EMISI GAS RUMAH KACA
Penurunan Emisi Perlu Terpadu dengan Pembangunan
Ikon konten premium Cetak | 8 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 259 dibaca Ikon komentar 0 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Proyeksi emisi gas rumah kaca dari hutan harus terpadu dengan kebijakan pembangunan nasional agar tidak ada kesenjangan. Kekhawatiran muncul karena pemerintahan Joko Widodo sedang mendorong pembangunan infrastruktur dan melaksanakan reforma agraria yang membutuhkan 9 juta hektar lahan.
Jumat (7/8), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membahas rujukan emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan (FREL) bersama para pemangku kepentingan di Jakarta. Hadir perwakilan lembaga non-pemerintah, pihak swasta, dan akademisi.
Menurut Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan San Afri Awang, untuk reformasi agraria 4,1 juta hektar kawasan hutan akan dilepas. Sementara untuk keperluan pembangunan waduk/dam, jalan tol, dan jalur kereta api, ada kawasan hutan yang kena. Rincian dampak pembangunan infrastruktur terhadap hutan belum muncul dalam pemaparan.
Dirjen Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Sri Nurmasripatin menegaskan pentingnya informasi ruang-waktu (spasial dan temporal) terkait aktivitas pembangunan untuk bisa dimasukkan dalam FREL. "Skenario ini harus terintegrasi pembangunan sampai 2020," katanya.
Tahun 2015-2020, pemerintah perlu membangun kebijakan yang merefleksikan proyeksi itu. "Itu harus," ujar Kepala Thamrin School Farhan Helmi. Kondisi 2020 bisa menjadi titik awal pelaksanaan komitmen penurunan emisi yang diniatkan (INDC) sebagai lanjutan komitmen sukarela Indonesia 26 persen penurunan emisi GRK dari kondisi tanpa intervensi dan 41 persen dengan bantuan luar.
Penyebab emisi GRK dari hutan antara lain penggundulan hutan, penurunan kualitas hutan, kebakaran hutan, kebakaran gambut, dan perubahan fungsi hutan menjadi fungsi lain.
Metode dinamis
Pada pembahasan kemarin dipilih data deforestasi rata-rata tahun 1990-2012, yaitu 909.706 hektar per tahun. Adapun metode penghitungan menggunakan metode historis.
Menurut Rizaldi Boer, Direktur Eksekutif Centre for Climate Risk and Opportunity Management in Southeast Asia Pacific, "Kondisi hutan sangat dinamis karena kebijakan pembangunan yang belum kita ketahui sekarang. Dipilih jangka panjang untuk menampung dinamika tersebut."
Menjelang akhir tahun, sebagai negara pemilik hutan, Indonesia wajib memasukkan angka FREL. Selain itu, Indonesia juga wajib mendaftarkan komitmen kontribusi nasional yang diniatkan (INDC) untuk pengurangan emisi GRK-penyebab pemanasan global-pemicu perubahan iklim.
Pada pembahasan itu, Direktur Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Joko Supriyono menyatakan, perkebunan kelapa sawit menghasilkan GRK dari serapan, 116.337 ton setara karbon dioksida per hektar. (ISW/B12)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/08/Penurunan-Emisi-Perlu-Terpadu-dengan-Pembangunan
-
- Log in to post comments
- 105 reads