BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Lemah, Ekonomi Berbasis Lingkungan

LINGKUNGAN
Lemah, Ekonomi Berbasis Lingkungan
Ikon konten premium Cetak | 8 Oktober 2015 Ikon jumlah hit 55 dibaca Ikon komentar 0 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan pelaku usaha dinilai masih lemah mengimplementasikan ekonomi berbasis lingkungan atau konservasi berkelanjutan. Hal itu terjadi karena peta jalan dan perencanaan penganggaran ekonomi berbasis lingkungan hidup masih belum diterapkan.

Guru besar emeritus Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim menyatakan hal itu dalam Dialog Bisnis Berkelanjutan, di Jakarta, Rabu (7/10). Kegiatan yang melibatkan pelaku usaha dan praktisi lingkungan itu digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia, Kementerian Perindustrian, dan Deutsche Gesellschaft fur Internationale Zusammenarbeit (GIZ).

Emil yang menjadi pembicara kunci mengawali presentasi dengan keprihatinan terhadap bencana asap akibat kebakaran hutan. Bencana di Sumatera dan Kalimantan itu bukan sekadar merusak lingkungan, tetapi merupakan bencana kemanusiaan.

Dari keprihatinan itu, Emil melontarkan pertanyaan reflektif kepada para peserta. "Ada apa dengan bisnis dan ekonomi Indonesia sehingga bisa menyebabkan bencana tersebut? Ke mana konsep ekonomi hijau yang selama ini digaungkan?" katanya.

Menurut Emil, hal itu terjadi karena ekonomi bisnis dengan sosial dan lingkungan hidup belum terintegrasi. Orientasi bisnis yang dijalani selama ini hanyalah mencari keuntungan.

Dalam kasus kebakaran hutan di Sumatera dan Kalimantan, kekuatan uang bisnis kelapa sawit menjadi faktor utama akibat pertumbuhan bisnis itu di pasar global. Di sisi lain, pasar gagal mengalokasikan dana untuk melindungi lingkungan. "Pemerintah selama ini lemah dalam mengatasi persoalan lingkungan. Hanya melihat dan menunggu serta baru bertindak jika ada kejadian," kata Emil.

Untuk itu, lanjut Emil, pemerintah perlu membuat peta jalan, perencanaan, dan penganggaran ekonomi berbasis lingkungan. Cakupannya, mengintegrasikan antara bisnis, sosial, dan konservasi, tidak hanya berfokus di Jawa, melainkan juga dari Sabang-Merauke.

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan perbankan bisa memulai dengan membuat peta jalan dan perencanaan penganggaran ekonomi berbasis lingkungan. Kemudian, langkah itu ditopang dengan penganggaran dari kementerian dan lembaga terkait.

Dalam forum dialog itu, Menteri Perindustrian Saleh Husin memaparkan rencana kerja. Dua di antaranya adalah pembangunan kawasan industri dan kluster usaha kecil menengah di Jawa dan luar Jawa. Ia juga memaparkan kemudahan investasi yang diberikan pemerintah melalui paket kebijakan ekonomi. Ia berharap agar ada investor yang menanamkan modal untuk mengembangkan industri nasional.

Presiden Direktur PT Riau Andalan Pulp and Paper Tony Wenas menyatakan pentingnya keseimbangan antara konservasi dan investasi ekonomi. Pelaku bisnis tidak hanya mengedepankan keuntungan, tetapi memberikan nilai tambah pada masyarakat dan lingkungan. "Kami bekerja sama dengan masyarakat menjaga hutan agar tidak terbakar. Kami terapkan program mitigasi bencana dengan program masyarakat peduli api. Masyarakat desa di sekitar hutan yang melakukan tindakan preventif dan menjaga hutan tidak terbakar akan mendapat insentif," ujarnya.

Sebelumnya, dalam sebuah diskusi, Ketua Dewan Sekolah School of Business and Management Institut Teknologi Bandung (ITB) Kuntoro Mangkusubroto menilai isu lingkungan masih menjadi jargon semata. Hal itu juga diperparah dengan konsep lingkungan yang direduksi hanya menyangkut hutan, sungai, dan pantai.

Paradigma itu, menurut Kuntoro, harus dihancurkan. Isu lingkungan adalah yang paling mendasar sebab manusia hidup di satu planet yang sama. Oleh karena itu, lingkungan harus dipahami sebagai planet bumi secara utuh yang membutuhkan keseimbangan dalam pembangunan. Ia mencontohkan, pembukaan kawasan hutan yang mengorbankan suku anak dalam di Jambi (Kompas, 30/9). (HEN)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/10/08/Lemah%2c-Ekonomi-Berbasis-Lingkungan

Related-Area: