Mengejar Turis ke Changsha
18 Agustus 2015
Tentu tak banyak orang yang pernah mendengar kota Changsha, ibu kota Provinsi Hunan, Tiongkok. Ahli sejarah dan politik Tiongkok mengenal kota Changsha sebagai kota kelahiran pemimpin revolusi Tiongkok, Mao Zedong. Changsha bukanlah kota besar, seperti Beijing, Shanghai, atau Guangzhou. Changsha terletak di tengah daratan Tiongkok sehingga tak ada pelabuhan. Akses ke negara lain di dunia hanya dengan pesawat terbang.
jitet
Namun, Changsha dan Provinsi Hunan bukanlah daerah yang miskin. Kota itu kota dagang dan pertanian. Jadi, ekonomi tumbuh pesat di sana. Walaupun tidak sebesar 3 kota utama, Changsha berada dalam urutan 10 besar kota-kota di Tiongkok. Tiongkok, yang tiap tahun mengirim 100 juta penduduk untuk berwisata ke luar negeri, tentu tidak hanya berasal dari 3 kota besar itu. Ada juga wisatawan yang berasal dari Changsha, Wuhan, Xiamen, Kunming, atau Nanning.
Potensi yang dimiliki Changsha sudah saatnya digarap siapa saja yang ingin tumbuh, termasuk Kementerian Pariwisata (Kemenpar). Selama 2 hari, 15-16 Agustus, Kemenpar menggelar penjualan langsung paket-paket wisata ke Pulau Bali di ID Mall, Changsha.
Pihak Kemenpar membawa 5 penari dan memutar film tentang keindahan alam Indonesia untuk menarik perhatian para pengunjung mal kelas atas itu. Hasilnya, sangat luar biasa. Banyak pengunjung yang mendatangi 8 konter biro perjalanan yang menjual paket wisata ke Bali. Mereka terlihat sangat antusias, apalagi sambil menikmati tarian-tarian Indonesia dan minum kopi asli Indonesia.
Program penjualan langsung yang dilakukan Kemenpar itu merupakan bagian dari program mencapai 2 juta turis Tiongkok ke Indonesia tahun 2015. Tahun lalu, jumlah turis Tiongkok yang datang ke Indonesia baru 900.000 orang. Dibandingkan dengan jumlah wisatawan dari Tiongkok keluar negeri, yakni 100 juta orang, jumlah yang datang ke Indonesia tak sampai 1 persen.
Wisatawan Tiongkok lebih banyak pergi ke Amerika Serikat, Eropa, dan Thailand. Jumlah turis Tiongkok yang ke Thailand mencapai 8 juta orang. Program penjualan langsung paket-paket wisata itu cukup menarik banyak pengunjung. Namun, jika selesai sampai di situ saja, tentu hal itu belum cukup. Hasil yang dicapai tak akan maksimal.
Promosi wisata adalah persoalan gaung. Semakin besar dan lama gaung promosi itu, hasilnya akan semakin nyata. Oleh karena itu, promosi harus terus dilanjutkan dengan berbagai macam medium. Dari iklan di koran, majalah, televisi, papan reklame di dalam dan luar ruang dan tentu di internet. Masyarakat Tiongkok, terutama orang muda, adalah masyarakat yang melek internet. Walaupun pemerintah Tiongkok menutup beberapa akses informasi di internet, untuk informasi wisata, masyarakat Tiongkok dengan mudah mendapatkannya.
Untuk membombardir informasi tentang pariwisata Indonesia, pemerintah harus berani mengeluarkan modal. Jika target wisatawan 2 juta orang, biaya promosi yang dikeluarkan seharusnya 20 juta dollar AS. Menurut World Tourism Organization, biaya promosi minimum yang diperlukan untuk mendatangkan seorang turis asing adalah 10 dollar AS. Saat ini, anggaran promosi Kemenpar masih di bawah 5 dollar AS.
Selain itu, pemerintah juga harus berupaya berunding dengan Pemerintah Tiongkok untuk membuka slot penerbangan lebih banyak. Di Changsha, Citilink sudah terbang reguler 3 kali seminggu. Sebenarnya, Citilink ingin membuka penerbangan setiap hari. Namun, belum diizinkan Pemerintah Tiongkok.
Peluang masih besar karena pasar kelas atas belum digarap. Kini, tinggal bagaimana Pemerintah Indonesia memanfaatkannya. (M CLARA WRESTI)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/18/Mengejar-Turis-ke-Changsha
- Log in to post comments
- 201 reads