WILAYAH ADAT
BP REDD+ Siap Jadi Wali Data
JAKARTA, KOMPAS — Badan Pengelola REDD+ menawarkan diri menjadi wali data peta wilayah masyarakat hukum adat. Dengan demikian, konflik antara masyarakat adat atau lokal dan pemegang konsesi lahan perkebunan besar—yang wilayah lahannya tak jarang menggusur tanah adat—diharapkan dapat dihindari.
”Kalau tidak ada lembaga pemerintah yang mau ambil (peta tematik wilayah adat), hari ini juga kami siap menjadi wali datanya,” kata William P Sabandar, Deputi Operasi Badan Pengelola REDD+, Rabu (12/11), di Jakarta, ketika konferensi pers Standar Operasi dan Prosedur (SOP) Pemetaan Partisipatif yang digelar Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP).
Narasumber lain, Ari Dartoyo (Badan Informasi Geospasial/BIG), Arifin Saleh (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), dan Deny Rahadian (JKPP). SOP akan diajukan ke Badan Standardisasi Nasional.
Pihak BP REDD+ siap jadi wali data karena belum ada kementerian/lembaga pemerintah berinisiatif jadi penyedia informasi atas peta tematik berupa wilayah adat. Ketiadaan wali data membuat peta wilayah adat yang disusun partisipatif masyarakat bersama organisasi masyarakat sipil belum diakui sebagai informasi geospasial resmi.
Menurut UU Nomor 4 Tahun 2011 tentang Informasi Geospasial, penyusunan peta tematik hanya bisa dilakukan lembaga pemerintah. Ini membuat peta partisipatif tidak bisa diintegrasikan dalam program Satu Peta (One Map).
Penyusunan peta wilayah adat merupakan konsekuensi atas pengakuan negara atas keberadaan masyarakat hukum adat. Apalagi, beberapa waktu lalu, putusan Mahkamah Konstitusi No 35/2012 menyatakan hutan adat bukan hutan negara. Putusan itu ditanggapi masyarakat adat dengan menandai lahan hingga menyusun peta wilayah.
”Peta masyarakat adat itu mendesak dan harus diselesaikan untuk menghindari konflik. Selama ini, kalau terjadi overlapping, masyarakat adat selalu kalah ketika dihadapkan pada perusahaan yang berpegang pada peta konsesi,” kata William.
BP REDD+ jadi wali data dengan ”cantolan” Peraturan Presiden No 62/2013 tentang Badan Pengelola Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca dari Deforestasi, Degradasi Hutan, dan Lahan Gambut. Dalam perpres itu disebut, salah satu tujuan penurunan emisi dari sektor hutan dan lahan gambut adalah membawa kesejahteraan bagi masyarakat adat.
Kepala Bidang Standardisasi Penyelenggaraan Informasi Geospasial BIG Ari Dartoyo mengatakan siap membantu dan mendampingi penyusunan peta partisipatif, termasuk peta wilayah adat. ”Masyarakat lokal atau adat punya ’meta map’ yang bisa dituangkan dalam gambar. Meski secara kaidah belum tentu benar, informasinya benar,” katanya.
Untuk itu, masyarakat adat yang mengenal batasan teritori sederhana, seperti batas pohon besar atau batas jalan kaki seharian, perlu didampingi dalam menyusun peta partisipatif. ”Sudah 5,2 juta hektar wilayah masyarakat adat dan lokal dipetakan,” kata Deny. Namun, peta-peta ini belum bisa disejajarkan dengan peta tematik terbitan pemerintah, termasuk peta izin konsesi pertambangan, perkebunan, dan kehutanan. (ICH)
Sumber: http://print.kompas.com/KOMPAS_ART0000000000000000010067719
-
- Log in to post comments
- 99 reads