BEKERJA DAN BERBAKTI UNTUK KEMAJUAN KTI

Laporan Jurnalistik Peraih Adinegoro: Tak Ada Standar Pengangkatan, Kualitas dan Nasib Guru Honorer di Daerah Tidak Jelas

Laporan Jurnalistik Peraih Adinegoro
Tak Ada Standar Pengangkatan, Kualitas dan Nasib Guru Honorer di Daerah Tidak Jelas
Siang | 22 Januari 2016 15:21 WIB 385 dibaca 0 komentar

PENGANTAR:

Laporan tim wartawan KOMPAS tentang kehidupan guru di daerah, yang dimuat secara berseri dalam 9 tulisan, meraih penghargaan Adinegoro untuk kategori liputan mendalam. Berikut tulisan kelima yang dimuat di halaman 12 harian KOMPAS, Selasa, 24 November 2015.

JAKARTA, KOMPAS - Akibat terdesak kebutuhan untuk mengisi kekurangan guru, pemerintah daerah, yayasan, atau sekolah mengangkat guru honorer dengan cara masing-masing. Namun, tanpa kebijakan standar yang jelas, kualitas dan nasib guru honorer pun menjadi tidak menentu.

Demikian hasil pemantauan terhadap kondisi guru honorer, kadang disebut guru tak tetap (GTT), di sejumlah daerah di Indonesia yang dirangkum sejak akhir pekan lalu.

Di Kalimantan Barat (Kalbar), contohnya, pemerintah setempat mengangkat guru honorer karena kekurangan guru di SD. Kepala Bidang Pendidikan Dasar Dinas Pendidikan Provinsi Kalbar Kusnadi mengatakan, total guru di provinsi itu sebanyak 62.928 orang. Namun, secara keseluruhan untuk pendidikan dasar saja, daerah itu kekurangan 16.000 guru hingga 2017. Salah satu penyebabnya, ada pensiun besar-besaran pada 2015-2019, yaitu sebanyak 4.398 guru.
”Guru honorer sangat dimanfaatkan sekolah untuk membantu berbagai macam tugas di sekolah. Apalagi, tidak ada batas-batas sampai sejauh mana pekerjaan honorer,” kata Kusnadi.

Kondisi serupa terjadi di Lampung. Distribusi guru yang tidak merata masih menghambat pengembangan pendidikan di daerah ini. Daerah-daerah di pedalaman provinsi ini masih kekurangan guru.

Kepala SDN 1 Way Harong, Kabupaten Pesawaran, Lampung, Sispriyanto, menuturkan, sekolahnya kekurangan satu guru kelas dan satu guru mata pelajaran muatan lokal. Sekolah itu hanya memiliki sembilan guru yang mengajar 147 siswa. Dua guru bakal pensiun.

Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Lampung Hery Sulisyanto menuturkan, distribusi guru yang tidak merata menjadi penyebab utama kekurangan guru di daerah pelosok. Saat ini, kekurangan guru terjadi hampir di setiap kabupaten, terutama di daerah pelosok mencapai 1.000 guru.
Eka Puspitasari memangku anaknya sambil mengajar kelas I dan kelas II di SDN Sukasari, Tegalbuleut, Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (19/11/2015). Eka yang masih berstatus guru honorer tetap mengajar selama hamil dan hanya istirahat sejenak seusai melahirkan, lalu tetap mengajar sambil mengasuh dan membawa anak pertamanya ke ruang kelas.

Hal itu terjadi karena setelah diangkat sebagai pegawai negeri sipil (PNS), sebagian guru di daerah terpencil mengajukan pemindahan tugas. Mereka tidak mau ditempatkan di daerah terpencil yang tidak ada listrik. Saat bersamaan, dalam dua tahun ke depan, akan ada pensiun massal guru SD sehingga membuat kekurangan guru kian besar. ”Kalau tidak diangsur dari sekarang, kekurangan guru akan meledak pada 2017,” katanya.

Namun, komitmen pemerintah kabupaten/kota untuk mengangkat guru PNS juga tidak jelas. Padahal, pengangkatan guru PNS sudah merupakan kewenangan pemerintah kabupaten/kota. Sampai saat ini, pemerintah daerah hanya mengangkat guru honorer melalui jalur K2.

Kualitas tak jelas

Selama ini pengangkatan guru honorer oleh pemerintah daerah, yayasan, dan sekolah tidak dilandasi standar yang jelas. Akibatnya, kualitas guru pun menjadi tidak menentu.
Berita Terkait
Kecukupan Guru Masih Semu, Beban Para Guru di Daerah Tertinggal Sangat BeratSiang | 22 Januari 2016 10:35 WIB
Jangan Berhenti Belajar, Guru Dituntut untuk Mengembangkan Metode PengajaranSiang | 22 Januari 2016 15:16 WIB
Di Balik Liputan Tematis Guru, Pemenang Adinegoro 2015Siang | 22 Januari 2016 14:47 WIB

Ketua Dewan Pendidikan Nusa Tenggara Timur (NTT) Simon Riwu Kaho mengatakan, banyak guru di daerah terpencil di provinsi itu yang hanya lulusan SMA atau sederajat. Kondisi itu akibat sebagian guru PNS enggan ditempatkan di desa-desa yang sulit dijangkau kendaraan, tidak ada sinyal telepon, tidak ada listrik dan televisi. ”Jika pendidikan dasar diajar oleh lulusan SMA, mutu pendidikan dasar itu dipastikan rendah. Tidak heran, kalau lulusan SD dan SMP tidak bisa membaca, menghitung, dan menulis dengan baik,” katanya.

Manajemen guru lemah

Aswandi, pakar pendidikan dari Universitas Tanjungpura Pontianak, Kalbar, menuturkan, guru honorer bermasalah karena manajemen keguruan lemah, terutama distribusi guru yang tidak merata dan kuantitas guru tidak memadai. Daerah-daerah tertentu kekurangan guru.

Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung (Unila) Bujang Rahman menuturkan, kekurangan guru di daerah-daerah pelosok perlu diantisipasi dengan pemerintah dengan memetakan guru berdasarkan jumlah, domisili, dan mata pelajaran. Dari data itu, pemerintah kemudian membuka formasi guru PNS. Kalau penerimaan guru tidak segera dibuka dari sekarang, akan banyak murid yang tidak mendapat layanan pendidikan.

”Kalau pengangkatan PNS sulit dilakukan, pemerintah dapat mengangkat guru tetap non-PNS yang dibiayai APBD,” katanya.

Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Aceh Ramli Rasyid berharap pemerintah mengembangkan sistem mutasi guru sesuai kebutuhan sehingga sekolah-sekolah di pelosok juga memiliki guru yang cukup.

(ENG/ESA/AIN/VIO/KOR/DRI)

Sumber: http://print.kompas.com/baca/2016/01/22/Tak-Ada-Standar-Pengangkatan-Kualitas-dan-Nasib-G