Manado, Surga Para Pemabuk?
Walter Balansa
Kolumnis lepas pada berbagai surat kabar dan majalah berbahasa Inggris nasional maupun internasional (the Jakarta Post, Jakarta Globe, Inside Indonesia dan Opinion Asia)
Saya tidak bermaksud menjadi “suara yang berseru-seru di padang gurun”, tetapi tanda-tanda belakangan ini mustahil diabaikan. Sekarang Manado sedang mengalami epidemik yang lebih berbahaya dari strain flu burung paling mematikan sekalipun. Anda mungkin berpikir saya sedang membicarakan tentang reshuffle kabinet yang melibatkan Putra-putra Sulawesi Utara (Sulut). Tetapi isu reshuffle hanyalah kulit kacang dibandingkan dengan kejahatan akibat minuman keras (Miras) yang banyak melibatkan generasi muda dan makin meresahkan masyarakat Manado.
Miras memang menjadi biang keladi dari sebagian besar kasus kejahatan dan kecelakaan lalu lintas di Manado akhir-akhir ini. Menurut Kapolda Manado, Brigjen Polisi Carlo Brix Tewu, “Miras adalah penyebab utama sebagian besar tindakan kriminal dan lakalantas di Manado”. Tetapi mari kita mundur beberapa langkah dan melihat faktor-faktor penyebab utama; akses mendapatkan Miras, peraturan terkait konsumsi Miras, sistim keamanan lingkungan dan kepemilikan senjata tajam.
Miras masih sangat mudah diperoleh di Manado, semudah membeli kacang goreng. Menurut Fanly Pengemanan, dosen Fisip Universitas Sam Ratulangi (UNSRAT), selain sanksi yang kurang tegas dalam Perda No. 18 Tahun 2000 tentang Mabuk dan Peredaran Minuman Keras, Miras masih dijual bebas di Manado sehingga terjangkau oleh siapa pun. Ditambah dengan ketiadaan batas umur untuk pembelian dan konsumsi Miras, keadaan ini menjadikan Manado bagai surga bagi para pemabuk.
Senjata-senjata tajam pun masih bertebaran di tengah masyarakat, gentayangan seperti malaikat pencabut nyawa. Tingginya jumlah korban penikaman di Manado belakangan ini merupakan bukti kuat untuk sentimen ini. Keadaan seperti ini seharusnya hanya dijumpai di kota-kota besar yang dipenenuhi preman, mafia, yakuza dan gangster atau pada film-film laga versi Hollywood. Sungguh ini adalah sebuah tamparan keras di pipi bagi Kota Manado yang sedang membangun image-nya menjadi kota tujuan wisata dan warganya yang anti-kriminal dan religius.
Selain itu, ketidakaktifan sistim keamanan lingkungan (Siskamling) turut memperburuk keadaan. Di berbagai tempat di Manado, sistim ini biasanya hanya berfungsi pada saat tertentu saja, tak ubahnya mobil pemadam kebakaran atau ambulans, karena alasan perut. Padahal, jumlah polisi yang masih terbatas dan lokasi tongkrongan anak muda kian menjamur di berbagai wilayah kota Manado, membuka celah cukup besar terjadinya kejahatan akibat Miras.
Tak mengherankan meskipun genderang perang anti-mabuk telah ditabuh oleh Kepala Daerah, Pemko Manado dan Kapolda Manado, gemanya nyaris tak terdengar. Awal tahun ini, gubernur Sulawesi Utara, Dr. Sinyo Hari Sarundayang telah mencanangkan Tahun 2011 sebagai Tahun Anti-mabuk. Kampanye anti mabuk pun terus digelar oleh Kapolda Sulut. Pemerintah dan DPR Sulut merevisi Undang-undang No. 18 Tahun 2000 yang tidak lagi cocok. Sayangnya, upaya-upaya segencar ini pun belum mampu mengurangi apalagi memberantas kejahatan akibat Miras.
Kemandulan upaya-upaya di atas menurut Mahyudin Damis adalah akibat sikap setengah hati Pemko Manado dalam memerangi Miras. Menurut Damis, “selama produksi Miras tak terkendali, kejahatan akibat Miras akan terus berlangsung sebab konsumsi Miras di masyarakat ibarat penyakit sudah mencapai tahap kronis”. Selain itu, Prof. Pdt. Nico Gara menilai bahwa “persoalan ini turut dipicu [oleh] lemahnya produk hukum yang dikeluarkan Pemda serta tak maksimalnya fungsi aparat keamanan”.
Sebagai sebuah bisnis menguntungkan, Miras tentu saja menyumbang pajak yang tidak kecil bagi pemerintah, membuat Pemko Manado kehilangan nyali untuk bertindak tegas. Meskipun menyadari tuntutan warga Manado, pihak Pemko hanya bisa berdalih bahwa izin [produksi Miras] yang sudah mereka keluarkan menjadi kendala terbesar untuk memenuhi tuntutan masyarakat itu. Simak komentar Wakil Walikota Manado, Harley Mangindaan “bisa-bisa mereka (pemilik pabrik) balik menuntut pemerintah yang sudah memberikan izin”, sungguh sebuah ironi di akhir Tahun Anti-Mabuk.
Padahal tidak sedikit dari korban kejahatan akibat Miras adalah generasi muda, mungkin saja aset Kota Manado, Sulut bahkan Indonesia. Selain itu, nilai nyawa manusia bukanlah seharga semangkuk bakso. Stefanos Zenio pakar ekonomi Stanford University yang mengkaji nilai nyawa pada para pendonor ginjal saja, tiba pada nilai $129,000 per orang per tahun (Majalah Time). Dengan perhitungan yang sama dan asumsi bahwa 10 korban tewas akibat Miras di Manado selama bulan September berusia 20 tahun, itu berarti kerugian setidaknya Rp. 25.800.000.000, kerugian maha besar yang menuntut terobosan bukan alasan.
Sejumlah langkah untuk memerangi dampak kejahatan Miras sebetulnya sudah banyak diketahui.
Keluarga, guru, tokoh masyarakat dan pemuka agama tentu menjadi salah satu basis utama upaya pemberantasan kejahatan akibat Miras. Dengan menjadi contoh yang baik, memberikan nasehat, pengajaran dan pengawasan terhadap anak, orang tua, guru dan pemuka agama palang pintu utama pencegah kriminal akibat Miras. Ini pun harus dibarengi dengan “kesadaran diri” ungkap Pdt Gara “karena tanpa niat berubah penyakit masyarakat ini akan terus terjadi”.
Sedangkan Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesian (KPAI), Hadi Supeno, menilai bahwa “kampanye [besar-besaran] tentang pelarangan penjualan Miras terhadap anak di bawah umur” adalah harga mati sebab orang tua sulit mengawasi anak-anak mereka saat mereka berada di luar rumah. Tetapi kunci utama adalah penetapan batas umur dan penegakan aturan untuk konsumsi Miras menurut International Centre for Alcohol Policy (ICAP). ICAP menambahkan bahwa hingga sekarang Indonesia baru menetapkan umur terendah (16 tahun) untuk pembeli Miras tetapi belum melakukan hal yang sama untuk konsumsi Miras.
Kejahatan akibat Miras yang kian merebak di Manado juga mengharuskan penetapan batas umur terendah (21 tahun?) untuk pembeli maupun pengkonsumsi Miras. Tengoklah Pemerintah Minahasa Selatan (Minsel) yang sedang menerapkan pendekatan serupa. Menurut Ketua KPTSP Minsel, Johan Kawatu, para penjual mendapat sanksi pencabutan ijin penjualan jika mereka menjual Miras kepada anak di bawah umur. Selain itu, Kawatu menambahkan bahwa Miras jenis Cap Tikus dan minuman beralkohol lainnya tidak diperjualbelikan di warung-warung melainkan di toko-toko yang memiliki ijin.
Sekaranglah waktunya Pemko Manado dan pihak terkait bekerjasama secara berkesinambungan, merazia dan memusnahkan senjata-senjata tajam, memperketat izin dan mengawal kegiatan-kegiatan keramaian dan mengaktifkan kembali sistim keamanan lingkungan. Alasan perut untuk kegiatan siskamling mungkin dapat disiasati oleh Pemko dengan menyalurkan sebagian dana Kambtibmas atau mungkin sebagian dana studi banding DPR untuk kegiatan siskamling jika menghendaki sistim seperti ini langgeng.
Langkah penting lainnya adalah menambah jumlah polisi, menaikan pajak Miras, meniadakan subsidi untuk usaha Miras, menetapkan dan menegakan Perda Anti Mabuk serta membatasi produksi, distribusi dan waktu konsumsi Miras.
Bayangkan jika di akhir Tahun Anti Mabuk ini Pemko Manado dan semua pihak terkait menetapkan batas produksi dan distribusi Miras, batas umur dan waktu untuk mengkonsumsi Miras, menertibkan izin keramaian dan senantiasa merazia senjata tajam. Tetapi, tahun 2011 pun nampaknya masih menjadi “Tahun Slogan-Anti-Mabuk” membuat kita kembali mempertanyakan kesungguhan Pemko Manado dan pihak terkait dalam memerangi Miras dan dampak kejahatan akibat Miras.
- Walter's blog
- Log in to post comments
- 497 reads
Jika revisi perda sulut
Jika revisi perda sulut 18/2000 masih belum mau memandang fakta historis lokal dan kondisi struktur sosial budaya setempat, namun cuma hendak memperbanyak jumlah kewajiban yang mesti dipenuhi masyarakat, maka ia tetap akan diabaikan begitu saja.
Related link: http://www.batukar.info/node/17816