BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Bauran Energi Primer

Oleh: Tempo.co
Senin, 12 November 2018 00:58 WIB

INFO NASIONAL - Ketersediaan energi untuk kebutuhan nasional salah satunya dipenuhi dengan meningkatkan eksplorasi sumber daya, potensi dan/atau cadangan terbukti energi, baik dari jenis fosil maupun energi bare dan energi baru terbarukan (EBT).

Salah satu tantangan terberat dalam peningkatan porsi EBT dalam bauran energi primer adalah tingginya investasi yang dibutuhkan untuk pengembangan jenis energi hijau ini. Untuk setiap megawatt-nya, rata-rata investasi yang dibutuhkan adalah sebesar 2-5 juta dolar AS. Bahkan, perkiraan Badan Energi Internasional (IEA) pada 2014 lalu menunjukkan upaya pengurangan kadar karbon secara global melalui pengembangan energi listrik yang bersumber dari EBT, membutuhkan investasi sekitar 20 triliun dolar AS hingga tahun 2035 mendatang.

Karenanya, Pemerintah melalui Dewan Energi Nasional (DEN) terus berupaya untuk menggandeng para investor dalam pengembangan EBT. Khususnya, dalam pembangunan infrastruktur energi yang difokuskan untuk meningkatkan rasio elektrifikasi di wilayah timur Indonesia harus berdasarkan prinsip energi berkeadilan sehingga tercapai Indonesia yang mandiri energi.

Pengembangan EBTKE ini telah diatur dalam, antara lain, Peraturan Pemerintah (PP) No. 79/2014 tentang Kebijakan Energi Nasional; Peraturan Presiden (Perpres) No.22/2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN); serta Permen ESDM No. 50/2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk penyediaan tenaga listrik. Pada Permen ESDM No. 50/2017 tersebut, Pemerintah menetapkan mekanisme harga jual listrik EBT yang lebih adil bagi investor maupun PT. PLN (Persero). Selain regulasi tersebut, Pemerintah juga telah menyediakan payung hukum bagi pemanfaatan sumber-sumber EBT. Di antaranya, UU No. 21/2014, PP No. 9/2012, PP No. 28/2016, PP No. 7/2017, Permen ESDM No. 11/2009, serta Permen ESDM No. 37/2017, yang menjadi landasan dalam pemanfaatan dan pengelolaan energi panas bumi.

Di subsektor bioenergi, pengembangannya telah diatur dalam Permen ESDM No. 26/2016 dan Permen No. 12/2015 tentang Perubahan Ketiga atas Permen ESDM No. 32/2008 tentang Penyediaan, Pemanfaatan, dan Tata Niaga Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain. Untuk menggalakkan upaya konservasi energi, telah diterbitkan pula Permen ESDM No. 14/2012 tentang Manajemen Energi, Permen ESDM No. 13/2012 tentang Penghematan Pemakaian Tenaga Listrik, serta Permen ESDM No. 14/2016 tentang Penyelenggaraan Usaha Jasa Konservasi Energi.

Dengan adanya sejumlah regulasi tersebut, elemen/badan usaha swasta dapat melakukan investasi di bidang EBT sesuai dengan aturan dan ketetapan yang berlaku. Investasi di bidang EBTKE ini dapat dilakukan melalui Skema IPP (Independent Power Producer), Skema APBN, Skema DA K (Dana Alokasi Khusus), Skema KPDBU (Kerja sama Pemerintah Daerah dan Badan Usaha), serta Skema Elektrifikasi Perdesaan.

Pada Skema IPP, harga beli dan mekanisme pembelian listrik IPP dari berbagai jenis komoditi EBT telah diatur dalam Permen ESDM No. 50/2017. PT PLN (Persero) sebagai BUMN akan membeli listrik produksi IPP. Harga beli ini merujuk pada Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik lokal yang dikeluarkan oleh PLN dan ditetapkan Menteri ESDM. Jika BPP Pembangkitan di sistem ketenagalistrikan setempat di atas rata-rata BPP Pembangkitan Nasional, harga pembelian maksimal 85% dari BPP Pembangkitan setempat. Harga ini diberlakukan untuk PLTS, PLTB, PLT Biomassa, PLT Biogas, dan PLTA laut. Sedangkan untuk PLTSa, PLTP, dan PLTA, jika BPP Pembangkitan di sistem setempat di atas rata-rata pembangkitan nasional, harga pembelian maksimal 100% dari BPP Pembangkitan setempat. Sementara, jika BPP pembangkitan setempat lebih rendah atau sama dengan rata-rata BPP Pembangkitan Nasional, harga pembelian tenaga listrik berdasarkan kesepakatan.

Mekanisme harga tersebut merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mendorong investasi di wilayah Indonesia timur. Mekanisme ini membuat investasi di wilayah timur lebih menguntungkan.

Perjanjian jual beli listrik antara PLN dan IPP ini dikuatkan melalui penandatanganan Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). PJBL mencakup pengaturan terhadap beberapa aspek komersial untuk berbagai jenis pembangkit EBT, antara lain PJBL dapat berlaku hingga 30 tahun. Aspek komersial juga meliputi bentuk transaksi, yaitu delivery or pay dan take or pay. Delivery or pay adalah kondisi IPP yang tidak dapat menyanggupi distribusi listrik sesuai kapasitas yang disepakati karena kesalahan IPP sehingga IPP akan dikenakan pinalti.

Sedangkan take or pay, adalah kondisi PLN yang tidak sanggup menyerap listrik sesuai kapasitas yang disepakati dalam PJBL karena kesalahan PLN sehingga PLN harus membayar pinalti kepada IPP selama periode tertentu. Besaran pinalti ditetapkan secara proporsional sesuai komponen investasi. Aspek komersial berikutnya adalah kesepakatan terkait Komponen E, yaitu komponen biaya transmisi dari pembangkit sampai ke gardu induk PLN.

Dalam Skema APBN, pemanfaatan EBTKE meliputi kegiatan fisik berupa pembangunan, pengadaan, dan pemasangan instalasi penyediaan tenaga listrik dari EBT, instalasi penyediaan bahan bakar non tenaga listrik bioenergi, serta peralatan efisiensi energi. Kegiatan tersebut juga mencakup revitalisasi/rehabilitasi instalasi pemanfaatan EBT dan konservasi energi. Pada skema ini, pemerintah pusat bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran dari APBN sebagai modal pembangunan di tingkat daerah.

Dalam Skema DAK, pemerintah daerah berwenang atas pengelolaan DAK untuk membangun pembangkit listrik EBT berskala kecil. Keberadaan pembangkit listrik ini dapat meningkatkan rasio elektrifikasi dan mempercepat pembangunan ekonomi, khususnya di daerah terpencil.

Adapun target utama dari DAK adalah pembangunan EBT dan Listrik Perdesaan (Lisdes). Pembangunan EBT terdiri dari penyediaan listrik dari PLTMH off grid sebesar 1,5 MW, penyediaan listrik dari PLTS Terpusat dan/atau tersebar dengan total kapasitas sebesar 2,1 MWp, produksi biogas sebesar 2.000 m3 per hari, serta revitalisasi PLTS dan PLTMH off grid. Sementara, melalui Lisdes, dilaksanakan pembangunan jaringan dan sambungan listrik rumah tangga dengan target 195.000 rumah tangga serta jaringan listrik tegangan rendah sepanjang 140 km untuk mendistribusikan listrik kepada target rumah tangga.

Pada Skema KPDBU, pemerintah daerah dan badan usaha bekerja sama dalam menyediakan infrastruktur untuk kepentingan umum, melalui pembentukan Badan Usaha Pelaksana KPDBU. Dalam kerja sama ini, kepala daerah atau BUMD menjadi Penanggung Jawab Proyek Kerja sama (PJPK).

Selain kelima skema investasi di atas, pemerintah juga membuka kesempatan bagi badan usaha untuk menyediakan listrik dan infrastruktur kelistrikan skala kecil sampai dengan 50 MW di daerah perdesaan belum berkembang, terpencil, perbatasan, dan pulau kecil berpenduduk. Adapun sumber EBT yang boleh dikelola adalah gas metana batubara, panas bumi, angin, bioenergi, sinar matahari, aliran/terjunan air, nuklir, batubara tercairkan, dan batubara tergaskan.

Dalam kurun waktu 2014-2017, pengembangan sektor EBTKE melalui pendanaan APBN telah berhasil membangun sejumlah infrastruktur EBTKE di seluruh wilayah Indonesia. Dengan total anggaran lebih dari Rp3 triliun, telah dibangun pembangkit EBT sebanyak 471 unit dengan kapasitas total terpasang 38.988 KW, biogas komunal sebanyak 823 unit dengan kapasitas total 5.232 m3, serta sarpras BBN sebanyak 15 unit dengan kapasitas 5.900 KL. Selain itu, telah terbangun pula Penerangan Jalan Umum (PJU) di 15.086 titik, Lampu Tenaga Surya Hemat Energi (LTSHE) sebanyak 80.332 unit, serta berhasil melistriki dan menerangi 147.193 KK. (*)

 

Sumber: https://nasional.tempo.co/read/1145191/bauran-energi-primer/full&view=ok

Related-Area: 
Tag Referensi: