COVID-19 dan Ketidaksetaraan dalam Proses Belajar di Indonesia: Empat Cara untuk Menjembatani Kesenjangan
DEEPALI GUPTANOVIANDRI NURLAILI KHAIRINA|AUGUST 19, 2020
“Kendala dalam mengajarkan anak saya adalah tidak adanya listrik dan usia saya, karena saya tidak bisa memahami pelajaran yang sulit, terutama karena saya petani. Seminggu sekali, para guru datang ke rumah sehingga mereka dapat mendidik dan mengajari anak-anak. Di desa lain biasanya mereka kesulitan untuk menemukan anak-anak, karena anak-anak ikut bersama orang tua mereka ke ladang.” – Sutil, yang tinggal di desa terpencil di Kalimantan Barat dan tidak memiliki akses internet maupun televisi.
“Saya pikir tantangan saya adalah harus bergantian melakukan pekerjaan dan juga menjalankan tanggung jawab keluarga. Dan koneksi internet (yang buruk) membuat proses pembelajaran menjadi lebih sulit.” – Rosa, seorang guru di Bekasi yang putrinya bersekolah di sekolah swasta dan sedang menjalani pembelajaran online.
Sejak bulan Maret 2020 para siswa, orangtua, dan guru di Indonesia harus menghadapi penutupan sekolah yang berdampak kepada 62,5 juta siswa, mulai dari tingkat pra-sekolah dasar hingga pendidikan tinggi. Sejak tanggal 7 Agustus, sekolah-sekolah di zona hijau diberi pilihan untuk membuka sekolahnya jika mereka mampu menerapkan penjarakan sosial dan melaksanakan penggunaan air, sanitasi dan kebersihan sesuai dengan pedoman penanganan pandemi.
Selama empat bulan terakhir, sebagian besar sekolah dan madrasah telah menerapkan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya yaitu proses pembelajaran di rumah, meskipun pelaksanaannya bervariasi sesuai dengan keragaman geografis dan sosial ekonomi di seluruh pelosok negeri ini. Kementerian Agama (Kemenag) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) memberikan pelatihan dan dukungan dalam berbagai bentuk bagi para guru yang memanfaatkan platform pembelajaran daring. Kemenag telah melakukan adaptasi terhadap aplikasi e-learning-nya, yang awalnya dirancang untuk mendukung pembelajaran di kelas, hingga dapat menyelenggarakan pembelajaran secara daring. Platform tersebut memungkinkan guru untuk mengunggah materi dan tugas pembelajaran sementara siswa dapat menyerahkan hasil belajar mereka, dan saat ini fitur-fitur tersebut sedang dikembangkan lebih lanjut.
Kemendikbud telah menjalin kemitraan dengan perusahaan teknologi pendidikan (EdTech) dalam menyediakan akses gratis pada platform pembelajaran online; dan dengan operator telekomunikasi untuk memberikan kuota internet gratis yang dapat digunakan oleh para guru dan siswa. Kemendikbud juga bergerak cepat meluncurkan program televisi pendidikan – Belajar dari Rumah – pada tanggal 13 April, yang telah menjadi sumber pembelajaran utama bagi siswa yang tidak memiliki akses ke internet (diperkirakan 95 persen memiliki akses ke televisi). Pemerintah juga menyediakan buku maupun lembar kerja elektronik bagi sekolah-sekolah, dan telah mengizinkan digunakannya dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk mencetak dan mendistribusikannya. Pada tanggal 7 Agustus, Kemendikbud juga mengumumkan pilihan yang dapat diambil oleh sekolah-sekolah untuk menggunakan kurikulum darurat yang disederhanakan.
Meskipun pemerintah telah mengambil banyak langkah secara tepat waktu untuk mendukung pembelajaran dari rumah, COVID-19 masih menjadi tantangan besar bagi pendidikan. Dengan asumsi guncangan pendapatan yang disebabkan pandemi sebesar negatif 1,1 persen, kami memperkirakan tambahan sejumlah 91.000 anak di Indonesia yang akan mengalami putus sekolah – peningkatan 0,13 poin persentase putus sekolah dasar dan peningkatan 0,15 poin persentase putus sekolah lanjutan, dihitung dengan menggunakan alat milik Bank Dunia. Dengan asumsi bahwa sebagian besar sekolah tetap ditutup hingga akhir Juli, menurut perhitungan kami secara rata-rata, anak-anak akan kehilangan sekitar sepertiga dari apa yang seharusnya mereka pelajari dalam satu tahun. Pembelajaran berkaitan dengan kapasitas mereka untuk dapat menghasilkan sesuatu di masa depan, karena melalui pembelajaran, mereka mendapatkan keterampilan yang mereka butuhkan untuk menjadi produktif. Oleh karena itu, hal ini akan disertai dengan kerugian pendapatan seumur hidup yang setara dengan $ 151 miliar dari 68 juta siswa. Jika sekolah tetap ditutup untuk waktu yang lebih lama tanpa adanya tindakan tambahan untuk mendukung pembelajaran, kerugian bahkan menjadi lebih besar.
Siswa yang kurang beruntung kemungkinan akan menjadi yang paling terdampak. Sebagai contoh, anak-anak yang berasal dari keluarga yang kurang mampu kemungkinan besar akan tertinggal dibandingkan teman sebaya mereka yang lebih mampu yang memiliki akses lebih baik pada pembelajaran secara daring, sementara sebagian besar anak-anak berkebutuhan khusus tidak akan dapat mengakses layanan khusus.
Beberapa langkah yang dapat diambil oleh Indonesia untuk mengurangi dampak COVID-19 terhadap pembelajaran dan ketidaksetaraan yang diakibatkannya adalah:
1) Mengembangkan lebih banyak solusi untuk menjangkau siswa yang tidak memiliki internet
Menyediakan dan memberikan berbagai bentuk pendekatan pendukung pembelajaran, baik itu tanpa teknologi, berteknologi rendah, maupun yang berteknologi tinggi. Meskipun program TV pendidikan Kemendikbud telah dijadikan sumber utama, akan tetapi masih diperlukan juga dukungan secara lebih langsung. Di banyak daerah yang tidak memiliki koneksi internet, guru sudah melakukan kunjungan ke rumah siswa. Di manapun kunjungan semacam ini dapat dilakukan, maka pemerintah sebaiknya memberikan panduan tentang bagaimana melaksanakannya dengan aman dan menjelaskan bahwa dana BOS dapat digunakan untuk membayar transportasi guru.
2) Meningkatkan konektivitas internet dan melatih para guru untuk memberikan pembelajaran daring secara lebih efektif dan interaktif
Sebagian besar guru dan siswa tidak siap untuk berpindah ke pembelajaran secara daring yang terjadi secara tiba-tiba. Menurut Survei Cepat Kemendikbud tentang belajar dari rumah (27 April), guru mengidentifikasi tantangan utama mereka pada konektivitas jaringan internet dan dalam memantau kemajuan siswa. Saat ini Indonesia dapat mendukung pembelajaran dan meningkatkan ketahanan sistem melalui investasi pada kapasitas belajar-mengajar secara daring, penyimpanan data, dan infrastruktur tahan bencana. Sebagai contoh, setiap kecamatan memiliki sekolah yang dilengkapi dengan laptop / telepon pintar, internet, listrik, fasilitas air dan sanitasi, serta perpustakaan dengan bahan ajar cetak untuk kegiatan belajar secara mandiri.
3) Mengidentifikasi dan mendukung mereka yang tertinggal dengan metode pengajaran yang berbeda
Ketika sekolah dibuka kembali, berbagai upaya sebaiknya dilakukan untuk mengidentifikasi kesenjangan belajar para siswa, memberikan dukungan tambahan kepada siswa yang pembelajarannya paling terdampak secara negatif, dan membedakan metode pengajaran berdasarkan tingkat pembelajaran mereka. Baru-baru ini Kemendikbud mengumumkan akan menyelenggarakan penilaian untuk melakukan pembedaan metode pengajaran (detil mengenai pelaksanaannya akan menyusul). Pengembangan kapasitas profesional para guru yang berfokus pada metode pembelajaran yang berbeda-beda disarankan untuk menjadi bagian dari upaya ini. Penilaian formatif dan pengelompokan berbasis kemampuan ini dapat menjadi bagian permanen dari upaya peningkatan praktik pengajaran pasca Covid-19.
4) Mendukung siswa yang kurang beruntung untuk kembali ke sekolah
Pemerintah, baik di tingkat nasional maupun daerah, mengambil langkah-langkah tambahan untuk memastikan bahwa mereka yang paling rentan putus sekolah, seperti siswa dari keluarga yang kurang mampu dan anak-anak yang lebih tua yang membantu pendapatan rumah tangga, dapat tetap terdaftar di sekolah. Langkah pertama bisa berupa komunikasi dan sosialisasi yang jelas seputar pembukaan kembali sekolah, dengan penjangkauan khusus termasuk kunjungan rumah kepada mereka yang paling berisiko.
Jutaan rakyat Indonesia seperti Sutil dan Rosa berusaha untuk mendukung keluarga dan pendidikan anak-anak mereka selama pandemik masih berlangsung. Memastikan bahwa anak-anak mereka dapat terus belajar menjadi suatu investasi pada modal sumber daya manusia Indonesia dan pemulihannya, dan pada suatu sistem pendidikan yang lebih berketahanan terhadap berbagai krisis yang mungkin terjadi di masa mendatang.
Authors
Deepali Gupta
Communications Consultant The World Bank
Noviandri Nurlaili Khairina
Education Specialist The World Bank
- Log in to post comments