Sistem pembelajaran dengan pendekatan bahasa ibu dapat diterima dengan baik oleh siswa kelas awal termasuk di jenjang pendidikan anak usia dini. Dengan pendekatan ini, literasi siswa di daerah dapat ditingkatkan.
Oleh
PRADIPTA PANDU
Pagi itu, Kamis (9/3/2023), Maria Margaretha Elu (35) dengan cekatan mengajak anak didiknya yang baru berusia 4-5 tahun keluar ruangan kelas. Dengan arahannya, 17 siswa kelas A Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) Santa Clara, Boawae, Kabupaten Nagekeo, Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), itu pun mengikuti ajakan Margaretha.
Puluhan kertas, dedaunan kering, dan kotak sampah telah diisiapkan di samping kelas sebagai alat bantu pembelajaran. Margaretha kemudian mulai memberikan materi pengenalan tentang sampah dan kebersihan lingkungan kepada siswa dengan menggunakan bahasa Nage yang merupakan bahasa ibu mayoritas orang asli Nagekeo.
”Dewe nge’e kita mo’o belajar, kita mo pilah ko sampah, sampah nge’e non organik ne’e organik (Sekarang kita mau belajar memilah sampah, sampah ini non-organik dan organik),” ujar Margaretha seraya menunjuk puluhan sampah yang tercecer di lantai.
Ia kemudian kembali memberikan arahan kepada siswa dengan bahasa Nage. ”Ngaza ta organik kita nea de tempat sampah ta warna ngao mengeso, ngala ko mona ? (Kalau yang organik kita taruh di tempat sampah berwarna biru, bisa atau tidak?).”
Arahan dari Margaretha langsung ditimpali siswa. ”Ngala (Bisa),” kata siswa dengan antusias. Setelah itu, para siswa langsung mengumpulkan sampah organik yang tercecer.
Selama proses pembelajaran dengan bahasa Nage tersebut, siswa tampak aktif dan kerap memberikan respons. Bahkan, menurut Margaretha, penggunaan alat bantu pembelajaran dalam bahasa Nage juga membuat siswa semakin ceria dan memahami arahan dari guru.
Selain PAUD Santa Clara, guru kelas I-III Sekolah Dasar (SD) Inpres Wudu di Nagekeo juga menggunakan sistem pembelajaran dengan pendekatan transisi bahasa ibu. Setiap gurumenggunakan strategi yang berbeda-beda untuk kelas I-III.Penggunaan bahasa ibu dalam pembelajaran ini mengacu pada buku ramah cerna kata (RCK) tahap 1 hingga 12 dan buku berjenjang tingkat yang disusun Yayasan Sulinama.
Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan, program ini berhasil meningkatkan keterampilan literasi dasar secara signifikan.
Sistem pembelajaran dengan pendekatan transisi bahasa ibu oleh guru di PAUD St Clara dan SDI Wudu ini merupakan program kolaborasi yang melibatkan Pemerintah Kabupaten Nagekeo dan program Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (Inovasi) yang merupakan program kemitraan Pemerintah Australia dengan Indonesia. Sementara dalam implementasi teknisnya, program ini didukung Yayasan Sulinama.
Kepala SD Inpres Wudu Bergita Pawe Dede mengatakan, sistem pembelajaran ini diterapkan karena guru sempat mengalami kesulitan dalam menyampaikan materi berbahasa Indonesia. Data profil belajar siswa di SD Inpres Wudu tahun 2017 menunjukkan, sebanyak 80 persen siswa kelas awal sehari-harinya merupakan penutur bahasa ibu.
Pada awal 2020, Pemkab Nagekeo dan Inovasi juga melakukan analisis situasi pembelajaran di tingkat SD. Hasilnya, kemampuan siswa kelas awal dalam membaca dan berhitung dasar sudah cukup baik. Namun, kemampuan siswa pada pemahamanyang lebih komprehensif masih jauh dari yang diharapkan.
”Kemudian pada 2021, sekolah kami menjadi salah satu sasaran program pembelajaran dengan pendekatan bahasa ibu selama satu tahun. Sebelum ada program ini, masih banyak siswa kelas awal yang belum lancar membaca. Setelah ada pendampingan, terdapat perubahan yang sangat signifikan karena huruf diajarkan secara bertahap,” katanya.
Program penggunaan bahasa Nage sebagai bahasa pengantar di jenjang PAUD dan kelas awal SD ini pun tidak sia-sia. Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan, program ini berhasil meningkatkan keterampilan literasi dasar secara signifikan.
Khusus untuk siswa PAUD, mereka menjadi lebih siap untuk naik ke jenjang SD. Sementara kemampuan membaca siswa kelas awal SD meningkat di setiap kategori, yakni mengenal huruf, membaca lancar, dan membaca pemahaman hingga hampir 100 persen.
Komitmen pemda
Upaya meningkatkan literasi siswa kelas awal dengan pendekatan bahasa ibu ini tidak terlepas dari peran Pemkab Nagekeo. Meski berlatar belakang sebagai seorang dokter, Bupati Nagekeo Johanes Don Bosco Do beberapa kali menekankan komitmennya untuk memprioritaskan program pendidikan bagi siswa kelas awal di wilayahnya tersebut.
Salah satu alasan Johanes memprioritaskan pendidikan tidak terlepas dari usia Kabupaten Nagekeo yang baru menginjak 15 tahun. Johanes menyadari, seluruh program pembangunan dan kesejahteraan yang dicanangkan di Nagekeo akan sia-sia apabila tidak menyentuh aspek terpenting, yakni pendidikan untuk anak-anak di kelas awal.
”Prioritas kami dalam program pendidikan adalah meningkatkan literasi siswa kelas I sampai III. Jadi, baca tulis harus diselesaikan di kelas ini. Kemudian untuk siswa kelas IV sampai VI harus mulai menjelajahi buku sehingga aksesnya perlu ditingkatkan,” ungkap Johanes.
Johanes menegaskan, pemda mendorong agar guru-guru terbaiklah yang harus mengajar di kelas awal I-III agar memberikan fondasi yang kuat bagi literasi siswa. Kemudian guru-guru juga diminta untuk menulis mimpinya bagi siswa dan pendidikan dalam jangka penjang sehingga dapat memacu mereka dalam mewujudkan mimpi tersebut.
Selain itu, setiap kepala sekolah di jenjang SMP juga diharapkan dapat meminta guru mata pelajaran untuk melihat minat dan bakat anak secara spesifik. Siswa yang ingin menjadi ilmuwan dapat diberikan rekomendasi untuk meneruskan ke sekolah umum. Sementara siswa yang tidak berminat atau berbakat di dunia sains dapat meneruskan ke sekolah vokasi.
”Para guru SD dan SMP di Nagekeo dapat mengarahkan anak didiknya untuk menemukan minat dan bakatnya masing-masing. Dengan minat dan bakat yang sudah diarahkan sejak dini, setiap siswa dapat mencapai prestasi puncak di segala bidang,” kata Johanes.
Kekuatan bahasa ibu
Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan (BSKAP) Zulfikri Anas mengatakan, bahasa ibu sangat penting digunakan dalam proses pembelajaran di kelas awal, khususnya di daerah dengan beragam bahasa ibu. Sebab, bahasa ibu memiliki kekuatan kosakata yang menuntun pemahaman ke konsep asli dari kata atau kalimat tersebut.
”Bahasa ibu yang dituturkan guru kepada siswa menunjukkan konsep kata yang dituju secara jelas. Sementara apabila menggunakan bahasa Indonesia, siswa akan mencerna terlebih dahulu makna dari kata tersebut. Dalam konteks ini, bahasa ibu menjadi katalisator atau jembatan konseptual dalam rangka anak mengembangkan literasinya,” tuturnya.
Menurut Zulfikri, pembelajaran dengan menggunakan bahasa Indonesia secara langsung atau tanpa pendekatan bahasa ibu memang tetap bisa diterima oleh siswa kelas awal ini. Namun, dalam jangka panjang, hal ini dapat memengaruhi literasi siswa. Dengan kata lain, siswa mungkin lancar membaca, tetapi tidak mengetahui makna dari bacaan tersebut.
Sistem pembelajaran dengan pendekatan bahasa ibu tidak hanya dapat membantu meningkatkan literasi siswa. Lebih jauh, sistem pembelajaran ini pada akhirnya juga dapat turut melestarikan bahasa ibu di setiap daerah karena akan selalu dituturkan oleh guru ke siswa dan diturunkan dari generasi ke generasi.
”Keragaman bahasa ibu merupakan kekayaan yang sangat berharga bagi Indonesia. Akan tetapi, kecenderungan keluarga muda sekarang di berbagai daerah lebih suka mengajarkan bahasa Indonesia ke anak-anaknya. Bila tidak dituturkan dan dilestarikan, ke depan bahasa ibu bisa punah,” ungkapnya.
Editor:
ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
- Log in to post comments