Dari total luas permukaan bumi, 70 persen adalah air. Namun hanya 3 persen di antaranya yang layak konsumsi.
Forum Air Dunia Ke-10 di Nusa Dua, Bali, 18-25 Mei 2024, telah berakhir. Gelaran internasional tersebut mengambil tema ”Water for Shared Prosperity”, pesan yang menekankan pentingnya air sebagai sumber kehidupan yang harus dikelola secara adil dan berkelanjutan untuk kemakmuran bersama.
Di akhir acara, Forum Air Dunia 2024 melahirkan tiga poin dalam deklarasinya. Pertama, mendirikan center of excellence untuk ketahanan air, terutama jika dikaitkan dengan ancaman perubahan iklim.
Kedua, mendorong pengelolaan sumber daya air untuk pulau-pulau kecil. Ketiga, mengusulkan Hari Danau Sedunia guna mengingatkan untuk melestarikan danau sebagai salah satu sumber air permukaan.
Dengan tema yang berbau keadilan, awalnya saya mengira bahwa isu distribusi atau keadilan akses air akan diangkat dalam forum tersebut. Namun, aspek kerja sama dalam bidang ilmu dan teknologi dalam pengelolaan air, perhatian khusus ke wilayah kepulauan (pulau-pulau kecil), serta kelestarian danau lebih mendapat perhatian.
Masalah ketersediaan air berputar di sekitar distribusi volume air dengan standar kualitas tertentu yang tidak merata antarwaktu dan antarwilayah. Ya, tak semua air memenuhi standar kualitas sebagai pemenuh kebutuhan hidup manusia.
Meskipun lebih dari 70 persen bumi ini terdiri atas air, hanya sekitar 3 persen dari air tersebut yang layak untuk dikonsumsi. Dari sudut pandang kuantitas, masalah yang dihadapi adalah ketersediaannya tidak merata antarwaktu dan antarwilayah.
Saat musim hujan, air berlimpah. Saat kemarau panjang, kita menghadapi masalah kekurangan air.
Pun distribusi air yang memenuhi standar tidak merata dalam konteks kewilayahan. Beberapa wilayah sering mengalami kekurangan air, apalagi ketika musim kemarau tiba. Wilayah lain tidak menghadapi masalah tersebut. Air bersih selalu tersedia dalam jumlah yang cukup melimpah.
Tak merata
Masalah distribusi air yang tidak merata antarwaktu dan antarwilayah makin serius ketika kegiatan manusia dan perubahan iklim berdampak.
Sifat air yang selalu mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah juga mewarnai hubungan antarwilayah dalam konteks pasokan air bersih layak konsumsi. Hal ini tidak jarang memicu konflik.
Mengutip laman worldwater.org, konflik air bahkan sudah ada sejak 2.500 tahun sebelum Masehi. Pada dekade terakhir, konflik antarnegara gara-gara urusan air masih tetap terjadi.
Mesir, Etiopia, dan Sudan pernah terlibat konflik berebut air Sungai Nil. Rebutan air juga melanda negara-negara di wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Indus yang berhulu di Pegunungan Himalaya.
Sebagai negara kepulauan, Indonesia memang tidak menghadapi risiko berkonflik dengan negara lain karena berebut air. Namun, tidak tertutup kemungkinan terjadinya konflik antardaerah di dalam negeri.
Ketergantungan wilayah hilir pada wilayah hulu dalam pemenuhan kebutuhan air pernah terjadi dan berpotensi akan tetap ada. Selama ini wilayah hilir yang menerima pasokan air biasanya memberi kompensasi finansial kepada wilayah hulu yang menjadi sumber pasokan air.
Warga bersiap mengangkut air bersih di Gang Bulak Cabe, RT 006 RW 009 Kelurahan Cilincing, Kecamatan Cilincing, Jakarta Utara, Jumat (1/12/2023). Sebanyak 8.000 liter air bersih dibagikan oleh Perusahaan Umum Daerah Air Minum Jaya kepada warga sekitar.
Kompensasi
Seiring waktu, besarnya kompensasi dianggap tidak memadai lagi. Di sini, biasanya awal konflik terjadi. Penyelesaian biasanya dilakukan dengan renegosiasi antarpemerintah daerah.
Masalah kesenjangan distribusi air menjadi lebih rumit ketika melibatkan pihak swasta. Sudah lama penduduk Indonesia menggantungkan pemenuhan air minum mereka dengan membeli produk air minum dalam kemasan.
Data menunjukkan, tak kurang dari 40 persen penduduk Indonesia adalah konsumen air minum dalam kemasan, baik yang bermerek maupun isi ulang. Produsen air kemasan bermerek dan air minum isi ulang mendapatkan bahan baku dari mata air di sumber-sumber air di wilayah hulu.
Setiap tahun, puluhan miliar liter air diangkut dari sumber-sumber mata air daerah hulu sungai, sebagian besar adalah wilayah perdesaan. Beberapa kali penduduk lokal tempat mata air berada menyatakan menurunnya debit air di wilayah mereka. Persoalan ini diduga akibat pengambilan air oleh perusahaan-perusahaan air minum secara besar-besaran.
Tentu saja ini memicu konflik dan perlu mendapat perhatian untuk diselesaikan secara adil. Memenuhi kebutuhan penduduk di daerah hilir (baca: perkotaan) akan air tidak boleh meniadakan akses penduduk di wilayah hulu (baca: perdesaan) atas sumber daya tersebut.
Sejumlah perempuan petani menanam padi di Desa Karang Raja, Kecamatan Muara Enim, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, Jumat (1/3/2024). Sawah tersebut memanfaatkan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) yang menghasilkan listrik menggerakkan pompa air untuk keperluan irigasi.
Sumber kehidupan
Air adalah kehidupan. Kegiatan manusia dan perubahan iklim telah menjadi tantangan bagi pengelolaan air secara berkelanjutan. Di sisi lain, keadilan atas akses air juga perlu mendapat perhatian.
Guna memenuhi kebutuhan air minum warga di daerah hilir, puluhan miliar liter air diambil dari sumber-sumber air permukaan dan akuifer di kawasan hulu (yang sebagian besar adalah daerah perdesaan) setiap tahun.
Harus dipastikan bahwa kegiatan bisnis ini tidak menurunkan debit air di daerah hulu yang mengganggu pemenuhan kebutuhan air bagi warga di wilayah tersebut.
Perlu diingat bahwa kebutuhan air warga wilayah hulu tidak hanya untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Kebutuhan air di wilayah hulu juga untuk sektor pertanian, bukan sebagai mata pencarian mereka belaka, tetapi hasilnya juga menjadi sumber pasokan pangan nasional.
Sumber:
https://www.kompas.id/baca/opini/2024/06/11/keadilan-akses-air-bagi-warga-desa
- Log in to post comments