Budidaya perikanan berkelanjutan terus didorong di NTB. Termasuk lewat budidaya rumput laut, seperti di pesisir Lombok Timur.
Oleh ISMAIL ZAKARIA
Seorang warga mengikat benih rumput laut pada tali di kawasan pesisir Ekas Buana, Kecamatan Jerowaru, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, Kamis (31/8/2023). Saat ini, ada tiga potensi hasil laut yang dikembangkan di Lombok Timur, yakni tambak udang, lobster, dan rumput laut.
SELONG, KOMPAS — Pemerintah Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, terus mendorong budidaya perikanan berkelanjutan, termasuk pada budidaya rumput laut. Apalagi, sejumlah pihak terus memberikan dukungan. Salah satunya dari Blue Bird Group bersama Komunitas Rethink Plastic di kawasan Teluk Ekas, Kecamatan Jerowaru.
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Lombok Timur M Zainuddin dalam kegiatan bertajuk ”Bangun Ekonomi Biru Bersama Blubird dan Komuitas Rethink Plastic” di Desa Ekas Buana, Kecamatan Jerowaru, Kamis (31/8/2023), mengatakan, Lombok Timur punya garis pantai sepanjang 220 kilometer.
Zainuddin mengatakan, di garis pantai itu ada tiga potensi program terobosan Kementerian Kelautan dan Perikanan yang sedang berjalan, yakni tambak udang, lobster, dan rumput laut.
Khusus rumput laut, kata Zainddin, Lombok Timur memiliki dua lokasi pengembangan, yakni Teluk Ekas dan Teluk Seriwe. Keduanya berada di Kecamatan Jerowaru dengan total pembudidaya sekitar 640 orang.
Tidak sebatas budidaya, Pemerintah Kabupaten Lombok Timur juga mendorong budidaya berkelanjutan. Zainuddin mengatakan, Teluk Seriwe, misalnya, menjadi lokasi percontohan pengelolaan kawasan akuakultur dengan pendekatan ekologi. Program tersebut merupakan kerja sama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Organisasi Pangan dan Pertanian atau FAO serta WWF.
”Prinsip pola kerja program itu adalah konsen ke lingkugan untuk mengintegrasikan budidaya berkelanjutan sehingga harapannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara sosial, ekonomi, dan ekologi,” kata Zainuddin.
Tidak hanya di Seriwe, kata Zainuddin, pemerintah daerah juga mulai melaksanakan budidaya perikanan berkelanjutan di Teluk Ekas. Misalnya di Ekas Buana yang menjadi lokasi budidaya rumput laut dan lobster.
”Di sini kami sudah mulai dengan penataan kawasan untuk mengintegrasikan kegiatan budidaya dengan pariwisata. Misalnya, merelokasi 65 keluarga yang selama ini menempati kawasan pesisir,” kata Zainuddin.
Menurut Zainuddin, tujuan relokasi ke tempat baru yang tak jauh dari kawasan pesisir itu untuk mengurangi limbah rumah tangga yang masuk ke laut. Jika tidak dikendalikan, akan mengurangi kualitas perairan.
Sejalan dengan itu, kata dia, pencegahan aktivitas warga yang dapat berdampak ke budidaya perikanan juga dilakukan. Misalnya, kegiatan pengeboman atau penangkapan ikan menggunakan potasium.
Kalau bibit, kami juga tidak kekurangan.
Pembangunan infrastuktur pendukung juga dilakukan. Misalnya, dalam waktu dekat berupa pembangunan selasar permanen untuk tempat pemasangan benih rumput laut. Saat ini, pembudidaya memasang benih di sembarang tempat secara terpisah.
Zainuddin menambahkan, pekerjaan rumah yang juga penting adalah bagaimana ke depan setelah budidaya berkelanjutan terwujud, penanganan pascapanen bisa semakin optimal.
”Saat ini, hampir 90 persen hasil budidaya rumput laut dikirim keluar. Harapannya, ke depan bisa diolah semi-intensif, misalnya dalam bentuk chip atau tidak lagi mentahan sehingga ada nilai tambah,” ujarnya.
Ketua Kelompok Budidaya Rumput Laut Bareng Maju Abdul Tilah mengatakan, panen rumput laut dilakukan sekali sebulan. Sejauh ini tidak ada kendala terhadap penjualan karena ada perusahaan yang menampung hasil panen mereka. Saat ini, harga per kilogram Rp 11.000.
”Kalau bibit, kami juga tidak kekurangan. Saya memang membutuhkan peralatan untuk mendukung budidaya kami, baik itu tali, kapal, maupun pelampung,” kata Abdul Tilah.
Abdul Tilah juga menyambut baik adanya dukungan terhadap pembudidaya rumput laut, termasuk dari Blue Bird Group dan komunitas Rethink Plastic. ”Misalnya, ada bantuan alat untuk menjemur, seperti terpal. Selama ini, pembudi daya jemurnya sembarang saja. Kalau ada terpal, bisa jauh lebih bersih,” kata Abdul Tilah.
Ekonomi biru
Dalam acara di Ekas Buana, turut hadir, antara lain, Direktur Utama PT Blue Bird Tbk Adrianto Djokosoetono, Kepala Dinas Perhubungan Provinsi NTB Lalu Moh Faozal, dan CEO Evoware & Rethink Plastic David Christian.
Adrianto menjelaskan, mobilitas dan keberlanjutan sering kali dianggap berseberangan karena mobilitas membawa emisi. ”Tetapi, kami melakukan beberapa hal untuk menunjukkan mobilitas dan keberlanjutan menjadi sesuatu yang berdampingan,” kata Adrianto.
Menurut Adrianto, Blue Bird punya visi keberlanjutan 5030, yakni bagaimana pada 2030, sebanyak 50 persen dari emisi mereka harus dikurangi. Hal itu diwujudkan lewat program dengan tiga pilar, yakni blue life, blue sky, dan blue corp.
Adrianto menambahkan, untuk mewujudkan visi keberlanjutan tersebut, tahun lalu mereka menggelar ”Bluebird Run & Ride” untuk menjadikan setiap kilometer berarti dalam mendukung perbaikan kondisi lingkungan dan sosial.
Tahun ini, mereka menggandeng komunitas Rethink Plastic guna melanjutkan inisiatif reuse, reduce, dan recycle (penggunan, pengurangan, dan daur ulang) sekaligus mendukung keberlanjutan ekonomi biru di pesisir Lombok Timur.
Dalam kerja sama itu, nantinya hasil budidaya rumput laut di Ekas Buana akan dibeli oleh Evoware untuk digunakan sebagai bahan baku memproduksi perlengkapan sehari-hari yang selama ini berbahan plastik.
David Christian menambahkan, produk yang bisa dibuat dari bahan baku rumput laut, seperti sendok, garpu, dan lainnya. Tidak hanya dari rumput laut, mereka juga sedang meneliti potensi bahan baku hasil perikanan lainnya sehingga semakin banyak yang bisa menjadi sumber pemasukan masyarakat di pesisir selain dari rumput laut.
Lalu Moh Faozal mengatakan, Pemerintah Provinsi NTB sangat mendukung upaya-upaya terkait keberlanjutan. Apalagi di NTB, juga memiliki program zero waste atau pengelolaan sampah berbasis pengurangan, daur ulang, dan penggunaan kembali sampah serta mewujudkan konsep ekonomi sirkuler.
Editor:
AGNES BENEDIKTA SWETTA BR PANDIA
- Log in to post comments