WASTRA NUSANTARA
Narasi Baru untuk Tenun Flores
Ikon konten premium Cetak | 9 April 2015
Christopher Hodge mengamati selembar sarung tenun dengan saksama. Dosen Komunikasi Mode dari Universitas Northumbria, Inggris, itu memotret setiap detail kain sarung buatan Kornelia Bamolo (50-an) dari Kampung Boas, sebuah dusun yang terletak sekitar tiga jam perjalanan di tenggara Kota Labuan Bajo, Nusa Tenggara Timur.
Ketua Jurusan Mode Binus Northumbria School of Design (BNSD) Jakarta Ratna Paramita (kanan) mendengarkan penjelasan Dominika Dumun (kiri), penenun dari Desa Liang Sola, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, tentang makna motif tenun khas manggarai. Dosen dan mahasiswa BNSD Jakarta dan Universitas Northumbria, Inggris, mempelajari tenun Manggarai Barat untuk menyiapkan rancangan busana pada Pekan Mode Jakarta, November 2015.
KOMPAS/LARASWATI ARIADNE ANWARKetua Jurusan Mode Binus Northumbria School of Design (BNSD) Jakarta Ratna Paramita (kanan) mendengarkan penjelasan Dominika Dumun (kiri), penenun dari Desa Liang Sola, Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, tentang makna motif tenun khas manggarai. Dosen dan mahasiswa BNSD Jakarta dan Universitas Northumbria, Inggris, mempelajari tenun Manggarai Barat untuk menyiapkan rancangan busana pada Pekan Mode Jakarta, November 2015.
Sarung tersebut berwarna hitam dengan motif kecil-kecil dari benang berwarna kuning, oranye, merah muda, hijau, dan biru. Bentuk motif-motif itu beragam. Ada motif mata tombak (alat yang diandalkan Suku Manggarai), laba-laba (serangga pemakan hama padi), tokek (reptil pemakan nyamuk yang selalu ada di rumah warga), dan bintang-bintang (penunjuk arah bagi masyarakat setempat). Sarung dari benang rayon tersebut mengesankan.
"Luar biasa, seluruh cerita kehidupan mereka terekam di dalam selembar kain," kata Hodge, terkagum-kagum. Pada suatu siang akhir Maret 2015, Hodge bersama dua mahasiswi Jurusan Mode dari Universitas Northumbria mengunjungi Kampung Boas untuk mempelajari tenun tradisional Manggarai Barat. Kedatangan mereka merupakan bagian dari karya wisata Binus Northumbria School of Design (BNSD), Jakarta. Total, ada tiga dosen dan enam mahasiswa yang ikut, semuanya dari jurusan mode.
Hodge menjelaskan, narasi merupakan hal penting dalam berbusana. Tradisi bernarasi melekat dalam cara masyarakat berpakaian. Di situ, terkandung landasan filosofis, seperti kepercayaan, nilai dan norma sosial, serta strata sosial yang menjadikan busana sebagai cerminan dari budaya masyarakat. "Sama halnya dengan mode. Setiap koleksi yang dibuat seorang perancang busana harus memiliki narasi yang kuat, mulai dari membuat hingga menampilkan koleksinya di atas panggung ataupun di media," tuturnya.
Mengikuti mode
Keterlibatan industri mode diperlukan untuk membantu keberlangsungan dan memberi kesempatan bagi tenun manggarai untuk menembus pasar nasional dan global. Masukan dan pesanan tenun dari para perancang busana dihargai para penenun.
Ketua Jurusan Mode BNSD Ratna Dewi Paramita menekankan bahwa penenun perlu dibimbing untuk memahami, industri mode digerakkan tren warna. Oleh karena itu, perancang busana merupakan pemberi narasi baru kepada penenun tradisional. Harapannya, metode tenun tradisional bisa bercerita kepada dunia.
"Motif tenun diadaptasi menjadi kontemporer karena memiliki penggemar yang lebih luas dan global. Sebaliknya, bentuk tradisional biasanya hanya dinikmati kolektor kain," kata Ratna.
Rombongan BNSD dan Universitas Northumbria mengunjungi Kabupaten Manggarai Barat untuk mempelajari tenun tradisional. Hasilnya akan diadaptasi dalam koleksi busana yang akan ditampilkan pada Pekan Mode Jakarta (JFW), November 2015. Keenam mahasiswa yang ikut, empat dari BNSD dan dua dari Northumbria, dipilih berdasarkan konsep rancangan yang mengambil inspirasi dari tenun manggarai. Desain mereka dianggap memiliki keunikan masing-masing.
Selama empat hari berada di Manggarai Barat, rombongan BNSD-Northumbria mengunjungi tiga daerah penghasil tenun, yaitu Desa Liang Sola dan Kampung Boas di Kecamatan Lembor serta Desa Waimose di Kecamatan Lembor Selatan. Ketiga daerah itu merupakan binaan Cita Tenun Indonesia, dengan Desa Waimose sebagai binaan terlama, yaitu satu tahun.
Para penenun tradisional tersebut diajak bekerja sama mengembangkan tenun dengan pendekatan yang lebih segar. Mereka diajak mencelup benang dengan pewarna alami. Warna kuning, misalnya, diolah dari kunyit. Warna coklat dibuat dari serbuk kayu mahoni. Keterampilan mencelup benang diperlukan agar para penenun tidak tergantung dari pilihan benang rayon keluaran pabrik. Di samping itu, benang yang digunakan diganti dengan benang katun yang lebih ringan dan nyaman dipakai.
(Laraswati Ariadne Anwar)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/04/09/Narasi-Baru-untuk-Tenun-Flores
- Log in to post comments
- 868 reads