Kombinasi robot dan AI memungkinkan pekerjaan sekompleks apa pun dapat dikerjakan dengan presisi. Situasi itu secara perlahan berpotensi meminggirkan peran manusia.
Ada kecemasan, evolusi kompleksitas komputasi sistem kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) bakal menyisihkan manusia.
Jika sebelumnya robot telah mengambil alih sebagian peran manusia, lantas bagaimana jika mesin, robot, dan kecerdasan buatan bekerja dalam satu sistem utuh? Dengan kompleksitas perkembangan teknologi, akankah ”mereka” merebut makin banyak pekerjaan manusia?
Berdasarkan Future of Jobs Report 2025 yang dirilis Forum Ekonomi Dunia (WEF) pada 8 Januari 2025, memang sejumlah bidang pekerjaan yang membutuhkan keterampilan dasar dan repetitif diproyeksikan akan mengalami pertumbuhan pesat pada 2030. Peluang itu kian terbuka seiring menurunnya populasi dan tingginya tingkat pendidikan di negara maju, yang membuat warga mereka enggan menjamah pekerjaan-pekerjaan yang digolongkan low-semi skilled, seperti buruh tani, pengemudi pengiriman, pekerja konstruksi bangunan, dan pramusaji.
Meski demikian, sejumlah pihak, terutama para aktivis perburuhan, melihat bahwa peluang itu sekaligus menjadi alarm. Pertama, agar pemerintah segera memperkuat kapasitas dan perlindungan terhadap pekerja sektor informal. Kedua, peluang itu tidak boleh dilihat semata-mata dalam aspek ekonomi (Kompas, Selasa, 21 Januari 2025).
Kembali pada persoalan kecemasan di awal tulisan, ada aspek sosial dan etis yang perlu dicermati dalam isu low-semi skilled dan kompleksitas perkembangan kecerdasan buatan.
Negara maju bisa jadi resah dengan menurunnya angka populasi karena persoalan tersebut terkait dengan eksistensi. Akan tetapi, mungkin mereka tak terlalu risau dengan kebutuhan pekerja, terutama di sektor informal. Mereka bisa saja menyulihnya dengan mesin. Kombinasi robot dan AI memungkinkan pekerjaan sekompleks apa pun dapat dikerjakan dengan presisi, minim risiko kecelakaan kerja, dan lebih murah karena itu lebih menguntungkan. Dalam kerangka berpikir yang sama, mungkin saja dunia industri bakal menirunya.\
Situasi itu tentu secara perlahan akan meminggirkan peran manusia, terutama mereka yang dikategorikan sebagai pekerja dengan keterampilan terbatas. Memang, laporan yang disampaikan dalam WEF memperlihatkan peran manusia masih signifikan. Namun, tanpa peran aktif pemerintah untuk melindungi, menjamin, dan sekaligus mengembangkan kapasitas pekerja informal, posisi mereka bisa saja tergusur.
Oleh karena itu, ada baiknya melihat advokasi para aktivis perburuhan sebagai desakan yang mencirikan pentingnya membela manusia dalam perkembangan signifikan teknologi. Sekali lagi, dalam struktur sosial ekonomi yang masih diwarnai ketimpangan, di mana kesejahteraan tidak terdistribusi dengan adil, yang membuat semakin banyak kelompok tersisih, perlu ada langkah kuat dan kokoh guna membangun keberpihakan pada keberadaan pekerja sektor informal.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/mitigasi-risiko-kompleksitas-ai?open_from=Opini_Page
-
- Log in to post comments