BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

MA: Efek Jera Masih Rendah Putusan Hakim Hendaknya Menunjukkan Kepekaaan terhadap Krisis

JAKARTA, KOMPAS — Mahkamah Agung memulai evaluasi dan pendataan kasus-kasus lingkungan hidup yang ditangani hakim-hakimnya. Sejumlah putusan hakim pemutus perkara kasus lingkungan dinilai belum memenuhi rasa keadilan dan tidak menimbulkan efek jera.
Kasus lingkungan itu mulai dari pencurian/penjarahan sumber daya alam, kebakaran hutan, perburuan flora-fauna dilindungi, hingga pencemaran/perusakan kualitas lingkungan.

”Putusan-putusan yang berkaitan dengan sumber daya alam, efek penjeraannya masih rendah. Kami tidak ada henti evaluasi,” kata Ketua MA Muhammad Hatta Ali, Senin (12/1), pada konferensi pers Lokakarya Terpadu bagi Sektor Peradilan dalam Penanganan Perkara untuk Perlindungan Keanekaragaman Hayati di Indonesia, di Jakarta.

Lokakarya sepekan itu digelar Badan untuk Pembangunan Internasional Amerika Serikat (USAID) dan MA, diikuti polisi, jaksa, dan hakim. Pada 14-16 Januari 2015, MA akan menjadi tuan rumah Pertemuan Para Ketua Mahkamah Agung untuk ASEAN Law Association. Mereka akan meningkatkan kerja sama dengan pejabat MA se-ASEAN guna memerangi kejahatan lingkungan lintas negara.

Menurut Takdir Rahmadi, Ketua Kamar Pembinaan dan Wakil Koordinator Tim Pembaruan MA, tim evaluasi kasus lingkungan dibentuk pekan lalu. ”Teman-teman ICEL (Pusat Kajian Hukum Lingkungan Indonesia) ada dalam tim. Hasil evaluasi jadi bahan perbaikan kami,” katanya.

Setahun ini, evaluasi diharapkan menunjukkan hasil. Evaluasi juga pada putusan hakim-hakim bersertifikasi hakim lingkungan.

Sejak digulirkan MA pada 2011, terdapat 216 hakim lingkungan di tingkat pertama atau banding. Perspektif lingkungan diharapkan ada di setiap putusan.

Contoh kasus
Beberapa kasus lingkungan yang dinilai belum berefek jera, di antaranya kebakaran hutan PT Adei Plantation yang diusut Polda Riau. Hakim memvonis Danesuvaran Kr Singham, General Manager PT AP, pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 2 miliar subsider 2 bulan kurungan.

Pidana korporasi diterapkan ke PT AP sebagai badan hukum, diwakili Tan Kai Yong sebagai direktur dengan denda Rp 1 miliar, subsider kurungan 5 bulan, dan pidana tambahan perbaikan lingkungan hidup Rp 15,1 miliar.

Penekanan pada penanggung jawab korporasi itu beberapa kali disampaikan Hatta Ali. ”Fokus bukan hanya penindakan kepada orang kecil, pegawai kecil, melainkan juga korporasi,” katanya.

Meski menyambut positif pidana korporasi, pakar hukum lingkungan Mas Achmad Santosa belum puas dengan putusan yang belum mencerminkan sense of crisis dari kerusakan ekosistem setempat. ”Putusan ini mengadili kebakaran hutan dan lahan seluas 40 hektar dengan dampak ekologis luar biasa, psikologis bangsa yang dipermalukan di hadapan negara tetangga karena pelintasan asap, serta dampak kesehatan terhadap masyarakat Riau dan sekitarnya,” katanya.

Disinggung terkatungnya 10 kasus kebakaran hutan dan lahan 2013 dan 2014 yang ditangani Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Ketua Satuan Tugas Sumber Daya Alam Lintas Negara Kejaksaan Agung Warsa Susanta mengatakan, berkas dari penyidik belum lengkap.

Pada Laporan Tahunan Kejaksaan Agung 2013, disebutkan mereka menerima 141 perkara lingkungan yang 11 di antaranya proses sidang. Kasus penebangan liar ada 1.202 kasus, di antaranya 386 proses sidang dan 73 kasus diputus pengadilan negeri. (ICH/IAN/HAM)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011350884

Related-Area: