BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Belum dari Pinggiran

PEMBANGUNAN
Belum dari Pinggiran
Ikon konten premium Cetak | 27 Agustus 2015 Ikon jumlah hit 40 dibaca Ikon komentar 0 komentar

Pembangunan harus dimulai dari pinggiran, dari daerah dan desa-desa. Demikian petikan pidato kenegaraan Presiden Joko Widodo dalam rangka Hari Ulang Tahun Ke-70 Indonesia pada rapat paripurna parlemen di Jakarta, 14 Agustus 2015.
didie sw

Otonomi daerah secara formal telah diterapkan. Namun, nyatanya, sejumlah daerah dan desa masih miskin. Para perempuannya merantau ke luar negeri untuk menjadi asisten rumah tangga. Pemudanya pergi ke kota-kota besar untuk "nguli". Sebab, tak ada perputaran uang di desa. Tak ada harapan di desa. Tak ada kehidupan di desa.

Membangun dari pinggiran adalah gagasan yang berpihak pada moral dan keadilan. Namun, gagasan saja tidak cukup.

Kondisi faktual memperlihatkan bahwa gagasan membangun dari pinggiran belum sepenuhnya terealisasi di daerah dan desa-desa. Sejumlah indikator obyektif menunjukkan situasi ini.

Indikator pertama, pemerintah gagal mengendalikan inflasi pedesaan dan inflasi kelompok bahan makanan. Tiga bulan pada semester I-2015, inflasi pedesaan lebih tinggi daripada inflasi perkotaan.

Adapun inflasi kelompok makanan selalu lebih tinggi dibandingkan dengan inflasi kelompok bukan makanan. Ini tren klasik yang belum mampu dipecahkan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Inflasi bahan makanan sangat memengaruhi daya beli rakyat miskin karena 65 persen pengeluaran keluarga miskin untuk makanan.

Kedua, kesejahteraan petani dan buruh merosot. Nilai tukar petani (NTP) sebagai indikator kesejahteraan petani merosot. Per Juni 2015, NTP di semua subsektor pertanian turun dibandingkan saat pemerintahan baru dilantik pada Oktober 2014.

NTP di subsektor tanaman pangan, misalnya, turun dari 98,14 menjadi 97,29. NTP di subsektor perkebunan rakyat juga turun dari 101,23 menjadi 97,78.

Kondisi serupa terjadi pada buruh. Upah riil buruh tani dan upah riil buruh industri merosot. Upah riil buruh tani per Januari 2014 sebesar Rp 39.383 per hari. Per Juli 2015 menjadi Rp 37.887. Upah riil buruh industri turun 3,5 persen per triwulanan. Ini terutama terjadi di industri padat karya.

Ketiga, dana desa masih tersumbat. Pemerintahan Presiden Joko Widodo memang telah meningkatkan alokasi dana desa dari Rp 9,1 triliun warisan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi Rp 20,77 triliun. Namun, realisasinya jauh dari harapan. Dari 434 daerah yang telah menerima penyaluran tahap pertama, 146 daerah telah menyampaikan laporan pelaksanaan ke Kementerian Keuangan per 21 Agustus.

Laporan menunjukkan, baru 53 kabupaten dan kota yang telah meneruskan 100 persen dana desa ke desa. Sebanyak 63 kabupaten dan kota menyalurkan sebagian dana desa ke desa. Sementara 30 kabupaten dan kota lainnya sama sekali belum menyalurkannya ke desa.

Keempat adalah masifnya dana daerah yang mengendap di bank. Per akhir Juni 2015 nilainya mencapai Rp 273,5 triliun. Jumlah ini jauh lebih besar ketimbang dana penanggulangan kemiskinan atau dana kesehatan.

Apabila hal itu diteruskan, masih banyak indikator lain. Namun, setidaknya keempat indikator di atas cukup untuk mengingatkan bahwa pembangunan belum sepenuhnya dari pinggiran. Gagasan tidak boleh hanya berhenti di atas kertas dan mimbar pidato. Sebab, jika hal itu terjadi, maka hanya menjadi jargon. Untuk itu, pemerintah wajib mengawal dan memastikan gagasan itu menjadi kenyataan di daerah dan desa-desa. (FX LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/08/27/Belum-dari-Pinggiran

Related-Area: