BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Filantropi Memberdayakan, Bukan Sekadar Sedekah

AKTIVITAS SOSIAL
Filantropi Memberdayakan, Bukan Sekadar Sedekah
7 Februari 2017

JAKARTA, KOMPAS — Kegiatan berderma atau filantropi kini sudah beranjak dari sekadar memberi sumbangan menjadi program pemberdayaan masyarakat yang berkesinambungan. Hal ini dimaksudkan agar dana dari para penyumbang bisa memberi nilai tambah pada pembangunan.

"Sebelumnya, sumbangan langsung diberikan kepada penerima dalam bentuk tunai. Hal ini justru menimbulkan dampak ketergantungan terhadap sumbangan," kata mantan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Erna Witoelar, yang juga pegiat filantropi, pada acara pratinjau buku biografinya yang berjudul Erna Witoelar: Membangun Jembatan, di Jakarta, Senin (6/2). Buku yang ditulis Safrita Aryana itu akan diluncurkan pada 10 Februari mendatang.

Menurut Erna, tantangan masa kini ialah menyalurkan dana sumbangan yang terkumpul secara efektif sehingga tidak tersalur untuk program yang bersifat sementara, kepentingan politik, komersial, ataupun individual. Harus ada program jelas dan menyentuh pemberdayaan masyarakat dari berbagai aspek.

Ia mencontohkan, pemupukan semangat Bhinneka Tunggal Ika juga bisa dilakukan melalui filantropi. Melalui forum pembelajaran filantropi, misalnya, organisasi-organisasi amal berbasis agama bisa bertemu dan saling membantu, terlepas orang-orang yang dibantu memiliki keyakinan berbeda dengan penyumbang. "Silaturahim berlangsung alami tanpa perlu dilandaskan teori persatuan dan pluralisme," ujarnya.

Contoh kedua, lanjut Erna, organisasi-organisasi filantropi sudah mulai membuat program pemberdayaan masyarakat berdasarkan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Sebagai gambaran, dulu organisasi filantropi hanya peduli pada penyediaan air bersih untuk masyarakat. Sekarang, mereka juga mengajak masyarakat untuk peduli pada kebersihan saluran air dan penghijauan kembali lahan untuk menyerap air. Pendekatan yang digunakan bersifat holistik.

Oleh sebab itu, dalam proses filantropi diperlukan kerja sama dengan pemerintah daerah dan lembaga swadaya masyarakat (LSM) sebagai pelaksana dan pengawas program. Hal itu mensyaratkan ketiga belah pihak memiliki sikap profesional. "Setiap program yang disusun harus berdasarkan data yang bisa dipertanggungjawabkan," katanya.

Membangun mental

Secara terpisah, sosiolog kebudayaan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anas Saidi, mengungkapkan pentingnya komitmen pendamping. "Pola filantropi di Indonesia selama ini hanya memberi bantuan fisik, seperti sandang, pangan, dan papan, belum membangun mental yang mandiri. Untuk mengubah pola pikir seperti itu tak bisa hanya dengan pendampingan 1-2 tahun," ujarnya.

Ia mengemukakan perlunya pola evaluasi yang berkesinambungan. Pasalnya, para kader lokal yang dilatih tetap harus diingatkan secara berkala agar tidak lalai melanjutkan program. Hal yang kerap terjadi, kinerja para kader yang telah dilatih mengendur setelah beberapa tahun ditinggal pendamping. "Kebiasaan sistem filantropi di Indonesia hanya fokus pada perencanaan. Belum terlalu banyak yang mementingkan evaluasi hasil serta perbaikannya," ucap Anas.

Ia melanjutkan, diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengubah karakter masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, komitmen pemerintah dan LSM memantau secara terus-menerus sangat dibutuhkan. (DNE)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/dikbud/kebudayaan/2017/02/07/Filantropi-Memberdayakan-Bukan-Sekadar-Sedekah

Related-Area: