Oleh: Madina Nusrat/Ryan Rinaldy/Satrio Wisanggeni
Dengan tenun, sekelompok ibu di Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur, melawan perdagangan orang. Di Indramayu mereka melawan melalui pendidikan.
Anggota Kabar Bumi (Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia) Desa Tuppan, Batu Putih, Timor Tengah Selatan, NTT, menenun selendang, saat ditemui pada Jumat (5/7/2019).
Jalan berbatu dan menanjak harus ditempuh menuju tempat tinggal sekelompok ibu perajin tenun yang tergabung dalam Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi) di Desa Tuppan, Kecamatan Batu Putih, Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mereka berkomitmen melawan perdagangan orang dengan menjadi perajin tenun.
Akses jalan yang buruk, dikelilingi tanah tandus, rasanya tidak mungkin membuat mereka mandiri secara ekonomi hanya dengan tenun. Apalagi proses pembuatan tenun memakan waktu lama dan harga jualnya di tingkat perajin masih rendah.
“Sekarang kami sudah tak izinkan anak ke Malaysia. Di Kabar Bumi, kami baku tukar pendapat (saling tukar pendapat), pengalaman susah senang di Malaysia. Jangan lagi anak-anak berangkat ke Malaysia,” tutur Fransina (49), salah satu perajin tenun itu, yang ditemui awal Juli lalu.
Sejumlah anggota Kabar Bumi (Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia) Desa Tuppan, Batu Putih, Timor Tengah Selatan, NTT, menunjukkan hasil tenun mereka saat ditemui pada Jumat (5/7/2019).
Fransina merupakan satu dari empat ibu di Desa Tuppan yang kini menekuni tenun. Sebelumnya mereka adalah bekas tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja sebagai asisten rumah tangga di Malaysia.
Peristiwa yang dialami Yufrinda Selan, seorang remaja putri di desa mereka cukup menjadi pelajaran. Yufrinda adalah korban tipu daya calo TKI. Dia pulang dari Malaysia dalam kondisi tak bernyawa. Saat jasad Yufrinda dipulangkan, ditemukan sisa jeratan di leher.
“Sudah banyak yang meninggal. Ada banyak masalah. Nona-nona tidak lagi merantau,” ucap Fransina.
Yufrinda merupakan satu dari 46 TKI asal NTT yang kembali dalam kondisi meninggal pada 2016. Ia diberangkatkan sebagai TKI secara ilegal.
Pada tahun-tahun berikutnya, TKI asal NTT yang meninggal dunia di rantau bertambah banyak. Pada 2017 ada 62 jenazah TKI asal NTT yang dipulangkan, dan pada 2018 bertambah menjadi 105 jenazah, termasuk salah satunya Adelina Jemirah Sau yang berangkat saat usia 17 tahun pada 2015 dan kembali dalam kondisi tewas dianiaya majikannya pada 2018.
Selama Januari-Juli 2019, jenazah TKI yang kembali ke NTT mencapai 61 jenazah. Lebih dari 90 persen TKI yang meninggal dunia merupakan TKI ilegal.
Yuliana (46), ibunda Yufrinda mengungkapkan, dia tak pernah mengetahui keberangkatan Yufrinda ke Malaysia. Saat itu, katanya, Yufrinda baru seminggu berhenti sekolah dari kelas 1 sekolah menengah kejuruan (SMK), dan usianya baru 16 tahun. Dia berhenti sekolah karena merasa tak enak menjadi beban orangtua.
Salah satu alasannya karena ongkos menuju sekolah cukup tinggi mengingat SMK berada jauh dari desanya. Setiap hari Yufrinda berangkat sekolah dengan ojek dan memakan biaya Rp 20.000 per hari. Sementara ayahnya, Metusalak Selan (48), hanya bekerja sebagai buruh bangunan.
Metusalak Selan (48) ayah Yufrinda mengungkapkan, anaknya dibawa ke Malaysia dengan cara tipu daya. Pada mulanya ia dipacari oleh Yasmin (18), pemuda di desa tetangga mereka yang juga menjadi perekrut calon TKI. Tanpa izin, menurut Metu, Yufrinda berangkat ke Malaysia.
Saat itu, Metu mengira Yufrinda kabur ke Kupang ke tempat saudaranya. Selama 3 bulan, Metu hidup luntang-lantung di Kupang mencari keberadaan Yufrinda, sambil bekerja sebagai buruh bangunan untuk membiayai hidupnya sehari-hari. Namun anaknya tetap tak ditemukan
Baru 8 bulan kemudian sejak hilang, pada 11 Juli 2016, Yufrinda kembali dalam kondisi tak bernyawa. Dari surat kematian yang diterbitkan Pemerintah Malaysia, Yufrinda disebutkan bernama Melinda Sapay, berusia 22 tahun, dan meninggal karena gantung diri.
Jenazah Yufrinda bisa dipulangkan berkat bantuan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Berkat dorongan jaringan anti-perdagangan orang di NTT yang terdiri dari aktivis di GMIT dan gereja Katolik, kematian Yufrinda dapat diperkarakan di pengadilan sebagai kasus perdagangan orang.
Setidaknya 15 orang yang terlibat dalam pengiriman Yufrinda ke Malaysia telah dipidana oleh Pengadilan Negeri Kupang. Menurut Metu, para pelaku juga dipidana membayar restitusi kepada keluarganya senilai total Rp 195 juta.
Pendeta Emmy Sahertian, salah satu perwakilan GMIT mengatakan, pengungkapan perdagangan orang yang menimpa Yufrinda memakan energi karena harus melalui pemeriksaan berulang kali di kepolisian, termasuk di pengadilan. Sementara pengiriman TKI ilegal yang menjurus pada perdagangan orang di NTT ditemukan setiap minggu.
“Dari sini, kami mulai mendorong Pak Metu sebagai agent of change. Mendorong dia untuk mengajak warga di desanya menjadi berdaya sehingga tak lagi tergoda menjadi TKI, salah satunya lewat tenun yang digerakkan oleh para mantan TKI yang tergabung dalam Kabar Bumi,” jelas Emmy.
Sebagai pengurus Kabar Bumi, Metu menghadapi banyak kendala, salah satunya bagaimana meningkatkan nilai jual tenun yang dibuat kaum ibu di Kabar Bumi. Untuk menjual tenun melalui daring, ia belum mengetahui caranya. Oleh karena itu, ia hanya bisa mendorong 30 orang kaum ibu yang tergabung di Kabar Bumi tetap semangat memproduksi tenun.
Metusalak Selan (kiri), ayah dari Yufrinda Selan), berbicara melalui ponselnya di kediamannya saat ditemui pada Jumat (5/7/2019). Di ruang itu terpasang bendera Kabar Bumi; organisasi Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia.
Modal untuk membuat selendang tenun paling sedikit Rp 50.000. Untuk membuatnya jadi selendang dibutuhkan waktu 1-2 minggu. Jika dijual di pasar, selendang itu hanya laku Rp 60.000. Jika ada tamu yang berkunjung, selendang tenun bisa dijual Rp 100.000 per potong. Namun, tamu yang datang tidaklah banyak.
Meskipun tinggal di desa, uang tetap dibutuhkan untuk membayar biaya sekolah anak-anak. Beras juga harus dibeli seharga Rp 10.000 sampai Rp 12.000 per kilogram.
Jika musim kemarau datang, jagung sulit dipanen karena kekurangan air. Sayuran pun tak tumbuh. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan makan, mereka hanya bisa bergantung pada beras yang dibeli dari pasar. Untuk bisa membeli beras, mereka harus membuat gula merah dan menjualnya seharga Rp 10.000 per kilogram.
“Makan kosong saja (hanya nasi). Makan nasi disiram air panas. Habis tidak ada sayur. Mau belanja, duit dari mana,” tutur Dewi Maubanu (30), anggota Kabar Bumi lainnya.
Seorang anak laki-laki warga Desa Meusin, Boking,Timor Tengah Selatan, NTT, mengambil air, pada Minggu (7/7/2019).
Yunus Benu (34), warga Desa Meusin sekaligus aktivis anti-perdagangan orang mengungkapkan, pertanian di desanya sangat mengandalkan kondisi alam. Nilai jual hasil perkebunan seperti pisang pun relatif rendah karena Desa Meusin berada jauh dari Kupang, dan akses ke Kupang dikepung jalan rusak yang cukup parah.
Satu tandan pisang hanya laku dijual Rp 15.000 di pasar lokal. Belum ada pengepul yang mau mengangkut hasil bumi di desanya ke Kupang karena khawatir hasil bumi itu akan rusak selama di perjalanan.
Yunus Benu, advokat aktivis anti-perdagangan orang
Arman Tanono, advokat sekaligus aktivis anti-perdagangan orang di NTT mengatakan, memberantas perdagangan orang di NTT sangatlah sulit. Segala upaya yang dilakukan kerap kali menemukan halang rintang, sementara kondisi warga sangat miskin.
Di Indonesia, NTT menempati peringkat ketiga dalam hal penduduk miskin terbanyak setelah Papua dan Papua Barat. Sebanyak 21 persen penduduknya miskin.
Di Indramayu, Jawa Barat, yang bertahun-tahun menghadapi permasalahan perdagangan orang, tantangan yang dihadapi dalam memerangi kejahatan ini tetap berat. Generasi muda mulai meninggalkan pekerjaan di sektor pertanian, sementara industri tak tumbuh. Akibatnya, warga perdesaan di Indramayu tetap memburu pekerjaan di luar desa. Sementara jaringan perekrut tenaga kerja baik yang ilegal sudah masuk ke desa-desa.
Belum lagi iklan lowongan pekerjaan dengan iming-iming gaji besar yang disebarkan di media sosial, rawan digunakan untuk menjerat anak dan perempuan guna eksploitasi seksual.
Suasana di Kecamatan Bongas, Indramayu, Jawa Barat, Jumat (26/7/2019).
DI tak menyangka jika pekerjaan yang harus dijalaninya adalah menemani tamu yang datang untuk minum. Ia pun kerap dipaksa oleh tamu yang datang untuk meminum minuman beralkohol. Di kafe itu, ia juga menyaksikan anak-anak perempuan usia 17 tahun ke atas dieksploitasi sebagai pekerja seks komersial.
DI yang sudah 2 tahun menganggur sejak putus sekolah kelas 1 SMP ini pada mulanya tertarik bekerja karena ingin membeli ponsel. Selain itu, ia ingin bekerja karena di rumah kerap dimarahi neneknya. Sejak ibunya menikah lagi, DI tinggal bersama neneknya.
Polres Indramayu, pada awal Juli lalu, mengungkap kasus eksploitasi anak yang dipekerjakan sebagai wanita penghibur di sebuah kafe di daerah Bekasi. Dari kafe itu diselamatkan 10 anak asal Indramayu dan 9 anak asal Purwakarta usia 12-17 tahun.
Jerat perdagangan anak seperti yang dialami DI, itu salah satunya yang memacu Yayasan Kusuma Bongas tak pernah berhenti memberikan sosialisasi dan pendidikan terkait bahaya perdagangan orang di Indramayu sejak 2000 hingga sekarang, khususnya di Kecamatan Bongas tempat yayasan itu berada. Sosialisasi itu termasuk pendidikan terkait dampak dari perdagangan orang berupa penularan HIV-AIDS.
Siswa SMK NU Bongas, Kecamatan Bongas, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (25/7/2019), mendengarkan sosialisasi tentang HIV/AIDS.
Secara rutin, Konselor HIV Terpadu Yayasan Kusuma Bongas, Sulistiani Andan Dewi (29), memberikan sosialisasi bahaya hubungan seksual yang tak aman terhadap penularan HIV-AIDS ke sekolah-sekolah di Kecamatan Bongas. Hingga saat ini di Kecamatan Bongas, ada 290 orang tertular HIV.
Segala upaya yang dilakukan warga NTT dan Indramayu untuk melawan perdagangan orang dan anak mungkin tidak sebanding dengan masifnya praktik perdagangan anak yang terjadi.
Namun langkah kecil mereka adalah titian untuk melindungi anak-anak, menjaga masa depan bangsa.
Siswa SMK NU Bongas, Kecamatan Bongas, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (25/7/2019), mengisi kuesioner tentang HIV/AIDS.
Siswa SMK NU Bongas, Kecamatan Bongas, Indramayu, Jawa Barat, Kamis (25/7/2019), mengisi kuesioner tentang HIV/AIDS.
- Log in to post comments