BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Guru Aktor Penting Proses Pembelajaran

Perbaiki Pembelajaran di Kelas
Guru Aktor Penting Proses Pembelajaran
Ikon konten premium Cetak | 22 Februari 2016 Ikon jumlah hit 63 dibaca Ikon komentar 1 komentar

JAKARTA, KOMPAS — Proses pembelajaran yang terjadi di dalam ruang kelas semestinya menjadi fokus dalam upaya peningkatan kualitas pendidikan. Di dalam proses belajar di ruang kelas itu, guru dan konten atau materi ajar merupakan hal yang paling menentukan.

Sayangnya, justru guru dan konten yang saat ini menjadi kelemahan di banyak sekolah atau institusi pendidikan.

Pemerintah selama ini sudah mengupayakan perbaikan pada dokumen dan pelaksanaan Kurikulum 2013. Peningkatan kualitas guru juga dilakukan melalui kebijakan tunjangan profesi dan pelatihan. Namun, hasilnya dinilai belum terlihat.

Hal tersebut dikemukakan oleh para pengamat pendidikan, Minggu (21/2). Mereka dimintai pendapat dalam rangka pelaksanaan Rembuk Nasional Pendidikan dan Kebudayaan (RNPK) 2016 yang diikuti kepala dinas pendidikan provinsi, kota, dan kabupaten se-Indonesia. Diselenggarakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, RNPK 2016 dibuka pada Minggu (21/2) malam dan akan berakhir pada Rabu (24/2), di Sawangan, Depok, Jawa Barat.

Pembukaan RNPK 2016 dihadiri Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan. Kegiatan ini bertujuan membahas pembangunan pendidikan dan kebudayaan tahun 2016.

Otentik

Terkait dengan proses pembelajaran di kelas, pengamat pendidikan Doni Koesoema mengingatkan perlunya menumbuhkan kultur moral pembelajaran melalui praktik pengajaran dan sistem penilaian yang mendukung pengalaman belajar otentik. Pemerintah pun dinilai perlu lebih lebih fokus pada reformasi pembelajaran di kelas.

Wujud reformasi itu ialah mendorong kehadiran guru yang bermutu. Selain itu, dilakukan penerapan sistem evaluasi dan penilaian yang menumbuhkan kultur pembelajaran otentik.

Selama ini, pengajaran dan pembelajaran dinilai belum otentik karena sistemnya belum mampu mendukung penilaian belajar secara otentik. Menurut Doni, kasus katrol atau manipulasi nilai menunjukkan, apa yang dinilai tidak menunjukkan realitas pembelajaran yang terjadi.

Manipulasi nilai didukung kebijakan lain dalam dunia pendidikan, yakni kebijakan kriteria ketuntasan minimal, nilai sikap dalam rapor serta sistem seleksi masuk perguruan tinggi melalui jalur undangan. "Kita disuguhi data palsu yang seolah-olah baik, padahal faktanya tidak. Jika hal ini dibiarkan terus terjadi, kita tak akan berkembang karena merasa diri sudah baik," ujar Doni.

Pengamat pendidikan dari Institute for Education Reform Universitas Paramadina, Mohammad Abduhzen, menilai, operasi pendidikan dan pembelajaran perlu diaudit tuntas sehingga dapat ditemukan faktor strategis spesifik yang menjadi penyebab pendidikan tak berkualitas. Lewat audit ini, dapat ditemukan pula jalan mengatasi problem di dunia pendidikan.

Ia mencontohkan, hasil Trends in International Mathematics and Science Study dan Programme for International Student Assessment menunjukkan kelemahan murid Indonesia terletak pada penalaran tingkat tinggi. Penyebab utamanya adalah pendekatan dan metode yang digunakan guru. "Faktor tersebut perlu menjadi poin dalam meningkatkan kompetensi guru," ujar Abduhzen.

Guru, menurut dia, aktor utama dalam kerangka kualitas pembelajaran. Dahulu, faktor ekonomi dianggap sebagai penyebab kinerja guru tidak bermutu sehingga tunjangan profesi sebagai insentif dianggap sebagai solusi. Hal itu ternyata dinilai kurang tepat. Sudah 10 tahun tunjangan profesi diberikan, tetapi belum ada tanda-tanda perbaikan secara kualitatif.

"Persoalan guru kita terletak pada motivasi keguruannya, yang harus dibenahi bersamaan dengan pendekatan dan metodenya," ujar Abduhzen.

Tindak lanjut lebih penting

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia Retno Listyarti mengingatkan Kemdikbud untuk tidak melaksanakan uji kompetensi guru (UKG) secara rutin apalagi tahunan. Hal yang lebih penting ialah tindak lanjut hasil UKG.

"Pasca UKG lebih penting, dengan pelatihan guru. Selama ini, pelatihan tidak diprogramkan secara terencana, sistemik, dan berkelanjutan. Pelatihan guru umumnya bersifat massal tanpa didahului pemetaan kebutuhan pelatihan bagi guru. Bahkan, selama ini kerap berbau proyek, asal diselenggarakan tanpa memikirkan hasilnya berkualitas atau tidak," kata Retno.

Menurut dia, UKG tidak bisa tepat mengukur kompetensi guru secara keseluruhan karena hanya mengukur pengetahuan guru. Padahal, ada empat kompetensi guru yang harus dinilai, yakni kompetensi pedagogik, profesional, sosial, dan kepribadian. (c05/LUK)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/02/22/Perbaiki-Pembelajaran-di-Kelas

Related-Area: