Senin, 11 November 2024, harian Kompas menurunkan wawancara soal swasembada pangan dengan Menteri Koordinator Bidang Pangan Zulkifli Hasan. Apa yang disampaikan oleh Pak Zulhas sangat normatif.
Dengan jujur, ia menyebutkan, itu tidak mudah karena menyangkut banyak pihak, termasuk menteri-menteri yang bukan di bawah koordinasinya. Namun, dia juga menyebutkan kalau diniatkan pasti akan bisa. Ini sebenarnya telah ia buktikan.
Waktu menjabat menteri perdagangan (15 Juni 2022-20 Oktober 2024), ia menggantikan Muhammad Lutfi (23 Desember 2020-15 Juni 2022).
Pada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Lutfi juga pernah menjabat menteri perdagangan (14 Februari 2014-20 Oktober 2014), tetapi ia digantikan Zulhas karena kemelut minyak goreng yang menyusahkan rakyat kecil.
Sampai sekarang publik tidak pernah diberi tahu, apa sebenarnya yang terjadi di balik kemelut minyak goreng dua tahun silam. Tahunya menteri perdagangan diganti dan minyak goreng kembali normal.
Kalau melihat kasus minyak goreng, sepertinya Zulhas akan bisa mewujudkan ”mimpi swasembada pangan” meski semua itu tak mudah. Namun, ada sesuatu yang disembunyikan, baik oleh Zulhas maupun Kompas, yakni tentang ketergantungan Indonesia pada gandum.
Indonesia adalah importir gandum ketiga terbesar dunia setelah China dan Mesir. Volume impor kita tahun 2023 di atas 10 juta ton dengan nilai di atas Rp 50 triliun.
Sebelum dilantik menjadi presiden, Prabowo Subianto pernah melontarkan gagasan untuk menyubal mi berbahan gandum dengan singkong. Itu pernah dilakukan Indofood, akhir dekade 1990-an, waktu kurs dollar AS terhadap rupiah melambung dan gandum menjadi lebih mahal dari singkong.
Dalam keadaan kurs dollar AS terhadap rupiah stabil, gandum merupakan bahan pangan paling murah dibandingkan dengan beras, jagung, sorgum, terlebih lagi singkong. Selama ini kita juga rutin impor tapioka dari Thailand rata-rata 500.000 ton per tahun untuk bahan baku bakso, pempek, siomai, dan sosis. Produksi pati singkong kita dari Lampung kurang banyak.
Orientasi ”proyek”
Selain normatif, Pak Zulhas juga berorientasi ”proyek”. Pencetakan sawah, intensifikasi di Jawa (pembelian mesin), perbaikan saluran irigasi, pembangunan bendungan; semua berorientasi proyek, dengan kriteria keberhasilan apabila proyek bisa dilaksanakan.
Pak Zulhas juga masih membayangkan peningkatan produksi padi itu harus padi sawah. Padahal, selain padi sawah, masih ada padi pasang surut yang tingginya bisa lebih dari 2 meter dan padi ladang (padi gogo). Lagi pula produksi beras nasional kita baik-baik saja. Memang sangat tipis, produksi 31 juta ton, konsumsi 30 juta ton.
Selama ini Bulog impor beras sekitar 1,5 juta ton bukan karena kita kekurangan, melainkan karena ditugasi pemerintah untuk menangani cadangan beras pemerintah untuk jaga-jaga kalau gagal panen dan bencana alam (bansos). Menjelang pemilu, biasanya impor di atas normal, tetapi paling tinggi hanya 3 juta ton.
Jadi, sebenarnya produktivitas padi kita terus meningkat dari tahun ke tahun, dengan catatan petani jangan diganggu dengan banyak proyek seperti pada era Orde Baru.
Sejak reformasi, di sentra penghasil beras, yang menanam padi tidak lagi petani, tetapi pemilik modal yang sekaligus juga pemilik penggilingan padi. Mereka menyewa lahan petani dan membiayai budidaya padi. Petani diuntungkan karena terima uang tunai sewa lahan, pemilik penggilingan mendapat jaminan mesinnya akan selalu berputar karena selalu ada padi yang bisa digiling.
Tahun 2018 jelang Pilpres 2019, Presiden Joko Widodo pernah berjanji akan merealisasikan pengadaan pengering gabah (dryer) sebab panen raya padi selalu jatuh pada puncak musim hujan.
Mengapa padi ladang tak pernah menjadi prioritas pemerintah? Padahal, dengan mengandalkan padi sawah, terbukti sejak 2022 kita disalip Bangladesh. Sebelumnya kita produsen padi nomor tiga setelah China dan India. Luas Bangladesh hanya 148.460 kilometer persegi, sedikit lebih luas dari Pulau Jawa 128.297 kilometer persegi. Luas Indonesia 1,9 juta kilometer persegi.
Akan tetapi, di Bangladesh ada delta dua sungai besar: Gangga dan Brahmaputra, yang membawa endapan tanah, lumpur, bahan organik, dan urea yang tak terserap tanaman nun di hulu sana. Tanpa diapa-apain, sawah Bangladesh akan menghasilkan padi berlimpah.
Mengusahakan padi ladang, cukup dengan menugaskan kepada BUMN (PTPN dan Perhutani), ”Kalau replanting kamu tanam padi ladang, ya!” Cukup modal perintah. Dan sebenarnya secara sporadis selama ini masyarakat di sekitar hutan jati dan perkebunan sudah menggarap lahan replanting untuk ditanami jagung dan padi ladang.
Namun, padi ladang, juga padi pasang surut, memang tak ada yang bisa diproyekkan. Lain dengan pencetakan sawah yang jelas butuh dana sangat besar.
Bendungan vs pompa
Bendungan bukan satu-satunya cara untuk meningkatkan produksi pangan, terutama padi. Di Merauke, juga di beberapa titik di pantura Jawa, bendungan malah tak diperlukan. Yang diperlukan pompa sedot untuk menaikkan air dari sungai.
Di Merauke ada dua sungai besar: Maro dan Kumbe. Hampir tak mungkin membendung dua sungai dengan debit sangat besar dan berlokasi di kawasan datar. Yang dimungkinkan investasi pompa sedot ukuran kecil-kecil sebanyak mungkin.
Untuk itu, pemerintah tak perlu menganggarkannya di APBN atau APBD, tetapi cukup membuat regulasi hingga petani bisa mendapat kredit berbunga rendah untuk investasi pompa dan di musim kemarau tetap bisa menanam padi.
Hitung-hitungan, biaya BBM masih tertutup oleh hasil panen padi, sayuran ataupun kacang-kacangan. Namun, kembali lagi, hal-hal seperti ini tidak populer karena bukan proyek.
Tak ada dana besar yang dialokasikan, bahkan sama sekali tanpa dana. Sebab, petani bisa membiayai pengadaan air untuk lahan mereka secara kolektif dalam satu kelompok tani.
Merauke sangat siap jadi tumpuan peningkatan produksi beras nasional karena lahan masih luas dan SDM berupa transmigran sudah ada di sana sejak awal 1900 (Semangga, Tanah Miring, Kurik), dan ada dua sumber air cukup besar: Sungai Maro dan Kumbe.
Namun, tak ada dana besar dalam pompanisasi. Para petani bawang merah dan cabai di Brebes, Jawa Tengah, bahkan tak memerlukan pompa sedot. Mereka hanya menggunakan pompa pantek untuk menyedot air permukaan untuk menyiram bawang merah dan cabai.
Beberapa petani kreatif di pantura Jawa sudah sejak lama menggunakan pompa pantek untuk menanam sayuran dan palawija dan mereka untung. Yang jadi masalah, di beberapa titik di pantura Jawa, berdasarkan deteksi geolistrik, memang sama sekali tidak ada air.
Itu pun para petani juga masih tak kekurangan akal dengan mengambil air menggunakan drum yang diangkut pikap untuk menyiram tanaman.
Kalau hanya sekadar mengadakan air di musim kemarau, para petani Thailand tidak pernah kekurangan akal. Bahkan, di kawasan pasang surut, air yang tak bisa dibuang justru dipakai sebagai sarana transportasi untuk mengangkut hasil panen.
Kebun kelapa pandan yang buahnya diekspor sampai ke Indonesia berada di kawasan pasang surut dengan air akan selalu ada sepanjang tahun. Agar lahan bisa ditanami, dibuat guludan dengan cara menaikkan tanah. Bagian yang kering ditanami kelapa atau buah-buahan, bagian yang tetap tergenang air digunakan sebagai jalur transportasi untuk mengangkut hasil panen.
Penyuluhan vs ”database”
Penyuluhan juga menjadi salah satu hal yang disampaikan Pak Zulhas. Sejak reformasi, penyuluhan pertanian memang dianggap ”bau-bau Orde Baru” hingga diabaikan. Padahal, penyuluhan tetap merupakan faktor penting dalam peningkatan produktivitas pertanian.
Di Thailand, juga di Bangladesh, penyuluhan pertanian malah diangkat sampai ke tingkat departemen. Penyuluhan di negara-negara tetangga, bukan sekadar ada tenaga penyuluh yang mendatangi petani, melainkan menyediakan informasi apa pun yang diperlukan petani dan calon petani.
Di Thailand, tak pernah ada alih fungsi lahan pertanian sebab dilarang undang-undang.
Kalau ada petani pensiun dan anak-anaknya tak mau melanjutkan bisnis orangtuanya, lahan dan tanamannya dikembalikan ke negara. Anak-anak muda yang baru lulus kuliah akan ditawari melanjutkan bisnis yang memerlukan estafet ke para petani muda. Itu semua bisa dilakukan karena mereka punya database informasi yang cukup lengkap dan rutin di-update apabila ada perubahan.
Indonesia baru sebatas punya data statistik, bukan database pertanian. Database pertanian mirip data perbankan atau data pasien di rumah sakit.
Dalam dunia agro, database itu bisa menggunakan entri komoditas, bisa petani. Entri komoditas, misalnya jeruk, di dalamnya tersimpan data semua petani, pedagang, pembenih jeruk se-Indonesia berikut alamat, nomor kontak, luas lahan, hasil panen, dan lain-lain. Kalau menggunakan entri petani, Si A yang beralamat di ... dengan nomor telepon ... menangani komoditas apa saja?
Ini sebenarnya hal sederhana yang semestinya dilakukan pemerintah melalui kementerian yang ada karena tenaganya juga ada, duitnya juga ada. Yang belum ada hanya niatnya.
Di era digital ini, selain database komoditas dan petani, juga diperlukan informasi tentang apa dan di mana bisa didapat. Hampir semua informasi tentang pertanian bisa didapat dengan mudah, murah, dan cepat. Hampir semua manusia Indonesia pegang Android. Tetapi, hanya sedikit yang memanfaatkan untuk mempermudah dan memperbaiki kinerja/profesinya.
Sekarang ini pedagang cabai di Pasar Induk sudah punya nomor kontak petani cabai di sentra-sentra cabai Indonesia. Kalau pasokan sedang banyak, mereka akan memberi tahu, jangan kirim barang. Sebaliknya kalau pasokan kurang, mereka akan kontak ke mana-mana agar barang segera dikirim karena Jakarta kosong.
Ini berlaku untuk hampir semua komoditas.
Saat ini Indonesia memerlukan orang-orang biasa yang mau menjalankan profesi mereka dengan jujur, bukan untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya, tetapi untuk kepentingan rakyat banyak. Kalau melihat yang terjadi di Malaysia, Thailand, Vietnam, dan sekarang Bangladesh, saya sering malu.
Di sini yang namanya lembaga pemerintah tidak boleh dagang. Di Malaysia, Malaysian Agricultural Research and Development Institute (MARDI) yang lembaga pemerintah itu disuruh mengadakan transaksi bisnis penelitian dengan perusahaan swasta. Untuk itu, MARDI juga diberi status Sendirian Berhad (Sdn Bhd, di sini perseroan terbatas).
Mereka juga tak perlu menggaji peneliti sebagai fulltimer sebab itu akan menjadi fixedcost. Kalau ada proyek penelitian, mereka kontak perguruan tinggi. Para mahasiswa, dosen S-1, S-2, dan S-3-lah yang akan mengerjakan proyek itu sesuai dengan kompetensi mereka.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/12/15/mimpi-swasembada-pangan?open_from=Opini_Page
- Log in to post comments