FESTIVAL TELUK JAILOLO
"Saloi Sirimoi", "Saloi Menyatukan"
Ikon konten premium Cetak | 17 Juni 2015 Ikon jumlah hit 15 dibaca Ikon komentar 0 komentar
Tema Festival Teluk Jailolo di Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, tahun 2015 adalah "Saloi Sirimoi" atau "Saloi Menyatukan". Saloi adalah alat tradisional Halmahera Barat yang berfungsi seperti tas, terbuat dari anyaman rotan dan untuk menyimpan berbagai barang. Fungsi sebagai tempat menyimpan berbagai barang itulah membuat saloi menjadi simbol menyatukan masyarakat di tengah keberagaman.
Tarian dalam acara puncak
KOMPAS/EMANUEL EDI SAPUTROTarian dalam acara puncak "Sasadu on the Sea" pada Festival Teluk Jailolo di Halmahera Barat, Provinsi Maluku Utara, beberapa waktu lalu.
Festival itu mengedepankan keindahan alam, kuliner Halmahera Barat, potensi bawah laut, dan adat istiadat. Festival yang diselenggarakan di teluk seluas 18.000 kilometer persegi (km2) dan dikelilingi gunung yang disebut warga sekitar sebagai Gunung Menyesal, Tunanetra, dan Sahu, pertama kali diselenggarakan tahun 2009.
Saat festival digelar beberapa saat lalu, panggung megah berdiri di tepi laut Jailolo. Di tengah panggung itu terdapat rumah adat suku Sahu yang disebut sasadu. Di panggung itulah penari Eko Supriyanto selaku sutradara dalam acara puncak festival, yang disebut "Sasadu on the Sea" menerjemahkan tema Saloi Sirimoi dalam seni teatrikal musikal.
Tahun ini, pertunjukan fokus pada Saloi Sirimoi yang mewakili suku Sahu, Wayoli, Gamkonora, dan Tabaru. Pertunjukan itu melibatkan sekitar 200 siswa dari sejumlah sekolah di Jailolo dan 50 anggota paduan suara yang mengiringi tarian.
Lengkingan suara Nyak Ina Raseuki atau akrab disapa Ubiet, etnomusikolog, mengawali kemeriahan acara puncak Festival Jailolo itu. Nyanyian itulah simbol mengajak berkumpul sambil membawa saloi. "Nyanyian itu terinspirasi dari nada-nada suku Tabaru," tutur Eko.
Tarian pertama bercerita tentang keindahan alam Teluk Jailolo dari sisi bahari. Penari memakai pakaian kebiru-biruan, mempertegas keindahan alam dan laut di Jailolo. Eko memberikan persepsi angin dan hutan di sekitar Jailolo kepada penari itu.
Kemeriahan berlanjut dengan tarian tradisional legu salai, sara dabi-dabi, cakalele, dan soya-soya yang tidak lepas dari atribut saloi. "Tarian ini dari budaya setempat. Sekarang saya kembalikan kepada mereka. Merekalah yang menampilkan apa yang menjadi bagian dari diri mereka," papar Eko lagi.
Tarian Cry Jailolo memukau. Tarian tentang jeritan anak Jailolo yang mengandung pesan optimisme dalam meraih mimpi mereka. Tarian itu diiringi biola yang membawa penonton pada suasana syahdu. Tarian ini juga akan digelarkan di sejumlah negara. Kesyahduan itu kian terasa dengan tarian penutup "Syahdu Jailolo".
"Salooooii, Sirimoi, Saloooiii, Sirimoi...." Setelah pertunjukan selesai, Eko dan ratusan penari yang merupakan warga setempat dipenuhi rasa haru. Mereka menangis dan berpelukan. "Kami hanya memiliki waktu tiga minggu latihan. Meski tarian itu berasal dari kultur mereka, saya harus memberi sense of performance pada anak-anak. Di situlah tantangan saya dalam menjaga kedisiplinan anak-anak, membuat mereka menyatu dengan musik dan penjiwaan," tuturnya.
Anton, seorang pengunjung dari Jakarta, menuturkan, Festival Jailolo 2015 itu memukaunya. Penampilan itu merepresentasikan keindahan Jailolo dari sisi budaya dan alam. "Tak banyak yang membangun wilayah dengan pengembangan daerah secara khusus dengan pendekatan budaya," katanya.
Semangat persatuan
Semangat Saloi Sirimoi tampak pula dalam berbagai acara beberapa hari sebelum pertunjukan puncak, sebagai contoh pada Karnaval Budaya. Ratusan peserta karnaval berjalan kaki dari lapangan Sasadu Lamo menuju panggung utama, sekitar 2 km. Peserta pawai menggunakan pakaian adat dari berbagai daerah, antara lain pakaian Kesultanan Jailolo dan Jawa.
Dalam pelaksanaan ritual Sibere Wanat, yang dilakukan warga suku Sahu sebagai bentuk rasa syukur sehabis panen, dibentuk kebersamaan. Ritual itu didahului dengan pemanjatan doa oleh tokoh adat, diikuti menaikkan bambu sepanjang 9 meter ke atas bubungan rumah sasadu atau rumah adat suku Sahu. Ritual ini diiringi tabuhan musik tradisional.
David Rarum, tokoh adat setempat, menuturkan, orang yang bertugas menaikkan bambu ke bubungan rumah itu mewakili kasta walasae, walangatom, dan kamolona. Walasae adalah kasta pemimpin dan walangatom merupakan pembantu kasta pertama. Kasta kamolona kasta menjadi penengah di antara kedua kasta yang lain. Tugas memindah kan bambu itu dilakukan turun-temurun.
Dampak ekonomi
Namto Hui Roba, Bupati Halmahera Barat, menuturkan, keindahan alam Jailolo akan terus dijaga untuk kesejahteraan masyarakat. Apalagi, tahun 2013 kabupaten itu ditetapkan oleh pemerintah pusat sebagai daerah kunjungan wisata.
"Ada 10 desa wisata yang terbangun atas inisiatif masyarakat. Pemerintah hanya mendorong dan memfasilitasi mereka. Ke depan, dibentuk forum desa wisata agar antardesa itu menjalin kerja sama," kata Namto.
Menurut Husen Abdul Fatah, Wakil Bupati Halmahera Barat, kunjungan wisatawan tahun ini ditargetkan minimal seperti tahun 2014 sekitar 40.000 orang. Data yang diperoleh Kompas, wisatawan yang datang ke Halmahera Barat tahun 2011 sebanyak 5.945 orang, 15.500 wisatawan pada 2012, dan 37.186 wisatawan pada 2013.
Wakil Gubernur Maluku Utara M Natsir Thaib menuturkan, dampak pembangunan pariwisata di Jailolo kini mulai terasa. Perekonomian masyarakat di kawasan itu semakin membaik.
(EMANUEL EDI SAPUTRA)
- Log in to post comments
- 786 reads