Inkuiri Nasional
Masyarakat Adat Jangan Dikriminalisasi Lagi
MATARAM, KOMPAS — Masyarakat adat Colol di Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur, dan masyarakat adat Sembahulun di lereng Gunung Rinjani di Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat, tidak mau terintimidasi atau dikriminalisasikan lagi karena dianggap merambah hutan adat. Mereka menuntut bisa mengelola kembali tanah adat mereka.
Hal itu terungkap dalam Dengar Keterangan Umum dan Diskusi Publik, Inkuiri Nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia tentang Hak Masyarakat Hukum Adat atas Wilayahnya di Kawasan Hutan wilayah Bali dan Nusa Tenggara yang digelar di Mataram, NTB, Jumat (14/11).
Persoalan masyarakat hukum adat Colol bermula pada 1980-an saat Pemerintah Kabupaten Manggarai menetapkan kembali tapal batas hutan. Puncaknya, pada 9 Maret 2004 tujuh orang ditangkap karena dianggap merambah hutan. Pada 10 Maret 2004, terjadi penembakan yang menewaskan lima orang.
Masyarakat hukum adat Sembahulun juga tak bisa memanfaatkan lahannya yang kini menjadi bagian Taman Nasional Gunung Rinjani.
Komisioner Inkuiri Nasional dari Komisi Nasional Perempuan, Saur Tumior Situmorang, menilai, akibat pengusiran dan pengkriminalan masyarakat hukum adat dan penguasaan atas tanah adat menyebabkan penghasilan masyarakat adat berkurang. Mereka tak bebas memungut hasil hutan atau mengolah tanah untuk pertanian.
Hal itu memiskinkan mereka, perempuan menjadi pembantu rumah tangga atau buruh migran untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tindakan represif dan pengkriminalan juga menyisakan trauma bagi keluarga dan korban. Penguasaan tanah untuk kegiatan pertambangan, perkebunan menyebabkan kerusakan lingkungan terbukti dari berkurangnya jumlah mata air.
”Kami melihat ada diskriminasi dalam pengelolaan hutan, masyarakat sulit mengakses. Pengalihan hak guna usaha seperti di Sembahulun tidak jelas bagaimana mekanismenya,” kata Saur.
Komisioner lainnya yang juga pakar hukum dan HAM, Enny Suprapto, mengatakan, masyarakat hukum adat telah lama ada bahkan sebelum Undang-Undang Dasar 1945 dibuat. Keberadaan mereka harus diformalkan agar mempunyai hak konstitusional. Demi kepastian hukum dan pemenuhan rasa keadilan, pemerintah daerah bisa menerbitkan peraturan daerah terkait hukum, wilayah, dan ritual adatnya.
”Pemda harus proaktif. Jangan menunggu konflik terjadi baru bertindak,” ujar Komisioner Subkomisi Pengkajian dan Penelitian Komnas HAM, Sandrayati Moniaga. (ACI)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010102881
-
- Log in to post comments
- 172 reads