BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Siapkan Bonus Demografi Tak Cukup Perkuat Pendidikan Formal

Pendidikan Jadi Kunci
Siapkan Bonus Demografi Tak Cukup Perkuat Pendidikan Formal

JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan diyakini menjadi salah satu kunci menyiapkan manusia Indonesia produktif agar bonus demografi menjadi berkah, bukan bencana, bagi pembangunan. Namun, tak cukup memperkuat pendidikan formal, pemerintah juga harus mendukung tumbuhnya pusat-pusat pelatihan tenaga kerja di masyarakat.

Agar berkesempatan menuai puncak bonus demografi pada 2028-2031, pemerintah harus sedemikian rupa menyiapkan manusia Indonesia yang produktif sehingga kompeten dan sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan dunia kerja. Pertarungan di antara tenaga kerja akan mengetat seiring terbukanya pasar kerja regional dan internasional.

Guru Besar (Emeritus) Universitas Negeri Jakarta HAR Tilaar, Selasa (26/8), di Jakarta, mengatakan, dalam jangka pendek, pemerintah baru perlu didorong agar mampu mewujudkan sinergi dunia pendidikan dengan dunia usaha dan kementerian terkait. Semua sektor mesti bersinergi menyatukan arah dan tujuan sehingga dunia pendidikan pun memiliki arah dan tujuan yang sejalan dalam menyiapkan sumber daya manusia sesuai kebutuhan dan permintaan.
Pusat pelatihan

Hal senada disampaikan Ravik Karsidi, Ketua Forum Rektor Indonesia 2014 yang juga Rektor Universitas Sebelas Maret, Solo. Ravik mengatakan, selain menyiapkan lembaga pendidikan formal, penting pula menguatkan peran pusat-pusat pelatihan kerja. Melalui pelatihan-pelatihan kompetensi kerja sesuai kebutuhan lapangan kerja, tenaga kerja semakin berdaya saing.

”Negara mesti mampu mengidentifikasi lapangan kerja yang akan muncul di masa bonus demografi itu. Dengan demikian, pemerintah bisa memfasilitasi dan mendorong tersedianya lapangan kerja,” ujarnya.

Menurut Ravik, pendidikan yang semakin tinggi diraih bukan sekadar untuk mendapat gelar. Siswa dan mahasiswa harus memperkuat pengetahuan, karakter, dan kompetensi mereka agar mampu memenuhi tuntutan pasar kerja.

Masyarakat, lanjutnya, masih merasa lebih bergengsi memasuki pendidikan tinggi akademik dibandingkan vokasional. ”Padahal, di negara maju, masyarakat mengejar kompetensi dengan kuliah non-gelar atau vokasi agar profesional di bidangnya. Mereka juga bisa mendapat penghasilan tinggi. Sayangnya, itu belum dipahami kebanyakan masyarakat, termasuk orangtua,” kata Ravik.

Ia menambahkan, sinergi dan koordinasi di antara pemangku kepentingan sudah mendesak. Di jenjang pendidikan tinggi, kerja sama antara perguruan tinggi, lembaga atau institusi penghasil teknologi/riset, dan dunia usaha masih lemah. Akibatnya, perguruan tinggi belum mampu mendorong peningkatan daya saing.

Terkait kebijakan pendidikan secara umum, Tilaar menilai, pemerintah belum mampu mengatasi kompleksitas dunia pendidikan. Hingga saat ini, kesenjangan pendidikan di daerah-daerah terpencil dan perbatasan belum teratasi. Desentralisasi pendidikan, terutama terkait guru, justru menjadi bumerang. Peningkatan kualitas dan profesionalisme guru justru memburuk karena ketidakpedulian daerah.

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh mengatakan, pemerintah meyakini peran penting pendidikan dalam menyiapkan generasi muda. Pemerintah telah meletakkan dasar dengan tercapainya pendidikan dasar 9 tahun yang segera ditingkatkan menjadi wajib belajar 12 tahun.

Kebijakan menghadirkan akademi komunitas yang melibatkan dunia usaha, misalnya, diharapkan pula memperkuat upaya penyiapan tenaga terampil di daerah-daerah pedesaan dan perbatasan. (ELN)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008536480

Related-Area: