Kepala Daerah Baru Butuh Pendampingan
Mencegah Terjadinya Mala-administrasi Anggaran
Ikon konten premium Cetak | 15 Februari 2016 Ikon jumlah hit 486 dibaca Ikon komentar 1 komentar
JAKARTA, KOMPAS — Mayoritas kepala daerah yang terpilih pada pemilihan kepala daerah serentak Desember 2015 merupakan pemimpin baru. Di sisi lain, dana dari pemerintah pusat ke daerah naik signifikan. Agar dana itu efektif dalam memajukan daerah, kepala daerah tersebut perlu pendampingan.
Cuaca gerimis tidak menghalangi sejumlah pengunjung untuk menikmati pemandangan di puncak Kebun Buah Mangunan, Kecamatan Dlingo, Bantul, DI Yogyakarta, Jumat (12/2). Aliran dana dari Pemerintah pusat ke daerah bermanfaat antara lain untuk mengembangkan berbagai potensi wisata sehingga diharapkan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat.
Kehadiran pendamping asisten nasional diperlukan agar penggunaan dana daerah bisa efektif dalam menyejahterakan masyarakat. Selain itu, kepala daerah juga tidak terjerat mala-administrasi dan penyalahgunaan anggaran atau korupsi.
Demikian kesimpulan utama dari kajian data dan serangkaian wawancara Kompas dengan sejumlah narasumber yang dilakukan sepekan terakhir sampai Minggu (14/2).
Mereka adalah Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek, Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah Robert Endi Jaweng, dan dosen senior Jurusan Politik dan Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Cornelis Lay.
Presiden Joko Widodo pada Jumat pekan lalu di Istana Negara, Jakarta, melantik tujuh gubernur hasil pemilu kepala daerah (pilkada) serentak 9 Desember 2015. Setelah itu, Rabu, 17 Februari 2016, sebanyak 202 bupati dan wali kota akan dilantik sebagai kepala daerah. Pelantikan akan berlanjut pada Maret dan Juni sampai genap 269 kepala daerah hasil pilkada serentak.
Dari data postur APBN 2016, jumlah transfer ke daerah dan dana desa Rp 770 triliun lebih. Dibandingkan dengan tahun 2015, terjadi peningkatan total dana transfer Rp 105,5 triliun. Suatu peningkatan jumlah yang signifikan terutama jika dibandingkan dengan belanja pemerintah pusat untuk kementerian negara/lembaga yang menurun Rp 11,3 triliun (lihat Infografis).
"Untuk pertama kali, dana transfer yang diberikan kepada daerah jumlahnya sangat besar. Kalau dana itu bisa dimanfaatkan dengan baik, itu akan menjadi kekuatan yang luar biasa untuk memajukan daerah," kata Cornelis.
Meski demikian, taruhannya pun besar karena sebagian besar kepala daerah terpilih merupakan wajah baru yang belum berpengalaman. Mereka masih butuh penyesuaian pada tahap awal pemerintahannya, sedangkan anggaran mesti berjalan.
Menurut Cornelis, jika mereka tidak disiapkan dengan baik, dikhawatirkan kepala daerah tersebut bisa terjerat penyelewengan atau korupsi. "Bisa jadi kasus penyelewengan itu bukan karena mereka mau korupsi, tetapi mereka tidak bisa mengikuti sistem administrasi dan regulasi. Sebab, hal itu merupakan sesuatu yang baru buat mereka," ujarnya.
Karena itulah, para kepala daerah ini perlu mendapatkan pendampingan asisten yang paham betul soal penganggaran.
Belum menjamin
Kurangnya pemahaman mengenai anggaran oleh kepala daerah ini diperkuat pendapat Robert. Ia merujuk pada hasil evaluasi akuntabilitas kinerja pemerintah kabupaten/kota oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi bekerja sama dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) serta inspektorat provinsi.
"Ketika akuntabilitas belum baik, dalam hal ini perencanaan anggaran, pelaksanaan program, hingga pertanggungjawaban belum menjamin dana yang ditransfer ke daerah bisa memajukan daerah," kata Robert.
