BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Keadilan Distribusi Jadi Kunci

Hutan Lestari
Keadilan Distribusi Jadi Kunci

JAKARTA, KOMPAS — Keadilan distribusi kawasan hutan merupakan kunci penyelesaian karut-marut pengurusan hutan yang mengakibatkan, antara lain, kebakaran hutan, banjir, konflik, dan kemiskinan. Sesuai visi misi Presiden Joko Widodo, kawasan hutan harus dititikberatkan bagi rakyat.

Demikian terungkap dalam journalist class ”Habis Blusukan Asap, Tumbuhlah Kelestarian Hutan” yang diadakan Yayasan Perspektif Baru, Rabu (10/12), di Jakarta.

Menurut peneliti International Centre for Research in Agroforestry (ICRAF), Martua Sirait, saat ini terjadi ketidakadilan distribusi kawasan hutan. Ada sekitar 531 konsesi yang setara dengan 35,8 juta hektar, sementara untuk masyarakat di dalam kawasan hutan dan sekitar hutan hanya 57 izin untuk 0,32 juta hektar.

”Terjadi konversi skala luas untuk pertambangan, industri, kebun, dan sebagainya. Hutan dijadikan sumber devisa, bukan ekosistem. Selain itu, tak dipertimbangkan keberadaan manusia di dalamnya,” kata Martua.

Pembicara lain adalah Kepala Badan Litbang Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan San Afri Awang; Deputi Teknologi, Sistem, dan Monitoring Badan Pengelola REDD+ Nurdiana Darus; serta Direktur Pusat Studi Bencana Universitas Riau Haris Gunawan.

Martua menambahkan, ada sekitar 30.000 desa berada di kawasan hutan yang belum dilihat statusnya dan apa keinginannya. Untuk menyelesaikan persoalan kehutanan, perlu restitusi hak rakyat, kajian perizinan, dan fasilitasi perluasan wilayah kelola rakyat.

Menurut San Afri, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan merestitusi hak rakyat akan kawasan hutan.

Saat ini, menurut dia, luas kawasan hutan 120,3 juta hektar. Sekitar 66 juta hektar merupakan hutan produksi dan sebanyak 35 juta hektar di antaranya berizin. ”Ada 31 juta hektar yang bisa untuk desa-desa adat dan keperluan khusus lain,” katanya.

Saat berkunjung ke Desa Sungai Tohor, Pulau Tebing Tinggi, Provinsi Riau, Presiden Joko Widodo secara simbolis melakukan penabatan (menutup kanal) di lahan gambut. Jokowi menegaskan, lahan gambut itu diperuntukkan bagi rakyat untuk tanaman sagu.

Masyarakat adat Demi penyelesaian persoalan kehutanan, Undang-Undang Perlindungan dan Pengakuan Masyarakat Hukum Adat perlu segera disahkan. Menurut San Afri, ada potensi kehilangan kawasan hutan melalui peraturan bersama Badan Pertanahan Nasional, Kementerian Kehutanan, Kementerian Dalam Negeri, serta Kementerian Pekerjaan Umum yang membolehkan kawasan hutan yang didiami selama 20 tahun menjadi hak milik.

Supaya hutan lestari, setidaknya perlu tiga hal yang harus dilakukan. Pertama, penetapan kawasan hutan. ”Sampai November selesai 68 persen, tahun depan sudah 100 persen. Batasnya jelas dan tidak ada klaim di situ,” ujar San Afri.

Kedua, jangan menebang secara berlebihan dan juga tidak panen berlebihan melebihi daya dukung alamnya. Ketiga, menanam kembali kalau terjadi kerusakan hutan.

Namun, ”Kalau terganggu karena intervensi sosial politik, itu tidak bisa diatasi secara teknis,” tuturnya.

Sementara itu, mengenai kerusakan parah hutan gambut di Riau dan kebakaran hutan yang berlangsung setiap tahun selama 17 tahun, menurut Haris, ”Tidak ada cara lain untuk menyelamatkan hutan gambut kecuali dengan pembasahan kembali.” (ISW)



Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010593824

Related-Area: