Ritual Tolak Bala Suku Bajo Torosiaje: Kearifan Lokal Menolak Bencana
oleh Christopel Paino
Suku Bajo di Torosiaje, Gorontalo, yang dikenal sebagai pengembara laut, memiliki ritual tolak bala bernama tiba anca. Ritual ini merupakan wujud kearifan lokal masyarakat untuk menolak bencana yang berasal dari alam maupun manusia.
Ritual tolak bala Suku Bajo Torosiaje tidak hanya dilakukan di rumah warga, tetapi juga di hutan mangrove yang kemudian dijadikan hutan larangan.
Terdapat 31 jenis pohon bakau di hutan mangrove Torosiaje dan berbagai jenis burung air seperti perling kumbang, pergam laut, kuntul kerbau, dan dederuk merah.
Bagi masyarakat, mangrove merupakan sumber penting kehidupan mereka karena di hutan tersebut terdapat kepiting bakau, teripang, kerang, dan ikan.
Suku Bajo selama ini dikenal sebagai pengembara laut.
Di Pulau Sulawesi, dulunya mereka menetap di perahu dan berdiaspora di berbagai tempat; mulai Teluk Tomini, perairan laut Banggai, hingga Kepulauan Wakatobi.
Kini, mereka banyak menetap di pesisir dan pulau-pulau kecil sembari membangun kampung terapung, seperti di Torosiaje, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.
Menariknya, untuk mencegah bencana datang, masyarakat Bajo di sini memiliki berbagai ritual tolak bala. Salah satunya tiba anca, untuk mengobati anggota masyarakat yang sakit keras atau sulit sembuh.
Ritual tolak bala Suku Bajo Torosiaje merupakan kekayaan budaya Indonesia. Tujuannya, menolak bencana yang berasal dari alam maupun manusia.
Uniknya, selain di rumah maka lokasi ritual dilakukan juga di kawasan hutan mangrove, dekat perkampungan. Beberapa titik yang dijadikan tempat ritual, dikeramatkan oleh masyarakat.
“Tiba anca adalah bagian pengobatan untuk orang sakit yang sulit sembuh. Hutan tersebut dijadikan hutan larangan. Bisa dikatakan, ritual ini mampu menjaga hutan di Torosiaje karena masyarakat dilarang menebang mangrove,” ungkap Umar Pasandre, tokoh masyarakat bajo di Torosiaje, Kamis [11/1/2024].
Kearifan lokal
Jalipati Tuheteru, koordinator lapangan Japesda [Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam] di Torosiaje, menjelaskan saat dilakukan survei keanekaragamana hayati melalui pengamatan dan pengambilan data lapangan, terdapat 31 jenis bakau di Torosiaje.
“Ritual tolak bala tersebut turut menjaga dan mengelola mangrove.”
Saat survei, ditemukan juga berbagai jenis burung air di hutan mangrove, seperti perling kumbang [Aplonis panayensis], pergam laut [Ducula bicolor], kuntul kerbau [Bubulcus ibis], dan dederuk merah [Streptopelia tranquebarica].
“Bagi masyarakat setempat, hutan mangrove juga menjadi sumber kehidupan karena terdapat kepiting bakau, teripang, kerang, dan ikan,” ujar Jali.
Keseimbangan
Sejauh ini, belum ditemukan penelitian mengenai ritual tiba anca pada masyarakat Bajo. Namun, studi mengenai ritual tolak bala Suku Bajo, yakni tiba pinah, diteliti oleh BRIN di Desa Kabalutan, Togean, Teluk Tomini, Kabupaten Tojo Una-Una, Sulawesi Tengah, yang diterbitkan di Jurnal Tradisi Lisan Nusantara, Agustus 2023.
Para peneliti mengungkapkan, ritual tolak bala ini diwariskan turun-temurun. Tujuannya, untuk keselamatan, kesejahteraaan, keseimbangan manusia dengan alam dan dirinya, serta manusia dengan sesama dan pencipta.
Dalam studi lain berjudul “Participation, not penalties: Community involvement and equitable governance contribute to more effective multiuse protected areas” [2022] yang dilakukan pada kawasan konservasi perairan di Indonesia, menunjukkan bagaimana peranan masyarakat adat dan masyarakat lokal mampu memperkuat keberhasilan melindungi kawasan konservasi.
Penelitian ini menunjukkan, jumlah biomassa di kawasan yang dirawat berkelanjutan oleh masyarakat adat, lebih besar dibandingkan dengan kawasan yang dikelola negara, yang mengandalkan hukuman untuk setiap pelanggaran.
- Log in to post comments