MENJAGA NUSANTARA
Hutan Lestari, Lingkungan Pun Terjaga
Reny Sri Ayu
12 Agustus 2015
Kamis (6/8) pagi, Haris, Warma Sahmedi, dan sejumlah pengurus Koperasi Hutan Jaya Lestari memantau tanaman jati dan beragam tanaman lainnya di Kecamatan Punggaluku, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Areal yang ditinjau merupakan demplot seluas sekitar 20 hektar.
Warma Sahmendi, salah seorang pengurus Koperasi Hutan Jaya Lestari, mengecek tanaman jati di areal demplot seluas 20 hektar di Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Demplot ini adalah bagian dari 4.690 hektar hutan tanaman rakyat yang dipercayakan pemerintah untuk dikelola koperasi.
KOMPAS/RENY SRI AYUWarma Sahmendi, salah seorang pengurus Koperasi Hutan Jaya Lestari, mengecek tanaman jati di areal demplot seluas 20 hektar di Kecamatan Laeya, Kabupaten Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara. Demplot ini adalah bagian dari 4.690 hektar hutan tanaman rakyat yang dipercayakan pemerintah untuk dikelola koperasi.
Demplot tersebut adalah bagian dari 4.690 hektar hutan tanaman rakyat (HTR) milik pemerintah yang dipercayakan kepada Koperasi Hutan Jaya Lestari (KHJL) untuk dikelola dan dihijaukan kembali berbasis pengelolaan hutan lestari. Tanaman ditanam dengan jarak tanam 2 m x 3 m, 3 m x 3 m, dan 3 m x 4 m. Setiap jenis tanaman diberi papan nama dengan nama Latin dan sebutan lokal. Umumnya tanaman itu sudah setinggi 2-3 meter dengan diameter 10 sentimeter.
"Penanaman beragam jenis tanaman dan jarak tanam sengaja kami lakukan untuk mengetahui jenis tanaman apa saja yang bisa tumbuh di daerah ini dan jarak tanam berapa yang paling bagus. Hasilnya nanti akan menentukan bagaimana kami menanam dan mengelola HTR yang dipercayakan pada koperasi," kata Ketua KHJL Haris.
HTR seluas 4.690 hektar tersebut akan dihijaukan dan hasilnya dikelola berbasis pengelolaan hutan lestari. Sebagian akan menjadi hutan pendidikan dan kawasan ekowisata.
Sebelum pemerintah memercayakan lahan HTR ini, sejak lebih dari 10 tahun lalu, KHJL sudah mengelola hutan seluas 754,44 hektar milik sekitar 740 anggotanya. Lahan ini pula yang menjadi modal awal pendirian koperasi. Awalnya hanya sekitar 50 hektar dan terus bertambah seiring bertambahnya anggota.
Pendirian koperasi yang mengelola hutan milik warga ini bermula saat Lembaga Swadaya Masyarakat Telapak dan Jaringan untuk Hutan (Jauh) masuk ke Konawe Selatan untuk program hutan tanaman rakyat yang bekerja sama dengan pemerintah. Saat itu pemerintah menjanjikan lahan bekas reboisasi dan lahan telantar untuk ditanami oleh warga dan dikelola bersama.
"Namun, setelah semua diurus dan warga bersedia, ternyata lahan yang dijanjikan tidak jelas. Karena sudah telanjur memulai dan agar warga tak kecewa, kami akhirnya mengajak untuk menanam di hutan milik mereka dengan bibit tanaman yang difasilitasi oleh LSM Jauh dan Telapak," kata Sultan, Kepala Badan Teritori Telapak Sulawesi Tenggara.
Dalam perjalanannya, sebagian warga sepakat membentuk koperasi yang anggotanya adalah pemilik lahan. Dibantu LSM Telapak dan Jauh, lahan-lahan milik anggota pun didata. Lahan telantar dihijaukan dengan cara penanaman yang lebih teratur. Lahan yang berisi tanaman jati dan memenuhi syarat ditebang akan ditebang dan diganti dengan tanaman baru. Lahan juga ditanami beragam tanaman tumpang sari untuk mendapat hasil tambahan.
Sebagai catatan, Konawe Selatan dan sejumlah kabupaten di Sultra adalah penghasil jati. Di wilayah ini, jati sudah ditanam turun-temurun sejak zaman penjajahan Belanda. Umumnya warga memiliki lahan jati seluas 0,5-1 hektar setiap keluarga. Satu hektar bisa ditanami jati berkisar 1.300-1.600 pohon.
"Walau mereka pemilik lahan, ada syarat ketat untuk menebang pohon. Koperasi punya tenaga pemetaan dan survei sekaligus pengawas yang mendata seluruh lahan warga. Bukan hanya lahan, melainkan juga keberadaan hewan atau tanaman endemik di sekitar lahan, sumber air termasuk kemiringan tanah, hingga titik koordinat juga dicatat. Mereka juga yang turun mengecek jika ada anggota yang bermohon untuk menebang pohon mereka," kata Asiong, salah satu pengurus sekaligus pengawas.
Syarat ketat
Syarat penebangan pohon, antara lain ukuran diameter paling tidak 30 cm dengan tinggi paling tidak 7 m. Walau berukuran cukup, pohon tak bisa ditebang jika di sekitarnya terdapat sumber air, tempat hidup tanaman dan hewan endemik, atau terdapat sarang burung.
Jika pohon memenuhi syarat ditebang, seluruh proses penebangan akan diawasi sekaligus dicatat oleh tim pengawas. Setiap potongan akan diberi catatan berisi kode lahan, nomor keanggotaan, dan beberapa kode lain.
Misalnya satu pohon dipotong tujuh bagian, semua potongan akan diberi catatan yang sama. Hanya ada satu angka buntut yang berbeda yang menunjukkan urutan potongan pohon dari dekat akar hingga pucuk. Dalam proses ke penggergajian hingga saat akan dikemas untuk dikirim, setiap potongan kayu tetap akan diberi kode sesuai kode asal. Seluruh proses ini disebut lacak balak.
"Ini akan memudahkan memantau kayu yang diolah atau dikirim dan memastikan tak ada kayu ilegal yang diolah. Jika kayu kami dicurigai sebagai kayu ilegal, dengan melihat kode pada setiap potongan kayu, akan ketahuan asalnya dari mana. Kami biasanya meminta aparat atau pihak ketiga untuk membuktikan dengan melacak kembali ke pohon asal karena kode yang sama akan ada di sisa potongan di pohon,! kata Warma Sahmendi, pengurus KHJL.
Pengelolaan berbasis kelestarian lingkungan ini, terutama penerapan sistem lacak balak, antara lain yang membuat hanya dua tahun sejak dirintis KHJL mendapat sertifikat Forest Stewardship Council (FSC) dan sertifikat verifikasi legalitas kayu (SVLK) dari PT Sucofindo pada 2011. Sertifikat ini berarti pengakuan untuk tata kelola hutan berbasis kelestarian. Bahkan, saat menerima sertifikat FSC pada 2005, KHJL adalah yang pertama di Asia Tenggara yang mendapat sertifikat tersebut.
Direktur Eksekutif Jauh Abdul Halik mengatakan, sejak awal, program penanaman jati yang dilakukan bersama warga adalah social forestry. Artinya, warga bisa tetap mengelola dan mendapatkan hasil dari hutan atau lahan milik mereka, tetapi tetap menjaga agar fungsi hutan tetap ada dan berkesinambungan. Bahkan, warga bersama anggota koperasi ikut menjaga wilayah mereka dari pembalakan liar.
Keberhasilan warga, terutama KHJL, mengelola hutan berbasis kelestarian menjadi salah satu pertimbangan Kementerian Kehutanan membuka kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Gularaya di Konawe Selatan. Wilayah pengelolaan KPHP Gularaya meliputi Konawe Selatan dan Kendari dengan luas hutan 115.363 hektar. Sebanyak 70.000 hektar adalah hutan produksi, 40.000 hutan lindung, dan selebihnya adalah hutan mangrove. Lahan warga berada di sekitar hutan lindung dan hutan produksi KPHP Gularaya.
Kepala KPHP Gularaya Fajar Sudrajat mengatakan, KHJL mempunyai andil besar bagi penyadaran warga, terutama anggota, untuk menjaga kelestarian lingkungan. Cara-cara yang dilakukan dalam pengelolaan hutan akan menjadi acuan untuk pengelolaan HTR yang dipercayakan pemerintah kepada koperasi.
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/12/Hutan-Lestari%2c-Lingkungan-Pun-Terjaga
-
- Log in to post comments
- 96 reads