Oleh SAIFUL RIJAL YUNUS
”Tidak lengkap kalau sudah ke Kendari tapi tidak bawa mete pulangnya. Saya juga kalau mudik ke Bandung pasti bawa sebagai oleh-oleh,” kata Lisa (30).
Mete dan berbagai produk olahannya adalah ”kekayaan” yang mengakar di Kendari, Sulawesi Tenggara. Para pelancong pun selalu menyempatkan untuk mencarinya. Kuliner primadona dari ”Bumi Anoa” ini menjadi menu wajib para pelancong untuk dibawa pulang.
Rasa yang gurih, cocok untuk camilan, hingga pelengkap masakan menjadikan mete sebagai primadona sebagai oleh-oleh. Tak terkecuali bagi Sulastri (40). Meski hanya menetap sekitar 200 kilometer dari Kendari, ia merasa wajib membawa oleh-oleh ke kampung halamannya di Kolaka. Mete dan olahannya menjadi pilihan utama saban kali berkunjung ke Kendari.
”Orang bilang, belum ke Kendari kalau tidak bawa mete. Jadi, ke sini ya harus bawa untuk keluarga sama teman-teman,” kata Sulastri, di Kendari.
Minggu (23/7/2023) siang, ibu tiga anak ini sibuk memilih berbagai oleh-oleh yang dipajang di toko Bravo. Toko ini khusus menjual cendera mata khas Bumi Anoa, sebutan untuk Sulawesi Tenggara. Tentunya, jambu mete adalah sajian utama.
Di keranjang yang dipegangnya, berbagai kemasan oleh-oleh bertumpuk. Selain jambu mete utuh yang telah digoreng, juga ada beberapa olahan turunannya. Cokelat mete, keripik mete, dan brownies mete adalah beberapa di antaranya. Juga ada keripik sagu hingga gula aren.
Semua penganan ini akan ia bawa pulang ke Kolaka sebagai oleh-oleh. Sebagian untuk keluarga, dan setengahnya lagi untuk rekan kerja di tempatnya bekerja. Anak-anaknya senang dengan mete, tak terkecuali para koleganya.
Meski di Kolaka juga ada mete, ia tetap merasa wajib membawa mete dari Kendari. Sebab, olahan mete telah tersedia dengan berbagai rasa dan varian. Mete diolah dengan cokelat, dicampur bersama sagu, atau diaduk beserta gula.
”Sekarang banyak variannya, jadi bisa memilih. Mete itu kan mahal, rata-rata di atas Rp 100.000-an per kilogram. Kalau beli yang sudah diolah dan dikemas, jadi terasa tidak terlalu berat,” tambahnya. Hari itu, ia menyiapkan alokasi dana Rp 300.000 untuk membeli oleh-oleh.
Di toko oleh-oleh lain, Lisa (30) turun dari mobilnya. Ia segera masuk, mengambil keranjang, dan menjelajahi toko. Di sebuah etalase, ia menghentikan langkah dan mengambil penganan dengan kemasan berwarna kuning cerah. Itu adalah kemasan keripik mete.
Ibu rumah tangga ini melanjutkan penjelajahan. Selain keripik mete, juga ada cokelat mete, teng-teng mete, hingga brownies mete.
Lisa mencari oleh-oleh untuk kerabatnya yang datang dari Bandung, Jawa Barat. Hari itu ia khususkan untuk mencari olahan mete dan lainnya. Ia bahkan telah membeli 3 kilogram mete yang telah digoreng sehari sebelumnya.
”Tidak lengkap kalau sudah ke Kendari, tapi tidak bawa mete pulangnya. Saya juga kalau mudik ke Bandung pasti bawa sebagai oleh-oleh,” katanya.
Terus berkembang
Toko oleh-oleh di Kendari memegang peranan penting dalam perkembangan mete di wilayah ini. Seiring tumbuhnya minat kunjungan ke wilayah ini, toko oleh-oleh juga bermunculan. Mereka menjajakan berbagai produk makanan, minuman, pakaian, dan kerajinan. Salah satu yang pasti ada adalah mete dan olahannya.
Lylis Lodyanto (48), pemilik toko oleh-oleh Bravo, menceritakan, usahanya dibuka pertama kali oleh suaminya, Sarjono (50), sejak 1990 lalu. Saat itu hanya sebuah toko kecil di Baubau, yang berjarak sekitar lima jam dengan kapal penumpang dari Kendari.
Di awal 2000-an, usaha itu berkembang dan mulai membuka cabang di Kendari. Produk utamanya adalah olahan mete yang digoreng dan diberi tambahan rasa. Hasilnya adalah mete asin dan bumbu spesial manis.
Memasuki 2010-an, usahanya semakin berkembang. Peminat mete semakin masif. Mereka mulai menambah varian rasa dan olahan. Produknya mulai dari bagea mete hingga keripik mete.
”Dari awalnya hanya jual mete yang digoreng, kami lalu coba bikin yang lain. Resepnya coba-coba, hingga sekarang andalan kami itu adalah bagea mete. Dan produk kami tanpa bahan pengawet,” tuturnya.
Awalnya, ia membutuhkan ratusan kilogram mete setiap bulan, lalu meningkat mencapai 1 ton per bulan. Puncak penjualan mete, tambah Lylis, terjadi di periode 2015-2019. Produksi berbagai olahan mete membutuhkan bahan baku hingga 4 ton dalam sebulan.
Toko oleh-oleh di Kendari memegang peranan penting dalam perkembangan mete di wilayah ini.
Mereka juga menerima berbagai produk dari UMKM untuk dijual di tempatnya. Produk olahan mete, kerajinan, hingga pakaian dititipkan para pelaku usaha. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kolaborasi dan saling mendukung sesama pengusaha oleh-oleh.
Meski begitu, di masa pandemi, usahanya terpukul hebat. Namun, ia berusaha untuk bertahan. Saat ini, meski telah pulih, usahanya belum kembali seperti di masa sebelumnya.
Pemilik toko oleh-oleh Mubaraq, La Ode Mone (59), menceritakan, ia telah mulai berdagang mete mentah sejak 1987. Saat itu, ia mulai kuliah di Universitas Halu Oleo dan berminat untuk membuka usaha. Ia memilih mete karena kampung halamannya di Muna memang salah satu sentra mete.
Perlahan, usahanya berkembang. Dari awalnya hanya menitip di toko, ia mulai berani untuk membuka usaha sendiri. Ia pun menggoreng sendiri mete dan menjualnya dalam bentuk siap disantap.
”Di awal, paling banyak hanya butuh 500 kilogram dalam sebulan mete mentah. Lalu naik jadi 1 ton, dan sekarang kami beli gelondongan 100 ton dalam satu musim mete. Itu yang kami olah bersihnya sekitar 30 kilogram,” tambahnya.
Saat ini, ia mempekerjakan 12 karyawan tetap. Mereka bertugas pada penjualan, kasir, hingga pengemasan. Selain itu, juga ada 20 pekerja paruh waktu untuk bagian produksi. Ia hanya memproduksi mete goreng asin dan manis serta mete mentah.
Sementara itu, untuk berbagai olahan mete dan produk lain, ia bekerja sama dengan pelaku usaha kecil di seputaran Kendari. Para pelaku usaha tersebut menitipkan dagangan di toko ini.
”Kami tidak usah bikin olahan. Bikin mete goreng dan mentah saja. Yang lain biar teman-teman yang bikin, jadi berbagi,” tambahnya.
Bahan baku minim
Setelah pandemi Covid-19 yang memaksa semua pelaku usaha bertahan, satu kekhawatiran terbesarnya saat ini ada pada bahan baku saja. Selama lima tahun terakhir, ia mengambil bahan baku dari luar Sultra. Sebab, kualitas mete di sentra pertanian tidak lagi sama. Ia menduga hal ini disebabkan perubahan iklim yang tidak menentu.
”Kalau begini terus, mete dari Sultra bisa habis. Kita bilang mete Sultra, tapi diambil dari daerah lain, lalu diolah di sini,” kata Mone.
Luas lahan mete di Sultra mencapai 119.659 hektar. Lahan ini utamanya tersebar di Buton, Bombana, Muna, dan Kolaka. Produktivitas mete mencapai 356 kilogram per hektar, dengan produktivitas bisa 400.000 ton dalam setahun.
Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri Dinas Perindustrian dan Perdagangan Sultra Muslimin menyampaikan, kesulitan bahan baku juga berimbas pada ekspor mete tiga tahun terakhir. Jumlah dan nilai ekspor mete terus turun, dari 48 ton pada 2021 menjadi 18 ton pada 2022.
”Untuk tahun ini bahkan belum ada ekspor mete. Saya juga keliling ke pengepul, sepertinya mereka kesulitan untuk bahan baku. Penyebab utamanya karena tahun lalu petani gagal panen,” katanya.
Padahal, ia melanjutkan, mete adalah komoditas unggulan yang selalu ditargetkan untuk ekspor. Mete merupakan komoditas perkebunan satu-satunya yang diekspor setiap tahun. Minat pembeli dari luar negeri begitu tinggi, khususnya dari India dan Vietnam.
Selain menurun, ekspor selama ini juga masih dalam bentuk biji. Di Vietnam, biji ini diolah, lalu diekspor kembali dalam bentuk olahan berupa minyak, makanan, dan lainnya. Hal ini menjadikan negara tersebut sebagai salah satu pengekspor mete terbesar di dunia.
”Padahal, mete yang diolah itu ada yang dari Sultra juga. Dengan berkembangnya UMKM kami, semoga nanti kami bisa ekspor olahan mete juga. Tapi, bahan baku juga harus terjamin,” ujarnya.
Editor:
CHRISTOPERUS WAHYU HARYO PRIYO
Sumber: https://www.kompas.id/baca/nusantara/2023/08/03/buah-tangan-wajib-di-sultra-itu-bernama-mete
- Log in to post comments