BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

PERUBAHAN IKLIMIndonesia Tetap Berkomitmen Turunkan Emisi

PERUBAHAN IKLIM
Indonesia Tetap Berkomitmen Turunkan Emisi
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan akan tetap melanjutkan komitmen dan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Upaya nyata yang bisa dilakukan adalah melanjutkan dan memperkuat moratorium izin baru kehutanan yang akan berakhir Mei 2015.
”Presiden Joko Widodo mengatakan, kita akan mempertahankan high profile SBY (Presiden Yudhoyono) di isu perubahan iklim,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (3/2) di Jakarta. Itu disampaikan saat Refleksi Kerja 100 Hari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diskusi menghadirkan Darori Wonodipuro (Komisi IV DPR), Satya Widya Yudha (Komisi VII DPR), Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia), Parlindungan Purba (Komite II DPD), dan Wimar Witoelar (Perspektif Baru) yang dimoderatori Prita Laura.
Setelah diskusi, Siti Nurbaya menjabarkan komitmen isu perubahan iklim itu dengan melanjutkan pekerjaan Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD+). Beberapa waktu lalu, BP REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim dilebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ditanya mengenai kelanjutan moratorium izin baru kehutanan, Siti menyatakan, ”Belum perlu bilang sekarang. Jangan dibandingkan sekarang dulu.”
Mantan Deputi Operasi BP REDD+ William Sabandar mengatakan, keberlanjutan moratorium merupakan komitmen Presiden Joko Widodo. Pernyataan tersebut disampaikan saat ”blusukan asap” ke Sungai Tohor, Riau, 26-27 November 2014.
Terkait dengan komitmen Presiden itu, Siti mengatakan, ”Tidak ada masalah, tinggal kami menjustifikasi. Pendekatan kami harus sistematis, bukan cuma kebijakan. Harus firm. Jangan nanti malah dipersoalkan,” katanya.
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa kali mengajak masyarakat sipil dan pakar untuk membicarakan moratorium. Kini, giliran kalangan usaha yang akan diminta tanggapan mengenai hal tersebut.
Moratorium izin baru kehutanan dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2011. Setelah diperpanjang sekali tahun 2013, moratorium akan berakhir Mei 2015.
Tak cukup jargon
Satya W Yudha mengingatkan, sumber tertinggi emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari perubahan fungsi hutan/gambut. Sumber lain berasal dari emisi transportasi, industri, dan sampah/limbah.
Namun, upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi Indonesia sebesar 26-41 persen pada tahun 2020 tak ditunjukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia mencatat anggaran terkait lingkungan di semua kementerian hanya mencapai 0,8 persen dari APBN atau sekitar Rp 10 triliun.
”Tak bisa hanya bicara jargon penurunan emisi 26 persen lalu ikuti traktat atau ratifikasi-ratifikasi internasional. Ternyata budget atau alokasi anggaran lingkungan kurang,” katanya.
Indonesia, menurut Satya, tidak boleh bergantung pada pendanaan asing. Bahkan, ia meminta pemerintah berhati-hati pada pendanaan-pendanaan asing yang ada. Dikhawatirkan, buntut pendanaan asing itu malah menambah utang negara.
Selain terkait dengan penurunan emisi, menurut William Sabandar, moratorium menjadi jalan masuk Indonesia dalam membenahi tata kelola kehutanan. Ia mencontohkan moratorium mendorong kebijakan Satu Peta, penyelesaian konflik masyarakat, dan mengurai tumpang tindih penggunaan hutan.
BP REDD+ merekomendasikan agar Presiden Jokowi memperpanjang dan memperkuat moratorium dengan pengawasan dan penegakan hukum. Sistem pengawasan yang lemah hanya memicu pembiaran penerbitan izin di hutan primer dan gambut yang dimoratorium. (ICH)

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah memastikan akan tetap melanjutkan komitmen dan upaya menurunkan emisi gas rumah kaca. Upaya nyata yang bisa dilakukan adalah melanjutkan dan memperkuat moratorium izin baru kehutanan yang akan berakhir Mei 2015.”Presiden Joko Widodo mengatakan, kita akan mempertahankan high profile SBY (Presiden Yudhoyono) di isu perubahan iklim,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (3/2) di Jakarta. Itu disampaikan saat Refleksi Kerja 100 Hari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Diskusi menghadirkan Darori Wonodipuro (Komisi IV DPR), Satya Widya Yudha (Komisi VII DPR), Chalid Muhammad (Institut Hijau Indonesia), Parlindungan Purba (Komite II DPD), dan Wimar Witoelar (Perspektif Baru) yang dimoderatori Prita Laura.

Setelah diskusi, Siti Nurbaya menjabarkan komitmen isu perubahan iklim itu dengan melanjutkan pekerjaan Badan Pengelola Reduksi Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Plus (REDD+). Beberapa waktu lalu, BP REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim dilebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ditanya mengenai kelanjutan moratorium izin baru kehutanan, Siti menyatakan, ”Belum perlu bilang sekarang. Jangan dibandingkan sekarang dulu.”
Mantan Deputi Operasi BP REDD+ William Sabandar mengatakan, keberlanjutan moratorium merupakan komitmen Presiden Joko Widodo. Pernyataan tersebut disampaikan saat ”blusukan asap” ke Sungai Tohor, Riau, 26-27 November 2014.

Terkait dengan komitmen Presiden itu, Siti mengatakan, ”Tidak ada masalah, tinggal kami menjustifikasi. Pendekatan kami harus sistematis, bukan cuma kebijakan. Harus firm. Jangan nanti malah dipersoalkan,” katanya.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan beberapa kali mengajak masyarakat sipil dan pakar untuk membicarakan moratorium. Kini, giliran kalangan usaha yang akan diminta tanggapan mengenai hal tersebut.

Moratorium izin baru kehutanan dimulai pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2011. Setelah diperpanjang sekali tahun 2013, moratorium akan berakhir Mei 2015.
Tak cukup jargonSatya W Yudha mengingatkan, sumber tertinggi emisi gas rumah kaca di Indonesia berasal dari perubahan fungsi hutan/gambut. Sumber lain berasal dari emisi transportasi, industri, dan sampah/limbah.

Namun, upaya pemerintah mencapai target penurunan emisi Indonesia sebesar 26-41 persen pada tahun 2020 tak ditunjukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Ia mencatat anggaran terkait lingkungan di semua kementerian hanya mencapai 0,8 persen dari APBN atau sekitar Rp 10 triliun.

”Tak bisa hanya bicara jargon penurunan emisi 26 persen lalu ikuti traktat atau ratifikasi-ratifikasi internasional. Ternyata budget atau alokasi anggaran lingkungan kurang,” katanya.
Indonesia, menurut Satya, tidak boleh bergantung pada pendanaan asing. Bahkan, ia meminta pemerintah berhati-hati pada pendanaan-pendanaan asing yang ada. Dikhawatirkan, buntut pendanaan asing itu malah menambah utang negara.

Selain terkait dengan penurunan emisi, menurut William Sabandar, moratorium menjadi jalan masuk Indonesia dalam membenahi tata kelola kehutanan. Ia mencontohkan moratorium mendorong kebijakan Satu Peta, penyelesaian konflik masyarakat, dan mengurai tumpang tindih penggunaan hutan.

BP REDD+ merekomendasikan agar Presiden Jokowi memperpanjang dan memperkuat moratorium dengan pengawasan dan penegakan hukum. Sistem pengawasan yang lemah hanya memicu pembiaran penerbitan izin di hutan primer dan gambut yang dimoratorium. (ICH)

Sumber; http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011810131

Related-Area: