Jadikan IndonesiaTangguh Bencana
Kebijakan Berbasis Pengetahuan dan Bukti Amat Penting
JAKARTA,KOMPAS — Berada di zona tektonik aktif yang melahirkan berbagai bencana geologi, Indonesia kini harus mewujudkan diri sebagai bangsa tangguh bencana. Saat ini, para peneliti dari berbagai lembaga penelitian sedang membuat peta jalan. Masih dibutuhkan banyak infrastruktur dan sarana.
Sementara itu dunia penelitian Indonesia juga perlu terus didorong dan dikembangkan. Indikator riset sejak reformasi terus stagnan.
Demikian rangkuman pendapat dari Guru Besar Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan ITB Sri Widiyantoro, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Fasli Jalal, serta Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Lukman Hakim, di Jakarta, Senin (25/8).
Pendapat diungkapkan seusai pemberian Penghargaan Sarwono Prawirohardjo XIII dari LIPI kepada Sri Widiyantoro dan orasi ilmiah pada Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture XIV oleh Fasli Jalal, kemarin.
Widiyantoro mengatakan, Indonesia amat rentan bencana geologi, seperti tsunami, gempa bumi, letusan gunung api, serta iklim ekstrem. Jadi, pemerintahan perlu serius mewujudkan masyarakat Indonesia yang tangguh menghadapi bencana.
”Perlu penumbuhan riset kebencanaan sehingga upaya mitigasi dibuat berbasis bukti ilmu pengetahuan. Saat ini, tsunami dan gempa belum bisa diprediksi,” ujar Widiyantoro.
Menurut dia, Pusat Penelitian Mitigasi Bencana ITB bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) sudah menyusun peta jalan untuk mewujudkan Indonesia tangguh bencana.
Meski demikian, katanya, infrastruktur dasar untuk riset masih amat terbatas. Indonesia memiliki sekitar 250 seismometer. Sementara Jepang yang luas wilayahnya seperlima Indonesia punya lebih dari 2.000 buah.
Saat terjadi tsunami di Tohoku, korban jiwa 20.000 orang. Sementara pada tsunami tahun 2004 di Aceh, korban tewas 200.000. ”Semakin banyak alat, maka akan semakin akurat hasilnya sehingga jumlah korban bisa ditekan,” kata Widiyantoro.
Dana stagnan
Sementara itu Lukman mengatakan, dukungan pemerintah pada pertumbuhan riset seharusnya bisa tergambar dari anggaran riset.
Dana riset Indonesia satu dekade terakhir stagnan, 0,08 persen dari produk domestik bruto. Ini jauh tertinggal dari negara maju yang 2-3 persen PDB. Rasio jumlah peneliti Indonesia per sejuta penduduk juga amat rendah. Tahun 2009, angkanya 89,58. Padahal, tahun 2010, angka Singapura sudah 6.306,51.
”Angka-angka indikator iptek, jika dibandingkan dengan angka ekonomi makro, amat njomplang (tidak berimbang),” ungkap Lukman. ”Para ilmuwan tidak cengeng, tetapi kondisi sekarang memang terbatas,” ujarnya.
Kepala BKKBN yang juga mantan Wakil Menteri Pendidikan Nasional Fasli Jalal mengingatkan pentingnya kebijakan berbasis pengetahuan dan bukti. ”Dengan berbasis penelitian, risiko kegagalan kebijakan dan pemborosan anggaran dapat dihindari,” tuturnya.
Tomografi
Terkait Penghargaan Sarwono Prawirohardjo XIII, Widiyantoro diapresiasi atas jasa, pengabdian, dan kontribusinya yang amat signifikan di bidang seismologi.
Penghargaan itu diberikan LIPI sejak 2002 kepada ilmuwan berprestasi luar biasa dalam ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan, dan kemanusiaan. Sarwono Prawirohardjo adalah Ketua LIPI pertama antara 1967-1974.
Karya besar Widiyantoro adalah mengembangkan teknik pencitraan tomografi menggunakan gelombang seismik yang muncul saat gempa terjadi. Penelitiannya diterbitkan dalam jurnal ilmiah Nature, Science, dan Journal of Geophysical Research.
Dari penelitian itu terungkap, subduksi litosfer samudra bisa sampai ke mantel Bumi paling bawah dan itu mendukung teori baru plume tectonics. Melalui tomografi bisa dipetakan struktur tiga dimensi penunjaman lempeng Bumi di bawah busur kepulauan Indonesia secara rinci. Ini bermanfaat untuk mitigasi bencana gempa dan tsunami. (MZW/ISW)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000008519525
-
- Log in to post comments
- 312 reads