Amrul Sadik Daga
”Memulung” Limbah Menjaga Kehidupan
Cornelius Helmy
Ikon konten premium Cetak | 17 Juni 2015
Awalnya, Amrul Sadik Daga (45) berkarya di bidang kesehatan masyarakat hanya sekadar mengejar status pegawai negeri sipil. Namun, setelah melihat banyak limbah kesehatan teronggok tak terurus dan menjadi tempat bermain berbahaya bagi anak-anak, ia memantapkan pilihan.
KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
”Saya ingin berguna bagi masyarakat. Mungkin saya diberi jalan lewat limbah kesehatan,” kata Amrul saat ditemui di rumahnya di siang yang panas di Kelurahan Sangaji Utara, Kota Ternate, Maluku Utara, akhir pekan lalu.
Pertemuannya dengan limbah kesehatan tak terurus pertama kali saat banting setir dari karyawan hotel menjadi sukarelawan di Puskesmas Kota Ternate pada 2001. Dengan alasan moral, ia meninggalkan penghasilan Rp 400.000 per bulan menjadi hanya Rp 16.000 per bulan.
Bertugas di bagian administrasi, perlahan ia mulai terusik tumpukan limbah kesehatan tak terurus di sekitar puskesmas. Jarum suntik bekas, labu infus bekas, hingga kain kasa ternoda darah menjadi area bermain anak-anak. Ia gerah, tetapi tak tahu harus berbuat apa.
Sinar terang didapat saat petugas Kementerian Kesehatan datang ke Kota Ternate memberikan bantuan insinerator limbah kesehatan. Puskesmas Kota Ternate menjadi satu dari empat puskesmas yang mendapat bantuan insinerator bervolume 100 liter.
Akan tetapi, insinerator itu membutuhkan listrik yang besar. Akibatnya, insenerator kerap tidak terpakai sehingga onderdilnya lekas aus dan rusak. Hanya insinerator di Puskesmas Sikko yang masih bertahan pada 2004.
”Saya menawarkan diri menjadi sukarelawan pengangkut dan pembakar limbah. Setiap dua kali seminggu, saya keliling ambil limbah dari Puskesmas Kota Ternate, Kalumata, dan Kalumpang, menuju Puskesmas Sikko,” katanya.
Namun, hanya dalam waktu dua tahun, insinerator di Sikko rusak akibat dipakai melebihi kapasitas. Karena tidak punya tempat menjauhkan limbah kesehatan dari masyarakat, Amrul menguburnya di hutan dataran tinggi Marikurubu, Kota Ternate.
”Saat itu, saya benar-benar bingung karena tak punya tempat. Ketimbang berserakan dekat permukiman masyarakat, terpaksa saya gali lubang di dalam hutan. Keterbatasan ilmu itu juga yang membuat saya ingin melanjutkan sekolah agar punya pengetahuan baru,” katanya.
Selama dua tahun ia menempuh pendidikan lanjutan di Manado, Sulawesi Utara. Saat pulang ke Ternate dua tahun kemudian, ia menemukan fakta ada sekitar 400 liter per minggu limbah kesehatan menunggu dimusnahkan.
Biaya sendiri
Kali ini ia meninggalkan Marikurubu dan memilih Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Buku Deru-Deru yang berjarak 32 kilometer dari pusat Kota Ternate. Dengan biaya sendiri, ia membuat insinerator sederhana berbiaya Rp 2,5 juta. Setiap dua kali seminggu, ia menggunakan sepeda motor butut pinjaman dari Puskesmas Kota Ternate menuju TPA Buku Deru Deru sembari membawa limbah plastik dalam kantong plastik hitam.
Usahanya tidak mudah. Salah satu pengalamannya ketika kewalahan ditampar hujan deras saat membawa setumpuk limbah kesehatan. Ia sempat berpikir pulang membawa jarum suntik dan infus bekas. Namun, ia mengurungkan niat itu mengingat risikonya sangat berbahaya.
Akhirnya ia tiba di TPA Buku Deru Deru saat sore. Ia mendapat kejutan. Beberapa pemulung ternyata sudah menantinya untuk bersama-sama menghancurkan limbah kesehatan.
”Ternyata saya tidak sendirian,” katanya.
Pemulung TPA Buku Deru Derumen jadi mitra utama Amrul. Dari pemulung, ia mendapat informasi asal muasal limbah kesehatan baru.
