BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Jejak Indonesia di Timor Leste

DIPLOMASI BUDAYA
Jejak Indonesia di Timor Leste
7 Agustus 2015

Meski 15 tahun lebih Jakarta tidak lagi menaungi bumi ”Timor Loro Sae”, jejak Indonesia masih terlihat jelas dan rasa kenusantaraan masih tertanam. Bahkan, di beberapa tempat, ”monumen” fisik peninggalan Orde Baru masih (dibiarkan) berdiri.
Meski sudah kusam, baliho berisikan ajakan untuk menyukseskan program pendidikan sembilan tahun di (eks) Provinsi Timor Timur masih dibiarkan tegak berdiri di Kota Dili. Padahal, sejak tahun 2002, wilayah ini resmi menjadi negara yang berdiri sendiri dengan nama Timor Leste.
Kompas/Kenedi NurhanMeski sudah kusam, baliho berisikan ajakan untuk menyukseskan program pendidikan sembilan tahun di (eks) Provinsi Timor Timur masih dibiarkan tegak berdiri di Kota Dili. Padahal, sejak tahun 2002, wilayah ini resmi menjadi negara yang berdiri sendiri dengan nama Timor Leste.

Tengoklah di sudut Jalan Bispo de Mederios di jantung kota Dili, ibu kota Timor Leste. Ada baliho besar, tetapi ”unik”. Papan besar itu berhias gambar sepasang remaja berseragam putih-biru melambaikan tangan. Tengok sederetan kata di atasnya. Kalimat berbau slogan khas Orde Baru yang mulai mengabur masih terbaca: ”Sukseskan Pendidikan Dasar 9 Tahun di Timor Timur”.

Kalau saja tak ada iklan media luar ruang lain dalam bahasa Tetum dan Portugal di sampingnya, niscaya kita merasa seperti berada di negeri sendiri: Indonesia! Apalagi pemilik toko di sekitarnya masih fasih dan senang hati diajak berbincang dalam bahasa Indonesia.

”Papan bergambar itu sudah lama berdiri di sana. Sudah ada sejak tahun 1990-an,” kata Ximenes de Araujo (47), warga Timor Leste yang duduk santai di sisi timur Jalan Bispo de Mederios pada Minggu pagi.

Jika ditelisik lebih jauh, jejak Indonesia tersebar di banyak tempat. Gambar terkait program Keluarga Bencana dengan potret sepasang suami-istri berikut dua anak mereka saling bergandeng tangan, misalnya, masih dapat ditemui terpampang di beberapa tempat. Juga masih ada gambar partai berlambang pohon beringin, yang merupakan simbol partai penguasa di masa itu, menempel di tembok dinding bangunan di kota Dili.

”Di ruas jalan dari Dili menuju Manatutu masih ada prasasti bertanda tangan Jenderal LB Moerdani (Panglima ABRI di era 1980-an) terpasang di salah satu jembatan di sana,” kata Rudi dari PT Pembangunan Perumahan (PP), BUMN Indonesia yang terlibat dalam proyek pembangunan di Timor Leste.

Paling fenomenal tentu saja patung Kristus Raja (Cristo Rei) yang menjulang setinggi 27 meter di atas Bukit Fatucama di timur kota Dili. Patung yang dibangun atas perintah Presiden Soeharto ini dikerjakan oleh seniman asal Bandung, Mochamad Syailillah alias Bolil.

Ketika diresmikan pada 15 Oktober 1996, Cristo Rei tercatat sebagai patung Kristus tertinggi kedua di dunia setelah Christ Redeemer (38 meter) di Rio de Janeiro, Brasil. Tentu saja sebelum ”dikalahkan” oleh kehadiran patung Kristus di Polandia (50,9 meter) dan di Tana Toraja (40 meter).

Bahasa Indonesia

Di luar monumen fisik yang tersisa, aspek sosial budaya, terlebih bahasa, Indonesia tak bisa dinafikan kehadirannya hingga kini di Timor Leste. Taruhlah dalam hal ”selera perut”, di berbagai sudut kota Dili masih banyak ditemukan hidangan khas Indonesia, seperti rumah makan padang dan warung lamongan.

Bahkan, dalam banyak hal, bahasa Indonesia belum sepenuhnya tergantikan di tingkat akar rumput. Terlebih bila dua individu ingin berkomunikasi, tetapi saling tidak menguasai bahasa Tetum atau bahasa Porto (Portugal), dua bahasa resmi Timor Leste saat ini.

Memang, sejak Timor Timur lepas dari Jakarta seusai referendum tahun 1999 dan wilayah ini resmi menjadi negara sendiri bernama Timor Leste pada 2002, bahasa Indonesia mulai dipinggirkan. Sebagai gantinya, bahasa Tetum dan bahasa Porto menjadi bahasa resmi pemerintahan, termasuk sebagai bahasa pengantar pendidikan.

Tamatkah keberadaan bahasa Indonesia di Timor Leste? Saat ini tentu belum! Akan tetapi, itu pun dengan sejumlah catatan. Catatan pertama dan utama: mengapa bahasa Indonesia masih perlu hadir di sini? Bagi siapa dan untuk apa?

Merangkul masa depan

Tak bisa dimungkiri, sebagian besar warga Timor Leste berusia di atas 20 tahun umumnya menguasai bahasa Indonesia sebagai bahasa kedua setelah bahasa ibu mereka. Dan, memang, situasi kebahasaan di Timor Leste agak mirip dengan Indonesia sebelum kemerdekaan. Tiap suku memiliki bahasa daerah sendiri. Bahasa Tetum, yang kini menjadi bahasa resmi negara, adalah salah satu di antaranya.

Tak aneh bila banyak warga Timor Leste yang belum sepenuhnya menguasai bahasa Tetum sebagai bahasa ”pemersatu” mereka. Sementara bahasa Porto masih terlalu elitis, hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat Timor Leste, seperti halnya posisi bahasa Belanda di awal kemerdekaan Indonesia.

Dalam situasi kebahasaan semacam ini, bahasa Indonesia akhirnya menjadi semacam lingua franca dalam pergaulan antarsuku di Timor Leste.

Lebih dari itu, saat ini lebih dari 8.000 mahasiswa Timor Leste memperdalam pendidikan mereka di sejumlah perguruan tinggi di Indonesia. ”Bahkan, skripsi mahasiswa Timor Leste hingga kini masih banyak yang ditulis dalam bahasa Indonesia,” ujar Robert Hedy Soerijayudha, Atase Pendidikan pada Kedutaan Besar Republik Indonesia di Dili.

Dalam konteks diplomasi budaya, kenyataan ini ibarat ceruk besar untuk merapatkan kembali hubungan antarbangsa yang bertetangga. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah memulai dengan mendirikan Rumah Budaya Indonesia di Dili. ”Ini negara kecil, tetapi tidak boleh kita sepelekan,” kata Kacung Marijan, Dirjen Kebudayaan pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Lagi pula, Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia-Timor Leste juga memberi tekanan khusus tentang hal ini dalam rekomendasi ”jangka panjang dan aspiratif” yang mereka telurkan. Bahwa setelah proses ”sejarah bersama” (1974-1999) itu dilalui dengan akhir yang getir, melalui KKP Indonesia-Timor Leste ”kedua negara bersepakat dengan keberanian dan visi untuk memandang masa lalu sebagai pelajaran dan merangkul masa depan dengan optimisme”.

Inilah jalan yang ingin dituju oleh kedua negara, sebagaimana tertuang dalam kerangka acuan kerja KKP Indonesia dan Timor Leste, yang ”...telah memilih untuk mengungkapkan kebenaran dan meningkatkan persahabatan sebagai suatu pendekatan baru dan unik daripada proses penuntutan.” (ken)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/07/Jejak-Indonesia-di-Timor-Leste

Related-Area: