BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

MAARIF Award 2016

MAARIF Award 2016

T u j u a n

  • Menemukan model-model praktek kepemimpinan lokal yang konsisten menyemaikan dan melembagakan nilai-nilai toleransi, penghargaan atas kebhinekaan (pluralisme), dan keadilan sosial di masyarakat akar rumput;
  • Memperbesar gelombang prakarsa kelompok-kelompok sipil dalam merawat dan mengembangkan Indonesia sebagai rumah bersama ditengah mengerasnya polarisasi sosial, narasi kekerasan, dan sentimen sektarianisme;
  • Memperluas penyebaran inspirasi dari praktek-praktek terbaik kepemimpinan lokal yang berkhidmat pada kebinekaan sehingga model-model kepemimpinan tersebut memperkaya mata air keteladanan bagi publik guna mendorong perubahan sosial pada tingkat yang lebih luas.


Dasar Pemikiran

Api optimisme itu menyala-nyala saat bangsa ini mengakhiri tahun 2015 dan menyongsong 2016. Peristiwa penyerangan di Tolikara (Papua) yang menyebabkan terbakarnya sebuah mesjid, aksi massa membakar gereja di Singkil (Aceh) yang disulut konflik rumah ibadah, dan meningkatkan penyebaran sentimen sektarianisme menyusul konflik di Timur Tengah merupakan sebagian potret buram yang menghadang keharmonisan hubungan sosial antar umat beragama. Angka intoleransi membesar. Sebuah laporan dari Setara Institute mencatat bahwa terjadi peningkatan kasus intoleransi sepanjang tahun 2015. Ada 197 peristiwa pelanggaran dan 236 bentuk tindakan. Grafiknya naik karena pada tahun 2014 "hanya" ditemukan 134 peristiwa dan 177 tindakan intoleransi. Meskipun begitu, secara umum, wajah Indonesia 2015 masih lebih cerah dibanding negara-negara berpenduduk Muslim di Timur Tengah, Afrika, dan Asia Selatan yang terus didera konflik sektarian, bom bunuh diri, dan terorisme. Jadi, sangat beralasan bangsa Indonesia harus bersyukur dan penuh optimisme melangkah di tahun 2016.

Namun aksi teror di pagi hari pada tanggal 14 Januari lalu di kawasan Sarinah sangat mengejutkan. Aksi terorisme di Paris November lalu yang kita saksikan di televisi seakan kini mengetuk pintu rumah kita sendiri. Pada saat yang bersamaan pula, warga Jemaah Ahmadiyah Indonesia di Kabupaten Bangka mengalami intimidasi dan teror. Difasilitasi Pemerintah Bangka, beberapa kelompok masyarakat mengancam mengusir warga Ahmadiyah dari kampung halamannya jika tidak mau bertobat. Ini nyaris luput dari media mainstream. Pengusiran terhadap ratusan anggota Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) bahkan pembakaran pemukiman mereka di Mempawah, Kalimatan Barat, oleh warga setempat memunculkan persoalan serius menyusul tuduhan bahwa organisasi ini sesat. Kita sedang menyaksikan tindakan persekusi terhadap kelompok-kelompok minoritas yang divonis menyimpang dan menyesatkan menurut opini sepihak. Masalah baru ini menambah daftar beban pemerintah yang hingga kini belum berhasil menuntaskan pengembalian pengungsi warga Syiah di Sidoarjo ke Sampang, Madura. Pada titik ini, negara kehilangan perannya.

Proses integrasi dan kohesivitas sosial dalam proses menjadi Indonesia yang berbineka berada di persimpangan jalan. Paling tidak, ada dua tantangan utama yang sedang menggerogoti sendi-sendi kebinekaan bangsa. Pertama, tantangan yang bersifat internal masyarakat Muslim. Persaingan politik Arab Saudi dan Iran di Timur Tengah telah menyuburkan sentimen sektarianisme di pelbagai negara berpenduduk Muslim, tidak terkecuali di Indonesia. Kelompok Syiah menghadapi tekanan dan teror dari kelompok-kelompok Sunni di Indonesia. Perseteruan politik di Timur Tengah dilihat dengan kacamata teologi (agama) oleh mayoritas masyarakat Muslim Indonesia. Konflik politik di level internasional (transnasional) ini akan mengikis modalitas "sipil Islam" yang selama ini menjadi tulang punggung harmoni politik Islam dan demokrasi di Indonesia, ujar Robert Hefner dalam satu diskusi di MAARIF Institute pertengahan Januari lalu.

