BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Mendesak, Kebijakan Pemulihan Ekonomi

INDUSTRI MANUFAKTUR
Mendesak, Kebijakan Pemulihan Ekonomi
27 Agustus 2015

JAKARTA, KOMPAS — Kalangan industri mendesak pemerintah segera membuat kebijakan pemulihan krisis ekonomi. Jika tidak, sektor industri terancam bangkrut karena tak ada aktivitas produksi akibat harga bahan baku impor mahal.

Sejak nilai tukar rupiah terus melemah, biaya produksi di pabrik tekstil di Jawa Timur membengkak hingga 10 persen. Dua pabrik sudah tutup dan ribuan pekerja diberhentikan.

Pengusaha menuding kebijakan pelarangan pemakaian dollar Amerika Serikat (AS) di dalam negeri menjadi penyebab utama. ”Semua transaksi tetap mengacu pada dollar AS. Pengusaha harus bayar mahal saat membeli bahan baku karena nilai tukar dipatok lebih tinggi dari yang sebenarnya,” kata Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia Jatim Sherlina Kawilarang, Rabu (26/8), di Surabaya, Jatim.

Menurut Sherlina, yang juga Wakil Ketua Forum Komunikasi Asosiasi Pengusaha Jatim, sejak Juni lalu, sekitar 30 asosiasi pengusaha di Jatim mengajukan keberatan kepada Bank Indonesia terkait pelarangan memakai dollar AS di dalam negeri. Pengusaha tekstil masih mengimpor kapas sebagai bahan baku. Kapas itu dijual dengan menggunakan dollar AS dan pengusaha membeli dalam rupiah. Transaksi dilakukan dengan surat kredit berdokumen (letter of credit) hingga enam bulan.

Pemasok bahan baku itu biasanya mematok kurs lebih tinggi. Misalnya kurs rupiah terhadap dollar AS Rp 14.100, pemasok bahan baku menetapkan hingga Rp 15.000 untuk mengantisipasi potensi kerugian.

Di Tegal, Jawa Tengah, jumlah perajin sarung yang terpuruk kian bertambah. Selain dialami perajin di Pemalang, Jateng, kini perajin sarung tenun di wilayah Kabupaten Tegal juga berada di ambang kebangkrutan. Di Pekalongan, selama dua bulan terakhir sudah dilakukan pemutusan hubungan kerja terhadap sekitar 1.000 buruh industri tekstil.

Samsudin (42), perajin sarung dengan alat tenun bukan mesin di Desa Kaladawa, Kecamatan Talang, Tegal, mengatakan, perajin sarung tidak hanya terbebani kenaikan harga bahan baku impor, tetapi juga pasar.

Menjelang Lebaran, negara di Timur Tengah mengalami konflik sehingga ekspor terhenti. Stok barang lalu menumpuk dan begitu ekspor kembali dibuka, pembeli dari luar negeri mempermainkan harga. Harga 1 kodi sarung yang sebelumnya mencapai 370 dollar AS saat ini hanya 330 dollar AS.

Mulai merasakan

Pengusaha konfeksi rumahan di Tambora, Jakarta Barat, juga mulai merasakan lesunya ekonomi. Kiswanto (32), pengusaha di Krendang, Tambora, mengatakan, harga kain naik Rp 5.000 per kilogram. Bahan baku kain diambil dari Bandung, Jawa Barat. Namun, kenaikan sejumlah biaya produksi juga mendorong kenaikan harga kain. ”Gara-gara harga naik, order kian sepi,” ujar Kiswanto, Rabu.

Sebelum Lebaran, ia mempekerjakan puluhan karyawan karena kewalahan menyelesaikan pesanan. Kini, jumlah karyawan tinggal lima orang. Pesanan dari Surabaya, Samarinda, Bangka, Belitung, Pekanbaru, dan daerah lain turun drastis. Omzet turun sampai 50 persen dibandingkan dengan sebelum Lebaran.

Pengusaha konfeksi juga dibayangi persaingan barang dari Tiongkok. Tiongkok melakukan devaluasi mata uang yuan agar produk ekspornya murah di pasar dunia.

Selain dijual di luar kota, kaus produksi Tambora banyak dipasarkan di Pasar Tanah Abang, Jakarta. Barang itu juga bersaing dengan produk dari Tiongkok. Menurut Kiswanto, harga barang dari Tiongkok terkenal murah dan kualitasnya lebih bagus.

Kondisi yang sama dirasakan pedagang elektronik di kawasan Glodok, Jakarta Barat. Di Glodok City, dari sekitar 1.800 kios yang tersedia, yang diisi pedagang hanya 900 unit. Harga barang elektronik terus naik karena impor dan terimbas kenaikan dollar AS. (WIE/DEN/DEA/ART)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/27/Mendesak%2c-Kebijakan-Pemulihan-Ekonomi

Related-Area: