Kasus pagar laut membuktikan ada ”lubang institusi” dalam Kabinet Merah Putih terkait tata kelola kelautan. Perlu lembaga strategis untuk mengoordinasikan hal itu.
Kasus pagar laut yang terus dibicarakan akhir-akhir ini memperlihatkan secara gamblang bahwa kualitas tata kelola wilayah pesisir dan laut di negara kepulauan terbesar di dunia ini sedang berada di titik nadir. Betapa tidak, respons dan mitigasi kebijakan terhadap masalah pagar laut tampak jelas tumpang tindihnya, tidak hanya secara spasial, tetapi juga temporal karena kasus ini baru diributkan setelah enam bulan.
Selain itu, tumpang respons kelembagaan, baik di tingkat pusat maupun daerah, menunjukkan bahwa tata kelola dan pengelolaan wilayah pesisir dan laut tidak dilakukan secara integratif sehingga menghabiskan banyak energi yang tidak perlu dalam merespons kasus yang terkait dengan pengelolaan pesisir dan laut.
Dengan kata lain, ada masalah yang lebih struktural dari sekadar pagar laut, yaitu lemahnya ”governability” negara dan pemerintah dalam tata kelola wilayah pesisir dan laut secara terpadu.
Prinsip keterpaduan
Seperti yang diuraikan oleh Tia-Eng (1999) dan Cicin-Sain and Knecht (1990), salah satu prinsip utama pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah prinsip keterpaduan (integration). Prinsip ini setidaknya terdiri dari tiga elemen, yaitu keterpaduan sistem, keterpaduan sektoral, dan keterpaduan kebijakan. Dalam konteks respons dan mitigasi terhadap kasus pagar laut, pemerintah mengabaikan ketiga prinsip keterpaduan tersebut.
Pertama, keterpaduan sistem (system integration). Dalam sains pengelolaan pesisir dan laut terpadu (Integrated Coastal Management, ICM), wilayah pesisir dan laut merupakan sebuah wilayah yang tidak terpisahkan, terhubung satu sama lain. Dengan demikian, secara spasial dan temporal integrasi dinamika wilayah darat yang memengaruhi laut dan sebaliknya menjadi konsideran utama.
Dalam persoalan pagar laut, proses ”pemagaran” sepanjang 30 kilometer yang secara sederhana dipahami sebagai upaya untuk mendapatkan ”ruang pemanfaatan perairan” ditengarai telah mengabaikan fungsi ekologis perairan. Pemagaran sebagai basis untuk pelaksanaan reklamasi perairan didasarkan pada prinsip ekonomi hedonis semata (hedonic value) dan mengabaikan nilai-nilai ekologi perairan pesisir yang secara teoretik sangat subur.
Menurut Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 9 Tahun 2022, status sumber daya ikan pelagis kecil yang umumnya menjadi target penangkapan nelayan kecil di Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) 712 di mana kawasan perairan pagar laut berada masih dikategorikan dalam kondisi aman untuk dimanfaatkan (hijau). Wajar kemudian nelayan lokal protes karena wilayah perairan tersebut menjadi salah satu sumber penghasilan mereka dari hasil tangkapan ikan.
Fungsi spasial yang secara teknis disebut sebagai daerah penangkapan ikan (fishing ground) tersebut kalau ”dipagari” dan kemudian direklamasi, maka daerah penangkapan ikan akan lenyap yang bermuara pada kehancuran sistem sosial-ekologi perikanan skala kecil di wilayah Tangerang, Bekasi, dan sekitarnya. Dengan demikian, prinsip keterpaduan sistem telah diabaikan.
Kedua, keterpaduan fungsional (functional integration). Prinsip ini mensyaratkan pentingnya keterpaduan antarsektor dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut, tidak hanya dalam konteks perencanaan, tetapi juga implementasi dan evaluasinya.
Dengan kata lain, prinsip keterpaduan lintas sektor ini lebih bersifat horizontal dalam satu unit wilayah pesisir dan laut, dalam hal ini adalah pesisir perairan Tangerang dan Banten. Pemerintah sebenarnya telah memiliki instrumen untuk integrasi fungsional ini, yaitu melalui perencanaan ruang yang terintegrasi darat dan laut sesuai dengan amanah Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Dalam konteks perencanaan ruang, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten pun telah menerbitkan masing-masing peraturan daerah tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) melalui Peraturan Daerah (Perda) Nomor 9 Tahun 2022 tentang RTRW Provinsi Jawa Barat 2022-2042 dan Perda Nomor 1 Tahun 2023 tentang RTRW Provinsi Banten 2023-2043.
Namun, dalam kasus pagar laut, implementasi dari perencanaan ruang tersebut menyisakan masalah di tingkat tapak. Hal ini terlihat jelas dari ketidaksesuaian antara perencanaan dan implementasi sektor ketika katakanlah sektor industri atau pemukiman premium sebagai motif utama ”pemagaran” berbenturan dengan sektor lain, dalam hal ini perikanan.
Tidak hanya itu, dalam kasus pagar laut tumpang tindih kewenangan antarinstitusi terlihat jelas. Terkesan bahwa setiap lembaga ingin cari panggung terkait dengan strategi untuk mengatasi masalah pagar laut.
Pertama, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan argumen ketidaksesuaian dengan pemanfaatan ruang laut sehingga dianggap ilegal, kemudian muncul lembaga lain, seperti TNI Angkatan Laut yang langsung mencabut pagar laut dengan asumsi bahwa pagar laut tersebut ilegal.
Sementara KKP memandang pencabutan pagar laut belum perlu karena bisa menjadi barang bukti dikaitkan dengan penyelesaian masalah hukum atas pelanggaran pemanfaatan ruang laut. Pada saat yang sama kemudian terbukti bahwa Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ditengarai telah menerbitkan hak guna bangunan (HGB) untuk pemanfaatan ”perairan” yang dibatasi oleh pagar laut seluas 3 juta meter persegi (m2).
Seluruh tindakan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga negara tersebut terlihat jelas tidak ada koordinasi di antara mereka. Tidak ada dirigen dalam konteks pengelolaan ruang laut dan wilayah pesisir dan laut. Ketidaksinkronan kelembagaan (institutional overlaps) seperti ini yang membuat pengelolaan pesisir dan laut menjadi sangat tidak efisien dan bermuara pada pemborosan energi dan biaya. Benturan sektor dan tumpang tindih antarinstitusi menunjukkan bahwa prinsip keterpaduan antarsektor juga telah diabaikan.
Terakhir, keterpaduan kebijakan (policy integration). Prinsip keterpaduan ini menitikberatkan pada koordinasi yang intesif dalam proses pengambilan keputusan lintas institusi secara vertikal pusat dan daerah.
Kebijakan pemanfaatan wilayah pesisir dan laut harus dalam satu koridor sehingga terkoordinasi dengan baik antara kebijakan nasional dan kebijakan di daerah. Penterjemahan kebijakan nasional di bidang pengelolaan pesisir dan laut sering kali miselading ketika diterapkan di daerah.
Misalnya, KKP dengan kebijakan nasional bidang kelautan dan perikanan tidak jarang diterjemahkan lain di daerah karena satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) bidang kelautan dan perikanan karena mereka sering kali harus ”tunduk” kepada pemimpin daerah, seperti gubernur dan bupati/wali kota. Dalam beberapa kasus hal ini bahkan sampai dilakukan dengan pelanggaran terhadap aturan yang ada.
Dalam kasus pagar laut, koordinasi antar pemerintah pusat dan daerah juga terlihat kedodoran. Kebijakan KKP di tingkat pusat serta dinas kelautan dan perikanan di tingkat provinsi dan unit pemerintah daerah di bawahnya kurang sinkron.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Jawa Barat, misalnya, pernah menyatakan dalam sebuah media bahwa kebijakan pemagaran laut tersebut adalah legal karena jelas pemiliknya. Sementara KKP memandang bahwa pemagaran laut secara kebijakan spasial melanggar hukum.
Ketidaksinkronan kelembagaan antar pusat dan daerah ini kemudian memicu konflik antarnelayan di tingkat tapak. Prinsip keterpaduan kebijakan pun diabaikan.
”What next”?
Ada dua hal yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tata kelola pesisir dan laut ke depan. Pertama, perlu dilakukan penguatan literasi pengelolaan pesisir dan laut secara terpadu (ICM) untuk pemimpin pusat dan daerah pesisir dan laut.
Penguatan literasi ICM ini sangat penting untuk memberikan kerangka pikir yang sistematik, terutama terhadap pentingnya prinsip keterpaduan dalam praksis pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Pemimpin pusat dan daerah adalah aktor penting dalam pengambilan keputusan dan kebijakan sehingga dengan literasi yang cukup, maka kasus-kasus seperti pagar laut di masa depan tidak akan terjadi lagi.
Kedua, dari kasus pagar laut tampak jelas bahwa diperlukan dirigen yang kuat dalam tata kelola pesisir dan laut. Mekanisme yang mengatur kewenangan dan mekanisme pengambilan keputusan dan kebijakan pengelolaan laut harus jelas dan tegas.
Ke depan tidak ada lagi saling klaim antarlembaga terkait dengan respons dan mitigasi kasus pemanfaatan ruang laut. Untuk itu, sebuah lembaga yang ”mengoordinasikan” arah kebijakan strategis-taktis dalam pengelolaan pesisir dan laut menjadi sangat penting.
Lembaga ini tidak bisa menggunakan salah satu lembaga eksisting karena mereka sudah memilik tupoksi teknis terkait dengan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut. Absennya lembaga koordinasi kemaritiman dalam Kabinet Merah Putih (KMP) menjadi tantangan tersendiri.
Kasus pagar laut membuktikan bahwa ada ”lubang institusi” dalam KMP terkait dengan tata kelola kelautan. Dalam konteks ini diperlukan sebuah lembaga strategis yang mengoordinasikan kebijakan keterpaduan sistem, fungsional, dan kebijakan pesisir dan laut. Lembaga ini dapat diletakkan di Kantor Presiden atau Wakil Presiden semacam Commision for Ocean Policy-nya Amerika Serikat atau Institute for Ocean Policy-nya Jepang yang membantu Pemerintah Jepang dalam mengimplentasikan Ocean Basic Act (UU Kelautan) Jepang.
Dengan penguatan kebijakan taktis berdasarkan prinsip-prinsip keterpaduan tersebut, diharapkan tidak terjadi lagi kasus-kasus pagar laut yang penulis yakini tidak hanya terjadi di perairan Tangerang dan Bekasi, tetapi juga terjadi di beberapa daerah di Indonesia. Semoga.
Luky Adrianto, Guru Besar dan Dosen Pascasarjana Pengelolaan Pesisir dan Laut FPIK IPB University; Peneliti Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB University
-
- Log in to post comments