”Informasi itu digunakan sebagai langkah awal mencari dari mana limbah kesehatan itu berasal. Saya lantas menawarkan pengangkutan dan penusnahan bersama di TPA,” katanya.
Lewat pendekatan dan informasi kesehatan, sebanyak 162 pemulung bisa diajak bekerja sama. Dari membuat pos pemantauan limbah kesehatan, penyediaan sepatu dan pelindung tangan, hingga membuat insinerator manual sederhana. Hampir semua biaya dikeluarkan Amrul dari kantongnya sendiri.
”Sesungguhnya kami ini sama, sama-sama pemulung. Hal itu membuat kerja sama kami langgeng hingga kini,” katanya.
Perlahan, peran Amrul semakin dikenal. Pemerintah Kota Ternate melirik pengabdiannya dengan menyediakan satu unit insinerator bervolume 250 liter pada 2008. Satu unit mobil bekas dipinjamkan mengganti motor butut pengangkut limbah. Mobil yang pernah rusak akibat kerusuhan pertandingan sepak bola itu diberi nama ”si putih” merujuk pada warna catnya. Amrul mencetak kata biohazard besar di tubuh ”si putih”.
Amrul semakin gencar mempromosikan kegiatannya ke daerah tetangga seperti Halmahera Selatan, Halmahera Utara, Halmahera Tengah, Halmahera Barat, dan Pulau Tidore. Lewat bantuan tiga tukang ojek, limbah antarpulau itu dijemput 1-2 kali setiap minggu di Pelabuhan Ternate.
Untuk meringankan beban berat pengolahan limbah yang meningkat 2-3 kali lipat dari semula, Amrul memilah sampah sejak dini. Jarum suntik dan infus bekas dimusnahkan ke insinerator tercanggih dengan suhu 1.000 derajat celsius. Insinerator buatannya dengan suhu di bawah 1.000 derajat celsius cukup membakar selang infus atau kapas kasa bekas.
Perlakuan berbeda dilakukan pada botol infus atau spet suntikan. Amrul memilih merendamnya dengan cairan kaporit untuk mematikan kuman sebelum kemudian dijual lagi. Dalam sebulan, barang daur ulang laku hingga Rp 600.000 hingga Rp 800.000. Semua hasil penjualan dinikmati tiga rekannya.
Tularkan Ilmu
Siang itu, Amrul kembali menularkan ilmu di beranda rumahnya. Akhir pekan tidak membuatnya menolak kedatangan beberapa mahasiswa di Politeknik Kesehatan (Poltekes) Ternate, tempatnya menjadi dosen tamu sejak setahun terakhir.
Ada banyak hal yang mereka bahas. Mulai dari pembuatan insinerator sederhana hingga potensi sampah memicu penyakit berbahaya seperti TBC.
Rahmat Mahmud (21), mahasiswa Jurusan Kesehatan Lingkungan di Poltekes Ternate, terang terangan mengidolakan Amrul. Bersama rekan-rekannya, ia sudah menerapkan ilmu pembuatan insinerator sampah rumah tangga ala Amrul di kampung pemulung Sulamadaha, Kota Ternate.
Tidak hanya Rahmat yang terinpirasi. Tahun 2014, Kementerian Lingkungan Hidup memberikan penghargaan Kalpataru kepada Amrul. Perannya dianggap sebagai terobosan menjaga lingkungan dan kesehatan masyarakat.
Amrul Sadik Daga
LAHIR : Ternate, 20 Februari 1970
ISTRI : Rini Mahda (45)
ANAK : 3 Anak
PENDIDIKAN
- SD Kenari Tinggi II Ternate (Lulus 1985)
- SMP I Ternate (Lulus 1988)
- SMA I Ternate (Lulus 1991)
- Diploma 1 Sekolah Pembantu Penilik Agen (Lulus 1996)
- Diploma 3 Kesehatan Lingkungan Politeknik Kesehatan Manado (Lulus 2006)
- Strata 1 Jurusan Kesehatan Lingkungan Universitas Veteran, Makassar (Lulus 2013)
Sumber: http://print.kompas.com/baca/2015/06/17/%E2%80%9DMemulung%E2%80%9D-Limbah-Menjaga-Kehidupan
- Log in to post comments
- 878 reads