Masalah ketimpangan di daerah perkotaan merupakan realitas yang terpampang nyata. Hingga kini, pemandangan yang menunjukkan adanya ketimpangan/kesenjangan sangat mudah ditemukan di perkotaan, apalagi di kota-kota besar.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan bahwa tingkat ketimpangan di perkotaan yang diukur dengan gini ratio masih cukup tinggi, bahkan selalu lebih tinggi dari angka nasional. Dengan dilantiknya Presiden dan Wakil Presiden baru pada 20 Oktober lalu, visi untuk mengurangi ketimpangan, termasuk ketimpangan di perkotaan ini semoga dapat terealisasi.
Pada Maret 2024, gini ratio di daerah perkotaan masih sebesar 0,399. Meski menurun sebesar 0,409 dari Maret 2023, angka tersebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan sebelum pandemi. Padahal, gini ratio secara nasional sudah lebih rendah dibandingkan dengan kondisi sebelum pandemi. Begitu juga dengan gini ratio di daerah perdesaan. Hal ini menunjukkan bahwa masalah ketimpangan di perkotaan belum membaik. Bahkan, masih harus turun 0,008 poin untuk mencapai kondisi ketimpangan seperti sebelum pandemi.
Dilihat dari ukuran ketimpangan lainnya, yaitu ukuran Bank Dunia, hampir 50 persen pengeluaran penduduk di perkotaan terdapat di kelompok penduduk 20 persen teratas. Pada Maret 2024, persentase pengeluaran pada kelompok penduduk tersebut mencapai 47,72 persen, sedangkan persentase pengeluaran pada kelompok penduduk 40 persen terbawah hanya sebesar 17,41 persen. Data ini memperkuat bahwa ketimpangan di perkotaan masih menjadi masalah yang perlu diselesaikan.
Urbanisasi yang cepat
Ketimpangan di perkotaan dipicu oleh beberapa faktor struktural yang tidak mudah diselesaikan hanya dengan satu kebijakan. Salah satu pendorong utama adalah urbanisasi yang cepat. Tak bisa dimungkiri, kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan lainnya masih menjadi magnet bagi migrasi perdesaan, menarik orang-orang dari berbagai wilayah yang mencari peluang hidup lebih baik.
Namun, kenyataan yang dihadapi sering kali jauh dari harapan. Banyak dari mereka yang datang ke kota berakhir di sektor informal dengan penghasilan rendah dan akses terbatas terhadap layanan dasar, seperti perumahan, pendidikan, dan kesehatan. Data BPS menunjukkan bahwa pada 2023, persentase pekerja formal di perkotaan hanya sebesar 51,34 persen. Ini artinya, sisanya merupakan pekerja informal.
Mereka yang bekerja di sektor formal cenderung memiliki akses lebih baik terhadap kesejahteraan sosial, seperti jaminan kesehatan, tunjangan pensiun, dan hak-hak lain yang melindungi mereka dari guncangan ekonomi. Sementara itu, pekerja di sektor informal tidak memiliki perlindungan semacam itu. Mereka sering kali tidak memiliki stabilitas pendapatan dan lebih rentan terhadap kemiskinan, terutama dalam situasi krisis seperti yang terjadi selama pandemi Covid-19.
Ketimpangan ini kemudian diperkuat oleh keterbatasan akses terhadap fasilitas dasar, misalnya perumahan yang layak.
Perumahan menjadi salah satu isu krusial yang memperparah ketimpangan di perkotaan. Harga properti yang melambung tinggi membuat banyak penduduk berpenghasilan rendah tidak mampu memiliki atau bahkan menyewa hunian di pusat kota. Mereka terpaksa tinggal di daerah pinggiran dengan akses terbatas terhadap layanan kesehatan, pendidikan, dan lapangan kerja. Sementara itu, kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi semakin terkonsentrasi di kawasan elite dengan fasilitas modern yang lengkap, menciptakan segregasi sosial yang semakin mencolok di antara kelas ekonomi.
Tidak hanya perumahan, akses terhadap pendidikan juga turut memperbesar jurang ketimpangan. Pendidikan, yang seharusnya menjadi jembatan bagi mobilitas sosial, justru sering kali menjadi sumber ketidaksetaraan.
Terdapat kesenjangan signifikan dalam tingkat kesehatan antara kelompok masyarakat miskin dan kaya di perkotaan, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup mereka.
Anak-anak dari keluarga miskin perkotaan sering kali tidak memiliki akses ke sekolah-sekolah berkualitas. Mereka harus puas dengan pendidikan yang seadanya, di sekolah-sekolah yang kekurangan sumber daya dan guru yang berkualitas. Sementara itu, anak-anak dari keluarga kaya menikmati pendidikan di sekolah-sekolah elite yang memberikan mereka keunggulan kompetitif di pasar tenaga kerja nantinya. Ketimpangan ini memperpanjang siklus kemiskinan dan membuat banyak keluarga miskin tetap terperangkap dalam situasi sulit dari generasi ke generasi.
Ketidaksetaraan ini juga terlihat dalam akses terhadap layanan kesehatan. Banyak keluarga miskin di perkotaan tidak mampu mengakses layanan kesehatan berkualitas, baik karena biaya yang tinggi maupun karena terbatasnya fasilitas kesehatan di sekitar tempat tinggal mereka. Sebaliknya, kelompok masyarakat kaya dapat dengan mudah mengakses fasilitas kesehatan terbaik di kota. Akibatnya, terdapat kesenjangan signifikan dalam tingkat kesehatan antara kelompok masyarakat miskin dan kaya di perkotaan, yang pada akhirnya berdampak pada produktivitas dan kualitas hidup mereka.
Untuk mengatasi ketimpangan di perkotaan secara lebih komprehensif, diperlukan kebijakan yang lebih berfokus pada pemberdayaan ekonomi masyarakat miskin. Salah satu solusinya adalah dengan memperluas akses terhadap pendidikan berkualitas bagi seluruh lapisan masyarakat.
Pemerintah perlu memastikan bahwa semua anak, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan pendidikan yang layak. Ini bisa dilakukan melalui perbaikan kualitas sekolah-sekolah negeri di daerah perkotaan serta peningkatan kapasitas guru melalui pelatihan dan insentif.
Selain itu, kebijakan perpajakan yang lebih progresif juga diperlukan untuk memastikan redistribusi kekayaan yang lebih adil. Kelompok masyarakat berpenghasilan tinggi harus berkontribusi lebih besar dalam pembiayaan program-program sosial yang ditujukan untuk mengurangi ketimpangan. Dana yang diperoleh dari perpajakan ini bisa digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur sosial, seperti perumahan, sekolah, dan rumah sakit di daerah-daerah miskin perkotaan.
Pemerintah juga perlu mendorong sektor swasta untuk berperan lebih aktif dalam mengatasi ketimpangan di perkotaan. Program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) harus lebih diarahkan pada program-program yang berkelanjutan, seperti pelatihan keterampilan bagi pekerja sektor informal, penciptaan lapangan kerja yang layak, dan pembangunan fasilitas umum di daerah miskin. Kolaborasi antara pemerintah dan swasta sangat penting untuk menciptakan solusi jangka panjang yang bisa mengatasi masalah ketimpangan secara sistematis.
Pada akhirnya, mengatasi ketimpangan di perkotaan tidak bisa dilakukan hanya melalui satu kebijakan atau program. Dibutuhkan pendekatan yang terintegrasi, melibatkan sejumlah pihak, serta komitmen yang kuat dari pemerintah, masyarakat, dan sektor swasta. Kota-kota besar di Indonesia harus menjadi tempat di mana semua orang, tanpa memandang latar belakang ekonomi, memiliki kesempatan yang sama untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Dengan pemerintahan baru yang diharapkan membawa angin segar, ada harapan besar bahwa masalah ketimpangan ini dapat ditangani dengan lebih serius dan terstruktur. Tanpa upaya serius untuk mengurangi ketimpangan, pertumbuhan ekonomi yang inklusif akan sulit tercapai, dan jurang sosial di perkotaan akan semakin dalam.
- Log in to post comments