BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Pengendalian Berbasis Riset

Pengendalian Berbasis Riset
Perluas Jangkauan Surveilans Penyakit
Ikon konten premium Cetak | 25 Februari 2016 Ikon jumlah hit 49 dibaca Ikon komentar 0 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Kebijakan pengendalian penyakit harus berbasis riset, pada vektor ataupun kasus penyakitnya. Itu diharapkan bisa secara tepat mengatasi merebaknya penyakit, termasuk yang ditularkan nyamuk. Riset akan memberi informasi identifikasi dan sebaran penyakit secara akurat.

Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Siswanto, Rabu (24/2), di Jakarta, melalui Riset Khusus Vektor dan Reservoir Penyakit (Rikhus Vektora), Balitbangkes memberi gambaran identifikasi dan sebaran vektor sekaligus penyakit yang merebak di Indonesia. "Saat ada kasus, Litbangkes mengonfirmasi penyebab penyakit itu," ujarnya.

Rikhus Vektora yang akan berjalan hingga tahun 2017 itu jadi bukti dukungan pada kebijakan berbasis bukti ilmiah. Riset tahap pertama yang dilakukan tahun 2015 di empat provinsi itu fokus pada nyamuk, tikus, dan kelelawar. Empat provinsi itu adalah Sumatera Selatan, Jawa Tengah, Sulawesi Tengah, dan Papua.

Pada nyamuk, hasil sementara riset menunjukkan 1-5 persen dari total spesimen positif memiliki mikroba penyebab penyakit.

Selain memeriksa adanya mikroorganisme penyebab penyakit di tubuh vektor, peneliti juga memelajari bionomik vektor. Lalu, bisa ditentukan tingkat kerawanan per provinsi, yakni tingkat ada nyamuk tetapi tak ada virus; ada nyamuk dan virus tetapi tak ada penyakit, serta ada ketiganya.

Di Sumsel, peneliti mengumpulkan 34.157 nyamuk, terdiri dari 24 genus dan 122 spesies. Di Jateng, terkumpul 29.130 nyamuk (26 genus dan 83 spesies), di Sulteng 24.195 nyamuk (11 genus dan 145 spesies), serta di Papua 31.829 nyamuk (26 genus dan 83 spesies).

Siswanto menjelaskan, dari pemetaan tahap 2015, nyamuk di Sumsel positif malaria, dengue, chikungunya, dan Japanese Encephalitis (JE), di Jateng positif dengue saja, di Sulteng positif JE, serta di Papua positif malaria dan chikungunya.

Riset itu akan bermanfaat bagi penanggulangan penyakit. "Riset harus bermuara pada perbaikan solusi pembangunan kesehatan," kata Siswanto.

Metode baru

Berbagai inovasi pengendalian penyakit bersumber dari nyamuk juga dikembangkan. Contohnya, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada dan Yayasan Tahija menerapkan program Eliminate Dengue Project (EDP) di Daerah Istimewa Yogyakarta. EDP adalah kegiatan riset di sejumlah negara demi mencari metode baru penanggulangan demam berdarah dengue (DBD).

Fokus utama EDP adalah mencegah penularan virus dengue dengan bakteri Wolbachia. Jadi, Wolbachia adalah bakteri alami yang biasa ada pada serangga dan terbukti bisa menghambat pertumbuhan virus dengue dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti penyebab DBD. Tim EDP Yogyakarta melepaskan sejumlah nyamuk yang mengandung Wolbachia di sejumlah tempat di Sleman dan Bantul, DI Yogyakarta.

Menurut Adi Utarini, Ketua Tim EDP Yogyakarta, pelepasan nyamuk di Sleman dan Bantul masih skala terbatas. Itu untuk mengetahui apakah nyamuk Aedes aegypti yang mengandung Wolbachia bertahan hidup di populasi nyamuk biasa dan bisa menekan kasus DBD.

Associate Director for Science pada Divisi Penyakit Tular Vektor Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat Ronald Rosenberg, kemarin, di Jakarta, mengatakan, surveilans diperlukan untuk mencegah wabah. Namun, diakui, di sejumlah negara, termasuk AS, surveilans tidak berjalan sempurna. Meski demikian, pemerintah tiap negara seharusnya memperhatikan kemungkinan penyakit lain di luar yang dikenal saat memeriksa sampel dari pasien.

"Setelah hasil pemeriksaan DBD atau malaria negatif, misalnya, harus dilanjutkan diagnosis penyakit lain," ujarnya.

Di dunia ada 86 virus RNA ditularkan vektor serangga (arbovirus), 15 di antaranya banyak dikenal dan 70 di antaranya belum banyak diketahui karakteristiknya. Itu belum termasuk 200 virus yang belum diketahui pasti bersifat patogen atau tidak dan 200 virus diduga arbovirus.

Deputi Direktur Lembaga Biologi Molekuler Eijkman Prof Herawati Sudoyo menambahkan, surveilans masih fokus penyakit yang dikenal, seperti DBD dan malaria. "Deteksi kita lemah," ujarnya. (JOG/HRS/ADH)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/25/Pengendalian-Berbasis-Riset

Related-Area: