Ilustrasi: KOMPAS/SUPRIYANTO
Pemerintah dapat memprioritaskan alokasi pendanaan iklim untuk mengembangkan sektor pertanian untuk ketahanan pangan.
Sektor pertanian di Indonesia mengalami stagnasi dengan pertumbuhan rata-rata di bawah 3 persen selama 25 tahun terakhir. Kondisi ini sangat mengkhawatirkan mengingat pentingnya sektor pertanian dalam memenuhi kebutuhan pangan nasional.
Kementerian Pertanian mengidentifikasi krisis iklim sebagai salah satu faktor utama penurunan kinerja sektor ini. Untuk menghadapi tantangan tersebut, Kementerian Pertanian merencanakan pembukaan 1 juta hektar sawah baru pada periode 2024–2029. Inisiatif ini dipandang krusial dalam meningkatkan ketahanan pertanian, mencapai swasembada pangan, serta memosisikan Indonesia sebagai pusat pangan global di tengah krisis iklim.
Namun, cetak sawah baru bukanlah solusi mutlak untuk masalah ketersediaan pangan. Langkah ini bisa menjadi ilusi jika tidak diimbangi dengan strategi yang lebih holistik dan berkelanjutan.
Mobilisasi pendanaan iklim
Pada Forum Berkelanjutan Internasional yang dihelat di Jakarta beberapa waktu lalu, Menteri Keuangan memperingatkan bahwa perubahan iklim dapat mengurangi produk domestik bruto (PDB) hingga 10 persen pada 2025. Untuk itu, Menteri Keuangan mendesak seluruh sektor untuk meningkatkan resiliensinya terhadap dampak yang mungkin timbul.
Pemerintah memproyeksikan kerugian ekonomi di sektor pertanian akibat perubahan iklim dapat mencapai Rp 309,97 triliun pada 2024. Hal ini membawa urgensi bahwa setiap program atau kebijakan yang disusun semestinya mempertimbangkan aspek iklim.
Ketahanan pangan dan pertanian yang tangguh tidak bisa dicapai dengan hanya mengandalkan pembukaan cetak sawah baru. Sebaliknya, diperlukan transformasi sistem pangan yang berkelanjutan dan adaptif untuk menghadapi perubahan iklim.
Mengacu pada hasil COP 27, koalisi akademisi dan masyarakat sipil mendesak para pemimpin dunia untuk mengadopsi pendekatan sistem pangan yang komprehensif. Pendekatan ini tidak hanya berfokus pada praktik pertanian tradisional, tetapi juga menekankan peran sistem pangan secara keseluruhan dalam mengatasi krisis iklim. Transformasi ini mencakup integrasi teknologi, inovasi, dan praktik berkelanjutan yang dapat meningkatkan ketahanan pangan sekaligus mengurangi dampak lingkungan.
Sistem pangan mencakup seluruh rantai nilai pangan, mulai dari produksi hingga distribusi, termasuk input, pemrosesan, transportasi, dan ritel. Tentu saja, transformasi sistem pangan membutuhkan pendanaan yang tak sedikit. Di Indonesia, pertanian adalah salah satu sektor prioritas yang memerlukan pendanaan terbesar untuk implementasi Nationally Determined Contribution (NDC).
Pada dasarnya, terdapat terminologi pendanaan iklim, yaitu dana yang disediakan untuk mendukung berbagai program yang berfokus pada mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Jika menilik catatan fiskal, dari tahun 2015 hingga 2021, pemerintah berhasil memobilisasi sekitar Rp 645,35 triliun untuk kegiatan yang selaras dengan iklim di Indonesia. Pendanaan ini berasal dari kontribusi sektor publik dan swasta.
Sebagian besar alokasi pendanaan iklim di Indonesia masih terfokus pada pengembangan energi terbarukan. Sementara itu, hanya sebagian kecil dari pendanaan ini yang diarahkan ke sektor pertanian, salah satu alasannya adalah karena sektor ini dianggap berisiko tinggi dengan tingkat pengembalian finansial yang rendah.
Meskipun alokasi pendanaan iklim untuk sektor pertanian masih terbatas, terdapat banyak contoh yang menunjukkan kelayakan inisiatif di Indonesia yang dapat direplikasi. Sebagai contoh, pada 2023, International Fund for Agricultural Development (IFAD) bekerja sama dengan Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ketahanan iklim di sektor pertanian melalui promosi praktik pertanian cerdas iklim. Kerja sama ini diproyeksikan dapat meningkatkan kapasitas petani dalam menghadapi dampak perubahan iklim, terutama di wilayah-wilayah yang rentan terhadap kekeringan.
Indonesia sebenarnya telah merancang Strategi Jangka Panjang untuk Ketahanan Iklim dan Rendah Karbon 2050 yang komprehensif. Spesifik pada sektor pertanian, strategi yang didorong meliputi pengembangan irigasi, adopsi teknologi pertanian cerdas iklim, serta penerapan praktik pertanian berkelanjutan. Strategi ini tidak menekankan cetak sawah baru sebagai solusi atas krisis iklim.
Penting untuk dipahami bahwa program cetak sawah baru justru berpotensi meningkatkan emisi gas rumah kaca (GRK) akibat perubahan tata guna lahan. Proses ini sering kali terkait dengan deforestasi dan hilangnya keanekaragaman hayati, yang pada akhirnya memperburuk krisis iklim.
Lebih mengkhawatirkan lagi, sekitar 150.000 hektar sawah di Indonesia telah hilang dalam tiga tahun terakhir akibat konversi lahan pertanian menjadi kawasan industri, infrastruktur, dan perumahan. Tanpa perencanaan yang matang, cetak sawah baru hanya akan mengakibatkan pemborosan sumber daya, sementara ancaman terhadap lingkungan terus meningkat.
Berpikir sistem
Pertanian merupakan salah satu kontributor utama perubahan iklim, tetapi juga memiliki potensi besar untuk menjadi bagian dari solusinya. Oleh karena itu, setiap keputusan yang bertujuan untuk meningkatkan ketahanan pangan harus mempertimbangkan dampaknya secara menyeluruh.
Problematika iklim memerlukan solusi yang sistematis, berkelanjutan, dan berorientasi jangka panjang. Setiap upaya untuk mengatasi krisis iklim, baik dalam hal mitigasi maupun adaptasi, tentu membutuhkan dukungan pendanaan agar dapat berjalan efektif dan mencapai hasil yang diinginkan. Tanpa pendanaan yang memadai, inisiatif-inisiatif iklim berisiko tidak terlaksana atau gagal mencapai skala yang ditargetkan.
Contoh nyata urgensi pendanaan iklim untuk ketahanan pangan di Kenya pada 2015 melalui program Kenya Climate Smart Agriculture Project (KCSAP) yang didanai Bank Dunia. Proyek ini bertujuan meningkatkan produktivitas pertanian sekaligus membantu petani beradaptasi terhadap perubahan iklim. Pendanaan tersebut digunakan untuk mengembangkan teknologi pertanian yang tahan iklim, memperkuat infrastruktur irigasi, serta meningkatkan akses petani terhadap informasi cuaca yang lebih akurat.
Hasil dari program tersebut telah terlihat dalam beberapa tahun terakhir. Di beberapa wilayah Kenya, produktivitas pangan meningkat 34 persen melalui penggunaan teknik pertanian berkelanjutan dan irigasi yang lebih efisien.
Selain itu, lebih dari 500.000 petani telah dilatih dalam praktik pertanian yang ramah lingkungan, yang membantu mereka menanggulangi risiko kekeringan dan cuaca ekstrem. Program ini tidak hanya meningkatkan produksi pangan secara signifikan, tetapi juga mengurangi kerawanan pangan di wilayah-wilayah yang paling terdampak oleh perubahan iklim, seperti di bagian utara dan timur Kenya.
Kemauan politik (political will) sangat menentukan arah kebijakan suatu negara dalam menghadapi perubahan iklim. Tanpa dukungan dan komitmen politik yang strategis, cita-cita untuk mencapai ketahanan pangan hanya jadi angan yang sulit diwujudkan.
Oleh: Dian Yuanita Wulandari
- Log in to post comments