Ancaman terjadinya korupsi juga masih besar. Hal ini disebabkan belum baiknya sistem pengawasan. "Inspektorat pada setiap pemda yang seharusnya mengemban tanggung jawab belum optimal menjalankan tugasnya," ujarnya.
Reydonnyzar Moenek mengatakan, transfer dana makin besar belum tentu efektif karena tidak sinkronnya program daerah, yang penganggarannya bersumber dari APBN atau dana dekonsentrasi, dengan program dari APBD yang mayoritas sumber dananya juga dari pusat berupa dana desentralisasi.
"Program kementerian/lembaga di daerah dengan dana dekonsentrasi kerap tidak bisa menunjang pemerintah daerah dalam melaksanakan 32 urusan pemerintahan di daerah. Apa yang diminta daerah juga sering tidak sesuai dengan yang diberikan kementerian/lembaga, akhirnya mubazir," kata Dirjen Bina Keuangan Daerah itu.
Bahkan, tak sebatas itu, lanjutnya, kerap kali program dari dana dekonsentrasi tumpang tindih dengan program yang dibuat daerah (pemda) dari dana desentralisasi, padahal dana dekonsentrasi itu jumlahnya besar. Ia mencontohkan Sumatera Barat. Dana dekonsentrasi dari kementerian/lembaga mencapai Rp 3,7 triliun, sementara dana desentralisasi Rp 4,5 triliun.
"Jika ini betul era desentralisasi, era di mana sebagian besar kewenangan dan urusan ada di pemda, seharusnya dana dekonsentrasi tak lagi besar jumlahnya. Dialihkan saja sebagian besar ke dana desentralisasi," ujarnya.
Aturan keterlibatan
Dalam upaya dana transfer ke daerah yang berjumlah besar itu efektif, Cornelis mengusulkan agar sejak awal ada pendampingan asisten kepada kepala daerah baru. "Mereka bisa diambil dari tenaga profesional di berbagai kementerian atau lembaga negara, seperti BPKP, untuk mengenalkan dan membuat sistem anggaran supaya segera bisa cair, penggunaannya sesuai dengan peruntukan dan tidak terjebak korupsi," katanya.
Tahun lalu penyerapan anggaran dinilai masih lambat. Dana pembangunan yang semestinya untuk menggerakkan perekonomian dan menyejahterakan rakyat justru banyak yang disimpan di bank oleh pemerintah daerah. "Penyerapan yang masih rendah itu makin menegaskan bahwa pengetahuan anggaran kepala daerah itu memang masih rendah," ungkap Cornelis.
Sejalan dengan hal itu, Robert menyarankan agar ada percepatan penguatan kapasitas aparat birokrasi di pemerintah daerah oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, agar akuntabilitas kinerja setiap pemda membaik. Dengan demikian, setiap anggaran yang dikeluarkan betul-betul bermanfaat untuk rakyat.
Tiga kunci kepala daerah untuk memajukan daerahnya adalah mengonsolidasikan kekuatan dengan DPRD, menggerakkan mesin birokrasi, dan membuat kebijakan yang bersifat terobosan. Masyarakat, bersama lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan akademisi kampus, juga harus memantau dan mendorong kepala daerahnya.
Sementara itu, untuk mengatasi ketidakselarasan penggunaan dana dekonsentrasi dan dana desentralisasi, Reydonnyzar setuju usulan untuk merevisi Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Juga perlu dipertimbangkan agar UU Perimbangan itu diintegrasikan ke dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian, dana yang berasal dari pusat akan sinkron dengan tanggung jawab pemerintah daerah melaksanakan 32 urusan pemerintah seperti diatur dalam UU No 23/2014.
Sambil menanti revisi undang-undang itu terwujud, dalam jangka pendek perlu ada sinkronisasi dan harmonisasi program, antara program untuk daerah yang bersumber dari dana dekonsentrasi dan program untuk daerah yang bersumber dari dana desentralisasi. (APA/SIG)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/15/Kepala-Daerah-Baru-Butuh-Pendampingan
- Log in to post comments
- 138 reads