Dibandingkan makanan bergizi, urusan sanitasi belum menjadi perhatian dalam memerangi tengkes.
Stunting atau tengkes masih menjadi tantangan di Indonesia. Tahun 2023 (saya belum menemukan data untuk tahun 2024), prevalensi tengkes masih 21,5 persen, sementara target yang dicanangkan pemerintah, sesuai standar Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), adalah 14 persen. Angka prevalensi stunting sebesar 21,5 persen tersebut menunjukkan bahwa 21,5 persen dari total anak usia di bawah lima tahun di suatu wilayah atau negara mengalami tengkes.
Mengacu WHO, angka prevalensi tengkes Indonesia tersebut belum membuatnya dikategorikan sebagai masalah yang berat. Namun, jika kita menargetkan angka 14 persen, jalan yang harus ditempuh masih cukup panjang.
Dalam upaya mengatasi masalah tengkes, sebagian besar pihak hampir selalu menuju pada perbaikan menu makan sebagai solusinya. Dua tulisan saya tentang tengkes di kolom ini juga demikian, sampai beberapa waktu yang lalu saya bertemu dengan Bu Rani, seorang bidan yang bertugas di sebuah wilayah perdesaan di lereng Gunung Patuha.
Bu Rani bercerita bahwa salah satu tantangan mengatasi dan mencegah tengkes di wilayahnya adalah buruknya sanitasi, yang membuat anak-anak menderita penyakit infeksi berulang, yang menyebabkan terganggunya pertumbuhan si anak. Itulah yang dihadapi Bu Bidan. Sebetulnya masalah pentingnya sanitasi dalam mengaasi tengkes bukan tidak disadari. Mari kita baca definisi tengkes yang saya kutip dari situs Kementerian Kesehatan ini. Stunting atau tengkes adalah kondisi gagal tumbuh pada anak akibat kekurangan gizi kronis, infeksi berulang, atau kurangnya stimulasi selama periode awal pertumbuhan (1.000 hari pertama kehidupan). Jika kita membaca definisi tengkes tersebut, infeksi berulang dinyatakan secara eksplisit sebagai salah satu penyebab tengkes. Salah satu penyebab utama penyakit infeksi berulang adalah sanitasi yang buruk.
Jika kita menengok data, tahun 2024, masih ada 3,2 persen rumah tangga di Indonesia yang buang air besar (BAB) sembarangan. Jika dirinci wilayah perkotaan dan perdesaan, angkanya adalah 1,56 persen rumah tangga di perkotaan dan 5,54 persen rumah tangga di perdesaan yang masih BAB di tempat terbuka ini. Sayangnya, angka ini kemungkinan besar tidak mencerminkan kondisi sebenarnya karena di beberapa tempat, pejabat daerah memberikan angka di bawah fakta yang sebenarnya.
Bu Bidan Rani bercerita tentang bagaimana praksis pelaporan tidak akurat ini terjadi. Para petugas kesehatan ditargetkan untuk mencapai nol persen penduduk yang masih BAB sembarangan. Bagus jika target tersebut kemudian memicu upaya dari semua pihak untuk mewujudkannya. Yang terjadi di lapangan, petugas kesehatan yang sudah melakukan sosialisasi tentang pentingnya kebersihan, antara lain dengan BAB di tempat yang layak dan bersih, tidak menuai hasil karena ketiadaan tempat BAB tersebut. Beberapa kali pemerintah desa membangun toilet, baik untuk penggunaan keluarga maupun penggunaan komunal (satu toilet untuk beberapa keluarga), tetapi itu belum mencukupi sehingga masih banyak keluarga yang tidak dapat mengakses fasilitas toilet yang layak.
Dengan berbagai program dan proyek yang dianggap lebih penting sehingga harus diprioritaskan, pendanaan untuk melanjutkan pembangunan toilet yang layak tidak dapat dilanjutkan.
Ada dua hal yang dapat dicatat dari cerita saya di atas. Pertama, dibandingkan makanan bergizi, urusan sanitasi belum menjadi perhatian dalam memerangi tengkes. Padahal, sanitasi yang baik bukan hanya mencegah penyakit yang diderita anak-anak yang dapat berakibat tengkes, melainkan juga berpengrauh pada kesehatan warga semua usia. Hal kedua, data jumlah fasilitas sanitasi yang layak kemungkinan besar masih di bawah yang tertera di sumber data karena praksis-praksis ’penyembunyian’ kondisi yang sebenarnya.
Oleh karena itu, jika kita hendak mengetahui kondisi yang sebenarnya, tidak cukup hanya membaca data tertulis, tetapi perlu mengeceknya di lapangan, bertemu dengan para petugas yang sehari-hari bertemu dengan masyarakat.
Dari data yang didapat dari lapangan tersebut, yang tentu lebih akurat, dapat dipetakan kebutuhan sarana dan faasilitas sanitasi di wilayah yang dimaksud. Dalam hal pembangunan fasilitas sanitasi yang layak, tanggung jawab membangunnya biasanya diletakkan di pundak pemerintah, baik pemerintah desa maupun pemerintah pada tingkat di atasnya. Namun, hal tersebut tidak menutup kesempatan bagi pihak di luar pemerintah untuk ikut berperan serta.
Saya kira kegiatan-kegiatan pengabdian kepada masyarakat yang dilakukan oleh berbagai institusi, seperti pendidikan atau perhimpunan profesi, dan program tanggung jawab sosial perusahaan (corporate sosial responsibility/CSR), juga sangat bisa diarahkan untuk ikut menyediakan fasilitas sanitasi layak di desa-desa.
Siwi Nugraheni, Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, Jawa Barat
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/sanitasi-dan-penanggulangan-tengkes-di-desa?open_from=Opini_Page
- Log in to post comments