BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

KONFLIK SUMBER DAYA, Masyarakat Adat Menjadi Korban Kriminalisasi

KONFLIK SUMBER DAYA
Masyarakat Adat Menjadi Korban Kriminalisasi
JAKARTA, KOMPAS — Pada konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambang tidak jarang masyarakat menjadi korban. Bukan hanya fisik, melainkan juga kriminalisasi.
”Polisi selama ini sering mengkriminalisasi karena merujuk pada izin resmi hitam putih dari pemerintah setempat. Mereka tak memahami atau tidak mau paham pada konstitusi yang mengakui hak masyarakat hukum adat,” ujar Sandra Moniaga, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012-2017, Selasa (3/2), di Jakarta.
Sementara itu, fasilitator lapang Forum Masyarakat Sipil, Siti Maimunah, menilai kriminalisasi itu berawal dari pengaplingan lahan masyarakat oleh pemerintah. Masyarakat pada awalnya tetap bungkam dan mengalah digusur.
Selanjutnya, pemerintah memberi izin kepada perusahaan yang lalu muncul mengintimidasi melibatkan aparat keamanan. ”Praktik seperti ini terjadi hampir di semua kawasan masyarakat adat. Sudah menjadi pola,” ujar Maimunah, yang pada tahun 2008 turun ke Manggarai, Nusa Tenggara Timur.
”Seharusnya pemerintah daerah mengoreksi yang dilakukan dengan memberikan pengakuan pada wilayah adat walau tanpa pengakuan sudah melekat adat dan wilayahnya. Ini tak ada perubahan sejak masa Soeharto sampai sekarang,” tutur Maimunah.
Kondisi Manggarai
Pengkriminalisasian warga, seperti diutarakan Sandra dan Maimunah, juga terjadi di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tokoh masyarakat Kampung Tumbak, Rikardus Hama, ditangkap dan ditahan polisi selama 3 bulan hingga Mei 2014. Ia memimpin gerakan menolak perusahaan tambang.
Rikardus ditangkap karena adiknya, Adrianus Roslin, mengeluarkan kata-kata keras kepada pegawai perusahaan tambang yang memotret rumah gendang (rumah adat Manggarai) dalam rangka tolak tambang. Rikardus ditangkap dan ditahan 3 bulan.
Pada saat Rikardus masih berada di penjara, perusahaan justru beroperasi di lingko (lahan komunal adat) warga Tumbak setelah mendapat persetujuan dari 22 keluarga yang dipimpin tua teno (tua adat yang mengatur pembagian lahan adat) Tumbak, Abdul Karim. ”Masalahnya, kami sudah menolak tambang, tetapi mereka justru menyerahkan lingko tanpa mengajak bicara semua warga,” kata Rikardus.
Kasus di Sirise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, yaitu masyarakat melakukan pemagaran lokasi tambang pada tahun 2010 misalnya, polisi mengancam masyarakat. Warga disebut melanggar hukum.
Sandra mengatakan, ”Yang terjadi, masyarakat yang membela hak mereka terkait lahan adatnya, yang seharusnya dipandang sebagai hak tradisi oleh polisi, lantas berubah menjadi tindak pidana. Ini karena polisi tidak memahami konstitusi.” Dia menegaskan, polisi seharusnya membuka diri bahwa hukum bersifat beragam dan tumpang tindih satu sama lain.
Berdasarkan catatan tim penyelidikan (inquiry) nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahun 2012 saja tercatat 1.213 kasus yang diadukan masyarakat adat terkait dengan pengambilalihan lahan yang biasa disertai kriminalisasi. (ISW)

JAKARTA, KOMPAS — Pada konflik antara masyarakat adat dan perusahaan tambang tidak jarang masyarakat menjadi korban. Bukan hanya fisik, melainkan juga kriminalisasi.”Polisi selama ini sering mengkriminalisasi karena merujuk pada izin resmi hitam putih dari pemerintah setempat. Mereka tak memahami atau tidak mau paham pada konstitusi yang mengakui hak masyarakat hukum adat,” ujar Sandra Moniaga, anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia 2012-2017, Selasa (3/2), di Jakarta.

Sementara itu, fasilitator lapang Forum Masyarakat Sipil, Siti Maimunah, menilai kriminalisasi itu berawal dari pengaplingan lahan masyarakat oleh pemerintah. Masyarakat pada awalnya tetap bungkam dan mengalah digusur.

Selanjutnya, pemerintah memberi izin kepada perusahaan yang lalu muncul mengintimidasi melibatkan aparat keamanan. ”Praktik seperti ini terjadi hampir di semua kawasan masyarakat adat. Sudah menjadi pola,” ujar Maimunah, yang pada tahun 2008 turun ke Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

”Seharusnya pemerintah daerah mengoreksi yang dilakukan dengan memberikan pengakuan pada wilayah adat walau tanpa pengakuan sudah melekat adat dan wilayahnya. Ini tak ada perubahan sejak masa Soeharto sampai sekarang,” tutur Maimunah.

Kondisi ManggaraiPengkriminalisasian warga, seperti diutarakan Sandra dan Maimunah, juga terjadi di Manggarai, Nusa Tenggara Timur. Tokoh masyarakat Kampung Tumbak, Rikardus Hama, ditangkap dan ditahan polisi selama 3 bulan hingga Mei 2014. Ia memimpin gerakan menolak perusahaan tambang.

Rikardus ditangkap karena adiknya, Adrianus Roslin, mengeluarkan kata-kata keras kepada pegawai perusahaan tambang yang memotret rumah gendang (rumah adat Manggarai) dalam rangka tolak tambang. Rikardus ditangkap dan ditahan 3 bulan.

Pada saat Rikardus masih berada di penjara, perusahaan justru beroperasi di lingko (lahan komunal adat) warga Tumbak setelah mendapat persetujuan dari 22 keluarga yang dipimpin tua teno (tua adat yang mengatur pembagian lahan adat) Tumbak, Abdul Karim. ”Masalahnya, kami sudah menolak tambang, tetapi mereka justru menyerahkan lingko tanpa mengajak bicara semua warga,” kata Rikardus.
Kasus di Sirise, Desa Satar Punda, Kecamatan Lamba Leda, Kabupaten Manggarai Timur, yaitu masyarakat melakukan pemagaran lokasi tambang pada tahun 2010 misalnya, polisi mengancam masyarakat. Warga disebut melanggar hukum.

Sandra mengatakan, ”Yang terjadi, masyarakat yang membela hak mereka terkait lahan adatnya, yang seharusnya dipandang sebagai hak tradisi oleh polisi, lantas berubah menjadi tindak pidana. Ini karena polisi tidak memahami konstitusi.” Dia menegaskan, polisi seharusnya membuka diri bahwa hukum bersifat beragam dan tumpang tindih satu sama lain.

Berdasarkan catatan tim penyelidikan (inquiry) nasional Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, pada tahun 2012 saja tercatat 1.213 kasus yang diadukan masyarakat adat terkait dengan pengambilalihan lahan yang biasa disertai kriminalisasi. (ISW)

Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000011810467

Related-Area: