Bahasa nasional adalah lambang jati diri dan pemersatu bangsa. Di negeri ini, bahasa Indonesia berperan penting dalam menyatukan keanekaragaman budaya dan etnis yang tersebar di seluruh pelosok Tanah Air.
Namun, globalisasi dan perkembangan teknologi digital menghadirkan tantangan baru dalam menjaga keberadaan dan mutu penggunaan bahasa Indonesia, terutama di kalangan generasi muda. Keberadaan bahasa asing, khususnya bahasa Inggris dan Arab, kini semakin dominan dalam media sosial, pendidikan, dan dunia kerja, yang kadang memengaruhi kualitas penggunaan bahasa Indonesia sehari-hari.
Ada kecenderungan kalangan akademisi menggunakan, tepatnya menyelipkan, bahasa Inggris dalam menyampaikan makalah di ruang seminar atau bengkel, lokakarya. Mereka seakan-akan hendak memperlihatkan bahwa kesarjanaan ditunjukkan dengan menyelitkan kosakata bahasa Anglosaxon dalam perbincangan ilmiah.
Tidak hanya itu, bahasa ilmiah yang diserap cenderung adalah penyesuaian serapan dengan lidah kita, seperti variable dengan variabel, alih-alih peubah dan experiment dengan eksperimen, bukan percobaan.
Demikian pula, kalangan agamawan Muslim senantiasa mengutamakan bahasa Arab untuk menyampaikan pesan kepada jamaah. Malah, penggunaan bahasa rumpun semitik diserap untuk mengesankan sesuatu yang dilakukan bersifat keagamaan, seperti sidang itsbat untuk mengetahui masuknya Ramadhan atau Idul Fitri. Padahal, kita bisa menggunakan padanannya dalam bahasa setempat, yaitu penetapan. Kata itsbat sejatinya bisa digunakan oleh orang Kristen dan Yahudi Timur Tengah.
Seperti termaktub dalam pengantar The Politics Aristoteles, orang-orang Yunani percaya bahwa mereka berbagi nenek moyang. Selain itu, mereka juga berkongsi sejumlah kepercayaan dan mitos tentang dewa dan pahlawan yang mengakomodasi tradisi dan praktik lokal.
Namun, yang paling jelas, sesuatu yang paling menyumbang pada kepekaan pada kesatuan adalah kepemilikan bahasa yang sama. Di sini, kita bisa memandang bahasa Indonesia memiliki kedudukan yang sama.
Secara teoritis, di dalam sosiolinguistik, bahasa adalah produk sosial yang selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan dan konteks masyarakatnya. Teori perencanaan bahasa menyarankan bahwa bahasa harus terus diperbaharui untuk tetap relevan dan menarik.
Di Indonesia, tantangan ini semakin relevan mengingat banyaknya kosakata asing yang masuk dan sering kali langsung digunakan tanpa upaya penyesuaian. Hal ini tidak hanya memengaruhi kualitas bahasa, tetapi juga dikhawatirkan dapat melemahkan rasa kebanggaan terhadap bahasa kebangsaan.
Bagaimanapun, kecenderungan orang untuk menggunakan alih bahasa didorong untuk menunjukkan identitas sosial. Anak Jakarta Selatan sering disebut dengan pengguna yang keinggris-inggrisan, seperti kata which is, yang sebenarnya tidak menunjukkan makna khusus, selain sebagai kata sambung.
Lebih malang, apabila pencomotan kosakata Inggris dilakukan untuk menunjukkan pengetahuannya yang tinggi jelas-jelas lancung karena pesan itu semestinya disampaikan sesederhana mungkin agar dipahami oleh khalayak.
Terkadang penggunaan bahasa Inggris dianggap memiliki gengsi terdiri karena dikaitkan dengan modernitas, pendidikan tinggi, dan profesionalisme. Sayangnya, dosen yang sering kali melakukan ini tidak fasih apabila menyampaikan makalah dalam bahasa Inggris secara sepenuhnya.
Bayangkan, seorang pengajar universitas menyebut mindset dengan pengucapan menset, alih-alih pola pikir, yang berarti cara seseorang berpikir atau sikap mental yang mempengaruhi cara mereka memahami dan merespons situasi atau tantangan.
Fenomena lain adalah sikap kepura-puraan untuk menunjukkan dirinya terbiasa membaca buku bahasa Inggris. Semisal, dalam acara diskusi, seorang penggiat bertanya apa bahasa Indonesia dari exposure?
Boleh jadi, ia merasa bahwa keterbatasan dalam menyampaikan suatu konsep dalam bahasa asli telah menghalangi untuk berusaha mencari kesamaannya. Padahal, lema tersebut tidak mengandung istilah khusus dan memiliki muatan yang sama dengan paparan.
Pengakuan UNESCO
Untuk itu, ada beberapa langkah untuk memperkokoh bahasa Indonesia yang melibatkan beberapa pendekatan. Pertama, pendidikan bahasa harus lebih ditekankan, tidak hanya pada level sekolah dasar hingga menengah, tetapi juga dalam lingkungan pendidikan tinggi.
Penekanan penggunaan bahasa secara utuh, tanpa dicampur-aduk, perlu dibiasakan sejak awal anak-anak mengecap pendidikan dan didorong lebih jauh di jenjang universitas. Di sini, pemahaman tentang pentingnya bahasa Indonesia dalam konteks identitas bangsa dan ilmu pengetahuan harus diperluas agar generasi muda melihat bahasa sebagai aset budaya.
Kedua, pembaruan kosakata dan adaptasi kata asing harus dilakukan secara sistematis dengan dukungan dari Badan Bahasa dan lembaga terkait agar bahasa Indonesia tetap dinamis tanpa mengorbankan identitasnya. Sejauh ini, Badan Bahasa telah berhasil menambah perbendaharaan kata meskipun kita belum menetapkan kata doorprize yang sering didengar dalam sebuah acara, sementara Kamus Dewan Malaysia menyebutnya cabutan bertuah.
Ketiga, kampanye kesadaran tentang pentingnya berbahasa Indonesia yang baik dan benar di media sosial bisa menjadi langkah efektif untuk menjangkau generasi muda. Tentu, pengakuan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) bahwa bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi Sidang Umum UNESCO mendudukkan bahasa nasional setara dengan bahasa besar dunia lainnya. Dengan demikian, warga belia tidak perlu rendah diri apabila menggunakan bahasa Indonesia, tentu saja secara baik dan benar.
Keempat, teladan dari para pesohor dan pejabat publik perlu ditunjukkan. Hasan Nasbi sebagai Juru Bicara Presiden menggunakan kata meng-endorse untuk menanggapi kritik khalayak terhadap dukungan Prabowo terhadap Ahmad Lutfi.
Demikian pula, Luluk Hamidah, calon gubernur Jawa Timur (waktu itu), menyebut meng-encourage, alih-alih menyemangati. Belum lagi, Listyo Sigit Prabowo sebagai orang nomor satu di kepolisian memilih kata launching, bukan peluncuran. Padahal, di Malaysia, kita bisa mendengar kata pelancaran untuk padanan kata Inggris tersebut.
Dari uraian di atas, pengalaman saya dengan Tauran dalam perjalanan dari Johor ke Singapura sangat teruja mendengar percakapan dua penumpang bus di depan kami menjelang sampai ke Bugis Junction, Singapura. Setelah ditanya, keduanya menukas bahwa dua mahasiswa ini berasal dari Jakarta. Dialek betawinya begitu kental. Berbeda dengan kebanyakan warga Tionghoa di Semenanjung yang memilih bahasa hokkien, kanton, atau mandarin.
Tentu, tidak ada salahnya perbincangan secara formal tidak menggunakan lema baku dan bahkan pengaruh komunitas bisa menjadikan bahasa tertentu sangat subyektif dan khas. Sebagai parole, bahasa memang akan digunakan sesuai latar belakang penutur. Namun, sebagai langue, ia mengandaikan sistem yang resmi untuk memungkinkan bahasa kebangsaan bisa digunakan secara konsisten dan beraturan. Tentu, pengutamaan pada bahasa asal merupakan sikap tegas untuk mendaulatkan bahasa, yang pada gilirannya merekatkan pelbagai warga yang berbeda.
Sumber: https://www.kompas.id/baca/opini/2024/12/13/merawat-bahasa-mengukuhkan-bangsa?open_from=Opini_Page
- Log in to post comments