Tantangan kedua datang dari eksternal masyarakat Muslim, khususnya dalam relasinya dengan masyarakat Kristen. Konflik rumah ibadah masih menjadi batu sandungan yang belum mencapai titik kesepahaman di antara pemeluk Islam dan Kristen. Nalar politik mayoritas-minoritas selalu berujung pada tindakan diskriminasi. Celakanya, dalam banyak kasus, negara menjadi mudah partisan dan sukar bertindak imparsial. Jika warga Muslim kesulitan mendirikan mesjid di Bitung, Sulawesi Utara, maka nasib serupa dialami warga Kristen di Singkil, Aceh, dan warga Buddha di Temanggung, Jawa Tengah. Tokoh Katholik Romo Magnis Suseno seringkali membanggakan hubungan Kristen dan Muslim yang mengalami kemajuan positif dibandingkan pada masa Orde Baru. Namun tanpa konsistensi merawat nilai-nilai keterbukaan dan budaya kewargaan yang demokratik di antara semua pemeluk agama, terutama di akar rumput, maka kita akan mengalami defisit nilai-nilai kewargaan. Bangunan demokrasi kita bisa keropos.

Pada kondisi kebangsaan semacam ini kehadiran kepemimpinan lokal yang bekerja membumikan nilai-nilai keagamaan dan bersenyawa dengan budaya pluralisme kewargaan menjadi jangkar kultural penting. Prakarsa kepemimpinan transformatif di tingkat akar rumput, seringkali jauh dari radar media dan menghidupkan daerah-daerah pelosok terbelakang, merupakan sokoguru dalam cerita sukses demokrasi Indonesia meskipun luput dari narasi-narasi besar kepemimpinan bangsa ini. Model kepemimpinan lokal ini memperjuangkan semangat keindonesiaan dan nilai-nilai kemanusiaan, melampaui sekat-sekat etnik, agama, kelompok, jender bahkan negara. Mereka adalah oase dan penggerak, menyuntikan harapan baru (new hope) dan menumbuhkan model-model kepemimpinan alternatif yang demokratik dalam penguatan dan pemberdayaan masyarakat majemuk di komunitasnya. Kemampuannya mengelola dan mentransformasikan perbedaan menjadi kekuatan kolektif perubahan sosial merupakan pembeda yang dibutuhkan negara majemuk seperti Indonesia ini.

Dengan semangat dan argumentasi tersebut, MAARIF Institute memberikan MAARIF Award. Penghargaan ini adalah bentuk pengakuan terhadap anak-anak bangsa yang konsisten dan berdedikasi tinggi merawat keindonesiaan yang majemuk dan memperjuangkan nilai-nilai pluralisme melalui kerja-kerja inisiatif kepemimpinan di tingkat lokal berbasis nilai-nilai keagamaan yang universal dan membebaskan. MAARIF Award ini merupakan ikhtiar menemukan pribadi-pribadi penggerak dan tangguh yang berjuang untuk kemanusiaan di tingkat akar rumput. Kehadiran award pada tahun ini memiliki tantangan tersendiri ketika bangsa kita semakin dihadapkan pada gelombang air bah informasi dan agresivitas aktor-aktor transnasional yang dapat memberikan pengaruh besar pada dinamika lokal. Penyelenggaraan award tahun diharapkan menemukan sosok ataupun institusi yang mampu menjadi antitesis sekaligus siasat cerdas dalam menanggapi dua tantangan besar yang kini membayangi masyarakat Indonesia.

S a s a r a n

Organisasi sosial-keagamaan, kelompok sipil (NGOs), komunitas dan perkumpulan sosial-budaya, dan perseorangan.

Kriteria Penilaian

  •     Memiliki komitmen terhadap perjuangan pluralisme, non-sektarian, non-diskriminasi, dan anti kekerasan.
  •     Mampu mendorong partisipasi aktif warga setempat guna mencapai peningkatan kualitas hidup masyarakatnya dengan mempertimbangkan aspek kemajemukan agama, etnik, maupun budaya yang ada.
  •     Kehadiran dan kontribusinya diterima dan dirasakan manfaatnya oleh pihak-pihak dari beragam kelompok/organisasi.
  •     Mempelopori perjuangan pemuliaan martabat dan nasib komunitas/masyarakat lemah untuk hidup secara manusiawi melalui penumbuhan kreativitas, kapasitas, dan kemandirian masyarakat sipil.
  •     Inisiatif dan atau praktek kepemimpinan lokalnya menyumbangkan kemanfaatan bagi perjuangan pluralisme dan keadilan sosial bagi komunitas/masyarakatnya.
  •     Memiliki keterampilan menjembatani perbedaan, baik agama,  etnik, maupun budaya, sehingga menjadi kekuatan bersama.
  •     Perjuangannya berdampak terhadap upaya pemenuhan hak-hak ekosob (ekonomi, sosial, dan budaya) dan sipol (sipil dan politik) masyarakat oleh negara.  

DOWNLOAD FORM DAN TOR MA 2016

FORM
TOR

Sumber: http://maarifinstitute.org/id/program/18/maarif-award-2016#.Vrv_AU_alrZ