pekerjaan rumah yang harus digarap secara berkelanjutan, di antaranya, menyiapkan kebijakan yang tepat, juga dana, serta komitmen tinggi mengembangkan kekayaan hayati.

Melihat ke dalam

Pemulangan hewan dilindungi dan upaya pembiakannya merupakan salah satu cara untuk mencapai target Aiichi dari Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Indonesia menjadi salah satu negara pihak pada Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD). Target Aiichi memuat target-target konservasi sesuai kesepakatan global.

Pakar konservasi dan biologi, yang juga memimpin Sustainable Development Solutions Network, Jatna Supriatna, menggarisbawahi, "Indonesia banyak terikat dengan beragam konvensi internasional. Namun, hendaknya jangan terlalu melihat ke luar, harus lebih melihat ke dalam."

Asumsi yang digunakan dalam kesepakatan internasional lebih banyak berkiblat dari kondisi luar: berbasis kontinen, sementara Indonesia berbentuk kepulauan. Selain itu, wilayah Indonesia banyak berupa lautan, sementara kesepakatan berbasis daratan. Selain itu, keanekaragaman menjadi kata kunci persoalan hayati di Indonesia.

Dengan mempertimbangkan semua kondisi tersebut, Jatna mengatakan, "Basis sains untuk pengambilan kebijakan harus kuat karena kondisinya demikian beragam. Kebijakan itu butuh keberpihakan pemerintah. Bagaimana masyarakat bisa mengolah keanekaragaman hayati dan membuat terobosan baru. Jangan hanya konservasi gajah, harimau, dan lain-lain yang diperhatikan."

"Butuh dana untuk penelitian dan untuk masyarakat agar bisa mengembangkan kekayaan hayati menjadi komoditas," ujar Jatna. Last but not least, Indonesia adalah rumah bagi 25 persen spesies di dunia," ujar Jatna. Jadi, jangan sampai kita melupakannya dan mengabaikannya.

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/10/Spesies-dan-Kesejahteraan

Related-Area: