Dusun Giriharja di Sumedang, Jawa Barat, menampung limbah dari para produsen perajin tahu dan mengubahnya menjadi biogas untuk disalurkan ke 89 rumah tangga.
Mengunjungi instalasi biogas berbahan baku limbah tahu di Dusun Giriharja, Desa Kebonjati, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat, memberi gambaran bagaimana sejumlah pihak bekerja sama menyelesaikan masalah yang dihadapi warga sebuah desa.
Sebagai salah satu desa penghasil Tahu Sumedang, penduduk Dusun Giriharja menghadapi masalah pencemaran sungai akibat limbah beberapa pabrik tahu di wilayahnya. Beberapa pabrik tahu adalah tempat sebagian warga menggantungkan penghidupan mereka dan keluarga.
Di sisi lain, limbah pabrik yang dibuang ke sungai sangat mengganggu karena menimbulkan bau busuk. Pada 2013, Ibu Neni Sintawardhani, seorang peneliti BRIN, menawarkan solusi atas masalah limbah tahu di Dusun Giriharja dengan mengubahnya menjadi biogas dengan teknologi fermentasi anaerob.
Dengan bantuan finansial dari Nanyang Technology University (NTU), Singapura, instalasi pengolahan air limbah (IPAL) mulai dibangun di lahan milik bersama 11 perajin tahu di Dusun Giriharja. Instalasi biogas yang akhirnya mulai beroperasi pada 2018, menampung limbah dari para produsen perajin tahu, dan mengubahnya menjadi biogas untuk disalurkan ke 89 rumah tangga, sebagai sumber energi untuk memasak.
Para penerima manfaat biogas ditarik iuran Rp 20.000 per bulan, yang digunakan untuk membayar biaya operasional. Instalasi biogas beroperasi berkelanjutan di bawah pengelolaan kelompok pengurus biogas, baik dari sisi teknis maupun manajerial, dikelola secara mandiri oleh mereka. Warung Ilmiah Lapangan (WIL) namanya.
Dipelopori oleh Yunita T Winarto, seorang dosen Jurusan Antropologi Universitas Indonesia (kini sudah pensiun), WIL melakukan pendampingan kepada para petani di beberapa desa di Kabupaten Indramayu dalam melakukan adaptasi dan antisipasi terhadap perubahan iklim.
Diawali oleh keresahan atas dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian, yang, menurut dia, tidak semua petani mengetahui dan mampu melakukan adaptasi terhadapnya, Yunita mulai mendatangi para petani dan memperkenalkan cara-cara ilmiah melakukan pembelajaran atas perubahan iklim, menganalisisnya, serta melakukan adaptasi dan antisipasi terhadapnya.
Data tentang cuaca (terutama curah hujan) dari badan terkait seperti BMKG, tak hanya dibagikan kepada para petani, tetapi petani sendiri harus mengetahui apa konsekuensi kondisi tersebut dalam konteks diri dan lingkungan terdekatnya. Oleh karena itu, para petani mempunyai tugas mencatat curah hujan setempat (di lingkungan lokasi lahan pertanian mereka).
Dibentuklah Asosiasi Petani Pencatat Curah Hujan yang mencatat ketinggian air di dalam kaleng yang dipasang di beberapa lokasi. Hasil catatan kemudian dianalisis bersama dalam pertemuan-pertemuan petani dan digunakan sebagai landasan keputusan kapan mulai menanam padi, atau kapan tanaman padi lebih baik diganti dengan palawija karena air yang tidak cukup.
Dalam perkembangannya forum pertemuan petani juga menjadi ajang berbagi berbagai macam pengetahuan berani. Misalnya adalah upaya mengatasi hama tanaman, atau memilih varietas yang sesuai dengan musim yang berlaku.
Yunita tak hanya berhasil memperkenalkan kesadaran akan adanya perubahan iklim dan mendorong para petani untuk berbagi pengalaman dalam mengatasinya. Lebih dari itu, ia telah mengubah kebiasaan para petani.
Sebelumnya, petani mengandalkan budaya lisan dalam pewarisan pengetahuan. Kini mereka mulai mengenal kegiatan mencatat (budaya tertulis), kemudian menganalisis hasil catatan tertulis, dan menandai apa saja hal yang sesuai dilakukan pada kondisi cuaca tertentu.
Ilmu titen (menandai) yang dulu diturunkan secara lisan, kini digali lagi dengan cara-cara peneliti yang menggunakan pencatatan secara tertulis, dengan menambahkan fenomena perubahan iklim di dalamnya. Tak berlebihan jika para petani yang bergabung dan menjadi mitra WIL menyebut diri mereka sebagai petani peneliti.
Hadirnya WIL di Kabupaten Indramayu telah menghindarkan para petani padi dari kerugian akibat gagal panen. Kini bukan hanya petani di Kabupaten Indramayu yang menjadi mitra Yunita, tetapi juga di Kabupaten Sumedang, dan baru-baru ini WIL juga melebarkan sayap ke Desa Repi, di Kabupaten Manggarai Barat.
Cerita tentang instalasi biogas di Sumedang dan WIL menunjukkan kepada kita kekuatan kolaborasi para pihak yang berhasil mengatasi masalah yang dihadapi warga di perdesaan. Para pihak yang berkolaborasi bukan hanya berasal dari lingkaran pemerintahan, melainkan juga pihak-pihak nonpemerintah, bahkan dari luar negeri. Para pihak yang berkolaborasi berperan sesuai dengan keahlian mereka.
Keluasan latar belakang para pihak yang berkolaborasi, yang akhirnya menghasilkan solusi bagi permasalahan di perdesaan juga menandakan bahwa semua yang terlibat memiliki kerendahan hati untuk bersedia mendengar dan menghargai peran dan pendapat pihak lain. Tanpa kerendahan hati, kolaborasi mustahil akan berhasil.
Ada lagi catatan yang dapat diambil dari dua kisah di atas. Sejak awal, Neni dan Yunita sudah memikirkan tentang keberlanjutan hasil kerja kolaborasi, sehingga memandang warga desa, para penerima manfaat dari hasil kerja kolaborasi, sebagai subyek utama.
Tanpa kerendahan hati, kolaborasi mustahil akan berhasil.
Itulah sebabnya ada alih teknologi dalam pengelolaan biogas di Desa Kebonjati, dan para petani yang bermitra dengan WIL melakukan sendiri pengukuran curah hujan dan melakukan analisis secara bersama-sama.
Dalam operasional sehari-hari biogas limbah tahu, berbagai masalah teknis telah berhasil diatasi secara mandiri oleh kelompok pengurus, bahkan dalam beberapa hal, teknisi yang berasal dari warga lokal juga melakukan penyesuaian dengan kondisi dan situasi setempat.
Dengan kemampuan melakukan penyesuaian pada kondisi lokal, alih teknologi dianggap berhasil dan berbuah pada kemandirian warga desa dalam melanjutkan proyek dan kegiatan tersebut.
Sumber: https://www.kompas.id/artikel/kolaborasi-untuk-pembangunan-desa?open_from=Opini_Page
- Log in to post comments